Warga Denpasar, terutama di kawasan Peguyangan, Denpasar Utara, Bali, memiliki tempat wisata berbasis lingkungan (ekowisata) baru di tengah kota. Sejak sekitar setahun lalu, warga di pinggiran Denpasar bisa menikmati tempat jalan-jalan di pematang sawah.
Namanya ekowisata Subak Sembung. Areal persawahan seluas 115 hektar ini secara administratif termasuk Kelurahan Peguyangan, Kecamatan Denpasar Utara. Ada sekitar 200 petani mengelola kawasan sawah yang hampir setiap tahun berproduksi ini.
Sejak Agustus 2014, petani yang tergabung dalam empat kelompok pengelola irigasi (subak) menggagas ekowisata di desanya. Pada awalnya, Badan Lingkungan Hidup (BLH) Denpasar bekerja sama dengan Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Universitas Udayana (Unud), Bali mendampingi mereka.
Namun, sejak September 2015, lembaga yang kini aktif mendampingi petani dalam mengelola ekowisatanya adalah PPLH Bali, organisasi berbeda dengan PPLH Unud. Organisasi non-pemerintah ini memang aktif mendampingi warga dalam mengelola lingkungan, terutama subak dan sampah.
Saat ini, PPLH Bali bersama anggota Subak Embung sering mengadakan kegiatan di subak tersebut. Pekan lalu, misalnya, mereka mengadakan pasar produk pertanian. Wantilan Subak Sembung disulap menjadi pasar dadakan dengan aneka produk pertanian organik, seperti beras, sayur, kripik, bahkan tuak manis khas Bali. Dengan aneka pohon dan tanaman di depannya, wantilan ini pun terlihat asri.
Pasar produk pertanian hanya salah satu kegiatan yang didukung PPLH Bali. Selain itu, PPLH Bali juga memberikan pelatihan panduan ekowisata, membuat kripik, mengolah jus, membuat peta obyek wisata, hingga promosi. Untuk peningkatan kapasitas petani, PPLH Bali juga melakukan identifikasi sumber daya manusia dan menyatukan visi maupun misi antar pengurus subak Sembung.
“Kami ingin terus mendampingi agar Subak Sembung menjadi kelompok ekowisata yang solid dan profesional,” kata Direktur PPLH Bali Catur Yudha Hariani.
Melalui pendampingan dari pemerintah, lembaga penelitian, dan kemudian LSM tersebut, petani di Subak Sembung sekarang tak hanya menghasilkan beras, palawija, ataupun hasil pertanian lain, tetapi juga mampu mengelola subaknya sebagai tempat wisata.
“Ini semua bagian dari proses belajar bagi kami,” kata Made Suastika, Kelian Subak Sembung yang juga Jro Mangku Pura Dalem Khayangan di kawasan ini.
Secara fisik, kawasan persawahan tersebut kini lebih tertata. Pematang sawah kini dilengkapi dengan jalan beton selebar 2 meter sepanjang sekitar 1 km. Saluran air di sebelah jalan beton mengalirkan air dengan lancar, membelah dan mengairi sawah. Hujan yang belum juga turun di Denpasar seperti tak mempengaruhi petani karena sawah-sawah mereka masih penuh air. Sebagian petani sedang menanam bibit padi. Sebagian lain sedang menyiangi rumput.
Di sepanjang jalan tersebut terdapat pula aneka tanaman obat-obatan. Ada pula tanaman untuk sarana sembahyang umat Hindu Bali, terutama bunga. Ni Ketut Sari, salah satu petani, misalnya menanam bunga pacar yang menjadi salah satu bagian penting banten, persembahan umat Hindu saat sembahyang.
Di 0,5 are lahannya, Sari menanam bunga pacar yang berwarna merah tersebut. Pagi itu Sari bersama suaminya memanen bunga-bunga itu untuk dijual ke pasar. Warna merah bunga pacar menjadi pemandangan tersendiri di antara hijaunya sawah.
Bagi para pengunjung, pemandangan sawah dengan sarana untuk berjalan-jalan itu sangat menyenangkan. “Asyik karena bisa sambil olah raga menikmati udara segar di kota juga bisa belajar tentang pertanian,” kata Mei Rismawati, warga Denpasar yang sedang berolahraga.
Di beberapa bagian jalan beton untuk pejalan kaki itu terdapat bale bengong, balai untuk bersantai. Pengunjung bisa beristirahat sambil menikmati sawah.
Namun, ada yang lebih penting. Ekowisata Subak Sembung juga upaya untuk melestarikan lingkungan, menyelamatkan sawah dan mencegah banjir. Kawasan sawah di Peguyangan termasuk sedikit lahan hijau yang masih terjaga di ibu kota Provinsi Bali ini.
Menurut data Pemkot Denpasar, luas sawah tersisa di Denpasar saat ini hanya 2.506 hektar. Alih fungsi lahan di Denpasar termasuk paling cepat dibandingkan daerah lain, seperti Gianyar, Bangli, dan Karangasem. Posisinya sebagai ibu kota membuat lahan terbuka Denpasar cepat beralih menjadi perumahan.
Di antara cepatnya alih fungsi lahan tersebutlah, upaya-upaya untuk melestarikan sawah seperti di Subak Sembung sangat penting. “Kami ingin mewariskan sawah untuk anak cucu kami nanti,” kata Suastika.
Untuk melestarikan sawah itu pula, petani termasuk Suastika dan Sari, sekarang hanya menggunakan pupuk organik. Mereka tidak menggunakan pupuk ataupun pestisida kimia. “Saya dapat bantuan pupuk dan bibit organik,” kata Sari. Dia membandingkan ketika masih menggunakan bahan-bahan kimia, mereka susah menemukan belut dan cacing. Namun, sejak beralih ke pertanian organik mulai akhir 2014, mereka kini bisa melihat belut dan cacing kembali banyak di sawah.
Penggunaan bahan-bahan organik itu sejalan pula dengan aturan adat (awig-awig) subak yang melarang anggota mengubah fungsi sawah. Menurut Suastika, anggota subak boleh menjual lahan tapi tidak boleh mengubah fungsinya. Awig-awig dan hasil pertanian Subak Sembung terekam di tembok bale subak. Ada juga peta yang menunjukkan batas-batas areal subak dengan kawasan pemukiman, jalan, sungai, dan lainnya.
Suastika menambahkan, ekowisata Subak Sembung juga berfungsi untuk mencegah terjadinya banjir. Hal senada dikatakan Catur. Denpasar Utara termasuk kawasan rawan banjir. Jika semakin banyak alih fungsi lahan maka banjir tiap tahun tidak bisa dihindari dan semua akan mengalami kerugian.
“Karena posisinya di wilayah utara Denpasar, maka Subak Sembung ini berperan penting sebagai kawasan resapan,” kata Catur.
“Kami berharap Subak Sembung juga menjadi contoh subak-subak lain di Denpasar atau sekitarnya, bahwa penting menjaga subak agar tidak alih fungsi. Ternyata dengan kegiatan ekowisata subak, petani bisa mendapatkan nilai tambah baik secara ekonomi, sosial, dan lingkungan,” ujarnya.