Mongabay.co.id

Polemik Cagar Alam Tanjung Panjang: Tambak hingga TORA [Bagian 1]

 

 

Kamis pagi, 2 Mei 2019. Sekitar 40-an warga di Desa Siduwonge, Kecamatan Randangan, Kabupaten Pohuwato, berkumpul di kantor desa. Mereka adalah petani tambak; bandeng dan udang, yang sebagian besar berada di kawasan Cagar Alam Tanjung Panjang.

Kedatangan mereka ingin bertemu Tim Inventarisasi dan Verifikasi Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan atau disingkat Tim Inver PTKH. Ketidakpastian masa depan membuat mereka gelisah sekaligus membawa berkas untuk diverifikasi, berupa foto kopi kartu tanda penduduk, kartu keluarga, bukti pajak, dan kwitansi jual beli lahan.

Tujuannya memohon, tanah mereka yang berada di kawasan Cagar Alam Tanjung Panjang, bisa dilepas melalui skema Tanah Objek Reforma Agraria [TORA]. Jumlah petani tambak yang tercatat di Desa Siduwonge sebanyak 283 orang dan bisa saja bertambah.

“Adanya sosialisasi TORA, petani ingin tanah mereka bisa dilepaskan. Satu orang maksimal mengusulkan 5 hektar lahan. Jika melebihi batas maksimal, menggunakan nama istri atau anak,” ungkap Renal Husa, pendamping Japesda di Desa Siduwonge.

Japesda merupakan organisasi lingkungan di Gorontalo yang mendampingi masyarakat Siduwonge untuk restorasi hutan mangrove. Renal mengatakan, informasi yang masyarakat tahu tentang TORA sebatas bagi-bagi tanah untuk disertifikat dalam kawasan cagar alam.

Baca: Hutan Mangrove di Cagar Alam Tanjung Panjang Kritis

 

Hutan mangrove yang memberi dampak positif bagi kehidupan manusia. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Dalam surat keputusan Gubernur Gorontalo Nomor 431/21/XII/2017 tentang Pembentukan Tim Inventarisasi dan Verifikasi Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan, untuk Kabupaten Pohuwato, ketuanya adalah Kepala Dinas Lingkungan dan Kehutanan Provinsi Gorontalo. Sekretarisnya, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Gorontalo.

Anggotanya, Kepala Bappeda Provinsi Gorontalo, Kepala Bappeda Kabupaten Pohuwato, Kepala BPKH Wilayah XV Gorontalo, Kepala Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Wilayah Sulawesi, Kepala KPH Wilayah I dan II Gorontalo Barat, Kepala KPH Wilayah III Pohuwato, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Pohuwato, Camat, dan Kepala Desa.

“Petani tambak yang menemui Tim Inver PTKH hanya perwakilan kantor kecamatan dan desa,” ungkap Renal.

Dalam website Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, beberapa tugas Tim Inver PTKH adalah koordinasi dan sinkronisasi penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan, menetapkan luas maksimum, menetapkan mekanisme resettlement [pemindahan], serta penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan.

Namun, para penggiat lingkungan di Gorontalo menolak rencana alih fungsi Cagar Alam Tanjung Panjang menjadi tambak rakyat melalui skema TORA. Tanjung Panjang di Kabupaten Pohuwato ditetapkan sebagai Cagar Alam sejak 1984 melalui keputusan Menteri Kehutanan No. 250/Kpts-II/1984 tanggal 20 Desember 1984.

Disusul dengan penataan batas kawasan pada 1992. Tahun 1995, ditetapkan menjadi cagar alam melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 573/Kpts-II/1995 tanggal 30 Oktober 1995 seluas 3.000 hektar. Pada 2015, ditetapkan kembali melalui SK Menteri LHK No. 9612 MENLHK-PKTL/KUH/2015 seluas 3,174.10 hektar.

 

Menjaga mangrove berarti menjaga kehidupan makhluk hidup yang ada. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Menolak TORA

Selasa, 19 Februari 2019, tiga bulan sebelumnya. Balai Pemantapan Kawasan Hutan [BPKH] XV Wilayah Gorontalo, yang merupakan bagian Tim Inver PTKH, melakukan sosialiasi usulan lokasi TORA untuk Kabupaten Pohuwato, di aula kantor bupati, di Kota Marisa. Salah satu yang dipresentasikan adalah kawasan konservasi Cagar Alam Tanjung Panjang. Areal yang sudah dikuasai petani tambak ini masuk rencana peta indikatif TORA. Peta dimulai dengan revisi I, II, dan yang saat ini dipakai adalah revisi III.

Namun, sosialisasi tersebut mendapat reaksi dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam. Kepala Seksi BKSDA Wilayah II Gorontalo, Syamsudin Hadju, kaget mengetahui wilayah otoritasnya masuk peta indikatif.

Pihaknya melakukan upaya maksimal mengusir petambak di cagar alam. Bahkan, melakukan tindakan represif dengan mengajak aparat keamanan, membakar gubuk, hingga menghancurkan pematang tambak sebagai efek jera.

“Saya baru mendata 10 pemilik tambak untuk menyelesaikan konflik. Ternyata cagar alam sudah masuk peta indikatif,” kata Syamsudin seperti dilansir banthayo.id, partner Kumparan.com.

Protes keras juga datang dari penggiat lingkungan di Gorontalo. Mereka membentuk organisasi taktis bernama “Aliansi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Cagar Alam Tanjung Panjang”. Surat penolakan yang ditujukan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah dikirim.

Rahman Dako, penggiat lingkungan dari Japesda Gorontalo, dalam surat penolakan menjelaskan, Cagar Alam Tanjung Panjang meliputi empat desa di Kecamatan Randangan yaitu Desa Siduwonge, Patuhu, Palambane, dan Limbula. Tanjung Panjang merupakan kawasan ekosistem mangrove dan pesisir yang secara ekologi memiliki keanekaragaman hayati dan nilai jasa lingkungan, sebagai sumber penghidupan nelayan dan masyarakat sekitar kawasan.

“Penyelesaian lahan belum selesai. Bahkan, terkesan dibiarkan karena sebagian besar dialihfungsikan sebagai lokasi budidaya [tambak] bandeng dan udang,” ungkapnya.

Ia menilai dari sisi kebijakan daerah, peta indikatif TORA di cagar alam bertentangan dengan kebijakan pemerintah daerah yang telah menetapkan Tanjung Panjang, dalam Tata Ruang Provinsi Gorontalo dan Kabupaten Pohuwato, sebagai kawasan konservasi.

Beberapa kebijakan lainnya adalah dibentuknya Panitia Khusus [Pansus] DPRD Provinsi Gorontalo 2011 mengenai relokasi petambak di cagar alam, rehabilitasi, dan kompensasi kepada petambak. Surat Perintah Bupati Pohuwato 2010, 2012, dan 2014 kepada semua kepala desa untuk melakukan moratorium dan penghentian pembukaan tambak baru di Kabupaten Pohuwato.

Juga, Peraturan Daerah [Perda] No. 23 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Pesisir dan Mangrove Kabupaten Pohuwato, serta Perda Provinsi Gorontalo Nomor No. 7 Tahun 2016 Pengelolaan Ekosistem Mangrove.

Menurutnya upaya-upaya pemulihan kawasan dan pengelolaan mangrove berkelanjutan telah dilakukan pemerintah daerah, organisasi masyarakat sipil daerah, nasional, dan internasional di antaranya: Program Teluk Tomini [Sustainable Coastal Livelihood and Management/SUSCLAM tahun 2008-2012] kerja sama IUCN, Wetlands International dan JAPESDA Gorontalo. Program Mangroves for the Future [MFF] di Kabupaten Pohuwato, termasuk beberapa desa di kawasan cagar alam.

Saat ini, skenario restorasi kawasan telah disusun dan ditetapkan bersama masyarakat, pemerintah daerah, BKSDA, dengan metode Restoration Opportunity Assesment Methodology [ROAM] yang mengkaji aspek sosial, budaya dan ekologi kawasan.

Satu poinnya, cagar alam akan direhabilitasi selama 25 tahun. Program ini bekerja sama dengan IUCN, Charles Darwin University, dan JAPESDA Gorontalo.

“Kami aliansi organisasi masyarakat sipil yang terdiri LSM, peneliti, praktisi, dan juga wartawan di Gorontalo dan Pohuwato tidak setuju Cagar Alam Tanjung Panjang dijadikan kawasan TORA,” tegas Rahman.

 

Menjaga keseimbangan ekosistem alam berarti kita menjaga kehidupan makhluk hidup di Bumi. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Target 4,5 Juta Hektar TORA

Dalam buku “Pedoman Identifikasi, Verifikasi, dan Penetapan Tanah Objek Reforma Agraria dan Areal Perhutanan Sosial di Tingkat Kabupaten [Kantor Staf Presiden, 2017]” dijelaskan bahwa pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi, telah menetapkan Reforma Agraria sebagai program prioritas, sejak Rencana Kerja Pemerintah 2017 [RKP 2017].

Target yang akan dicapai melalui dua skema: legislasi dan redistribusi lahan, serta program perhutanan sosial. Substansi reforma agraria mencakup perhutanan sosial yang secara objek di lapangan bisa berupa TORA dan Perhutanan Sosial [PS].

Usep Setiawan, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, menjelaskan bahwa TORA dari bekas kawasan hutan merupakan sumber utama dan terluas. Secara nasional, targetnya sekitar 4,5 juta hektar.

Menurutnya, BPKH adalah lembaga di bawah KLHK, yang berwenang membuat peta indikatif usulan TORA untuk ditetapkan Menteri LHK. Menteri akan mempertimbangkan semua usulan dari bawah dengan konsultasi kepada masyarakat dan pemerintah daerah, provinsi maupun kabupaten dan kota. Apabila ada keberatan bisa diajukan dan Kementerian LHK terus harus menindaklanjutinya dengan melakukan kajian cepat lalu memutuskan.

“Perihal kasus ini, TORA ada di cagar alam yang harusnya dilindungi dan dilestarikan, kami di KSP mementingkan redistribusi tanah sebagai agenda utama reforma agraria. Dengan redistribusi ketimpangan akan dikurangi sekaligus kepastian hukum hak milik atas tanah lebih kuat,” ujar Usep kepada Mongabay Indonesia.

Esensi redistribusi TORA, katanya, termasuk dari kawasan hutan [lindung] sangat penting karena bisa mengangkat martabat rakyat yang sebelumnya tidak punya hak milik menjadi pemilik tanah. Hal ini sebagai hak konstitusional warga negara yang harus diutamakan dalam pelaksanaan reforma agraria.

Tentu saja, redistribusi harus disambungkan dengan pemberdayaan masyarakat, terutama pendampingan dan pengembangan kawasan dan kegiatan produksi di tanah tersebut. “Kita harus positif thinking kepada rakyat, mereka sanggup gotong royong memanfaatkan tanah dan wilayahnya secara adil dan arif,” katanya.

Usep menambahkan, kita mesti mendukung penetapan dan perluasan kawasan hutan yang statusnya dilepaskan. Yang terpenting, tidak perlu dibenturkan antara TORA dengan pelestarian lingkungan, termasuk hutan. “Rakyat punya pengetahuan dan keterampilan merawat lingkungan, apalagi sudah menjadi hak milik pribadi maupun bersama.”

 

Tambak di Desa Siduwonge, Kecamatan Randangan ini berada dalam kawasan Cagar Alam Tanjung Panjang. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Rahman Dako kembali menjelaskan, penguasaan tambak di cagar alam oleh masyarakat terjadi setelah adanya penunjukan dan penetapan Tanjung Panjang sebagai kawasan konservasi. Bahkan, penguasaan kawasan bukan masyarakat adat atau lokal, tetapi didominasi pendatang dari luar Provinsi Gorontalo.

“Selain itu, banyak ketimpangan, misal ada orang tertentu yang menguasai lebih 10 hektar, bahkan 250 hektar,” ungkapnya.

Menurutnya, ini bertentangan Perpres No 88 tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan serta bertolak belakang dengan tujuan TORA sebagaimana diatur Perpres No 86 tahun 2018. Yaitu, pengurangan ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah dalam rangka menciptakan keadilan.

“Bahkan, tambak belum memberikan kontribusi pengurangan kemiskinan. Sampai saat ini, Kabupaten Pohuwato memiliki angka kemiskinan lebih besar dari rata-rata nasional. Ketimpangan penguasaan lahan terlihat,” papar Rahman.

 

 

Exit mobile version