Mongabay.co.id

Inilah Isu Krusial dalam Perdebatan Ranperda Zonasi Pesisir Bali

 

Hingga kini, pemerintah Bali belum memutuskan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Bali tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Provinsi Bali Tahun 2019-2039. Rencana reklamasi dan penambangan pasir masih jadi perdebatan.

Belum usai soal rencana reklamasi di Teluk Benoa oleh PT TWBI, kini ada reklamasi pengembangan bandara dan pelabuhan laut. Bahkan perluasan Pelindo di Pelabuhan Benoa sudah berdampak pada kerusakan hutan mangrove sekitarnya.

Dalam draft terakhir Ranperda RZWP3K yang diterima Mongabay Indonesia per 9 Mei 2019 ini, ada pengalokasian perluasan kedua proyek pusat itu. RZWP3K berfungsi sebagai instrumen penataan ruang di wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil, memberikan kekuatan hukum terhadap alokasi ruang di wilayah perairan, dan dasar pemberian izin lokasi perairan pesisir. Karena itu RZWP3K posisinya sangat strategis, terlebih pengembangan pesisir di Bali jadi incaran investor.

baca : Aktivis Khawatirkan Hilangnya Kawasan Konservasi Pesisir Bali

 

Nampak pohon mangrove yang mati dampak perubahan pasang surut laut proyek reklamasi Pelabuhan Benoa. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

RZWP3K juga berfungsi untuk melindungi, mengkonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan. Bagaimana memadukan dua kepentingan itu?

Peningkatan aksesibilitas, dukungan prasarana dan sarana dalam RZWP3K, dilakukan dengan peningkatan kualitas pelayanan, daya dukung atau kapasitas pelabuhan angkutan laut dan penyeberangan yang telah ada. Strateginya dengan pengembangan Bandar Udara Internasional I Gusti Ngurah Rai secara bertahap. Pemprov Bali juga berencana membangun bandara baru di Kabupaten Buleleng untuk peningkatan aksesibilitas wilayah pesisir Bali Utara.

Rincian rencana alokasi ruang dalam RZWP3K memuat kawasan, zona, dan subzona beserta kodenya, lokasi, luas, titik koordinat dan nomor lembar peta. Kawasan pemanfaatan umum terdiri atas zona pariwisata, zona perikanan budidaya, zona perikanan tangkap, zona pelabuhan, zona pendaratan pesawat, zona bandar udara, zona pergaraman, zona hutan mangrove, zona pertambangan dan energi, zona militer dan daerah larangan, dan zona pemanfaatan lainnya.

Zona Hutan Mangrove (pasal 19) meliputi pantai berhutan mangrove di Desa Pejarakan dan Desa Sumberkima, Kabupaten Buleleng. Zona ini dapat diperuntukkan bagi wisata alam. Subzona pasir laut meliputi perairan lepas pantai Kuta, Badung dan subzona pembangkit listrik meliputi perairan sekitar Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Celukan Bawang di Kabupaten Buleleng.

Kawasan Konservasi meliputi Taman Nasional Bali Barat, Tahura Ngurah Rai di perairan Teluk Benoa, Kawasan Konservasi Perairan (KKP), dan Kawasan Konservasi Maritim (KKM).

baca juga : Empat Rencana Proyek Besar Mengancam Pesisir Bali Selatan

 

 

Pasal 46 menyebutkan setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang dari sebagian perairan pesisir dan pemanfaatan sebagian pulau-pulau kecil secara menetap wajib memiliki izin lokasi. Izin lokasi tidak dapat diberikan pada zona inti di kawasan konservasi, alur laut, kawasan pelabuhan, dan pantai umum.

Pasal 47, setiap orang yang melakukan pemanfaatan sumber daya perairan pesisir dan perairan pulau-pulau kecil wajib memiliki izin pengelolaan untuk kegiatan produksi garam, biofarmakologi laut, bioteknologi laut, pemanfaatan air laut selain energi, wisata bahari, pemasangan pipa dan kabel bawah laut, dan/atau pengangkatan benda muatan kapal tenggelam.

Izin pengelolaan diterbitkan oleh Gubernur setelah dipenuhinya syarat administratif, teknis, dan operasional. Setiap orang dan atau penanggung jawab kegiatan yang melawan hukum dan mengakibatkan kerusakan ekosistem, pencemaran laut, wajib membayar ganti kerugian kepada negara dan atau melakukan tindakan tertentu berdasarkan putusan pengadilan.

Misalnya melakukan rehabilitasi atau membayar biaya rehabilitasi kepada negara. Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) dan Pasal 47 ayat (1) dikenakan sanksi administratif. Di antaranya peringatan tertulis, penghentian sementara, sampai pencabutan izin.

perlu dibaca : Areal Tahura Mangrove Rusak Karena Reklamasi Pelindo, Bagaimana Penegakan Hukumnya? [Bagian 2]

 

Dua nelayan nampak menjaring ikan di perairan dangkal dan berlumpur dengan latar belakang pengurugan laut oleh Pelindo III Cabang Benoa. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Catatan kritis

Permana Yudiarso dari Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BSPL) Denpasar memaparkan sejumlah isu krusial pembahasan Ranperda RZWP3K. Di antaranya, pertama, belum ada kepastian secara geospasial mengenai batas wilayah perairan masyarakat hukum adat (MHA). Pemprov Bali mengatur MHA melalui Perda No.5/2019, yang mendasari pentingnya melibatkan MHA dalam proses penyusunan RZWP3K.

Kedua, reklamasi yang belum sesuai prosedur sehingga merusak ekosistem perairan. Isu reklamasi untuk pembangunan Pelabuhan Benoa dan perluasan runway/fasilitas bandara Ngurah Rai sisi barat.

“Harus dipahami bahwa perluasan fasilitas publik tersebut merupakan salah satu kebutuhan pengembangan agar dapat menampung pergerakan orang dan barang yang masuk dan keluar,” ingatnya.

Perluasan Pelabuhan Benoa dengan teknik reklamasi telah ditetapkan oleh Menteri Perhubungan, sementara pelaksanaan reklamasi perluasan Bandara Ngurah Rai telah ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan.

Dalam proses reklamasi yang sudah dilakukan di Bandara Ngurah Rai, pencegahan dampak kegiatan yang berisiko merusak lingkungan wajib mendapatkan penanganan dan menjadi syarat dalam perizinan yang ada. Perluasan pelabuhan Benoa menurutnya telah diawasi secara ketat oleh Menteri Perhubungan (pelaksanaan reklamasi pelabuhan) dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (pengawas lingkungan hidup). Terutama proses pengurugan yang berpotensi mencemari perairan sekitar dan berdampak terhadap aktivitas pariwisata di sekitarnya.

Salah satu isu yang menguat dalam perluasan bandara adalah Menteri Kelautan dan Perikanan tidak memberikan izin lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi pada Zona Lindung (L3) yang berada di sisi barat lokasi reklamasi. Zona L3 merupakan kawasan lindung yang diatur dalam Perpres No.51/2014 tentang Rencana Tata Ruang Kaawasan Strategis Nasional Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan (Sarbagita). Pengawasan dimulai dari pada tahap pengambilan sumber material dan pelaksanaan reklamasi.

perlu dibaca : Ini Alasan Kenapa Pelindo Wajib Buka Dokumen Reklamasi Perluasan Pelabuhan Benoa

 

Perluasan bandara Ngurah Rai di sisi Barat dari kampung nelayan Pantai Kedonganan. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Penambangan pasir laut pada Dokumen Antara RZWP3K Provinsi Bali menjadi salah satu sorotan publik. Terdapat rencana alokasi ruang untuk penambangan pasir laut di Kabupaten Badung. Secara teknis, Anggota Pokja RZWP3K Provinsi Bali yaitu Dinas Tenaga Kerja dan ESDM mengusulkan adanya alokasi ruang di perairan untuk penambangan pasir laut. Alokasi ruang pengambilan pasir laut dicadangkan untuk mengisi kebutuhan program perlindungan garis pantai/abrasi di Bali, terutama pada wilayah pantai sebagai lokasi tujuan wisata yang abrasi.

Pencegahan dampak penambangan pasir laut diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.33/2002 tentang zonasi wilayah pesisir dan laut untuk kegiatan pengusahaan pasir laut. Dalam Dokumen Antara RZWP3K, rencana alokasi ruang penambangan pasir laut berjarak ≥ 2,1 mil laut dan pada kedalaman ≥ 20-40 meter, seluas 938 Hektar. Namun dalam dokumen ini tidak disebutkan peruntukan tambang pasir laut ini untuk kegiatan apa dan pada waktu kapan. “Hal ini harus diperjelas dalam dokumen Rancangan Peraturan Daerah sehingga tidak menimbulkan pertanyaan banyak pihak,” catat Permana.

Walhi Bali dalam beberapa kali diskusi dan dalam aksi ForBALI mendorong kesadaran publik untuk memberi perhatian pada rencana reklamasi perluasan bandara di zona konservasi dan dampak penambangan pasir.

Made Iwan Dewantama dari Conservation International (CI) Indonesia yang ikut dalam pembahasan menyebut Perda RZWP3K yang sangat penting ini harus disusun terutama dalam akurasi penggunaan peta dasar dan peta tematik. Ini membutuhkan koordinasi yang intensif dengan para pihak yang memiliki data (wali data) juga terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan yang sudah ada.

Fakta, data dan informasi ini menurutnya harus dikemas dan dianalisis untuk disajikan sebagai referensi penentuan alokasi, arahan pemanfaatan kawasan perairan Bali yang mampu mengatur semua kepentingan para pihak. “Contoh sederhana, bagaimana RZWP3K Bali mampu memberikan solusi atas konflik pemanfaatan perairan oleh nelayan dengan alur laut kapal besar (tanker) yang sering merusak jaring nelayan,” katanya.

 

Sanur, kawasan yang dulu habis dimakan abrasi dan perlu proyek serta anggaran besar untuk mengisi kembali pasir pantai. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Penyusunan RZWP3K Bali juga menurutnya menghadapi tantangan dalam mengakomodasi rencana-rencana pemanfaatan wilayah perairan yang dilakukan oleh BUMN. Seperti PT. Angkasa Pura yang akan memperluas Bandara Internsional I Gusti Ngurah Rai dengan melakukan reklamasi hingga seluas 119 ha dan di antaranya masuk kawasan konservasi L3 seluas 12,15 ha.

“Banyaknya kepentingan dalam pemanfaatan ruang dan wilayah perairan Bali membuat penyusunan RZWP3K Bali menjadi molor dari waktu yang direncanakan,” catat Iwan. Ia berharap proses penyusunan partisipatif dan membangun safe guard yang kuat hingga 20 tahun ke depan sehingga Perda itu tidak bisa disusun secara asal-asalan.

Sementara Jaya Ratha dari Coral Reef Alliance yang juga hadir dalam diskusi terfokus menekankan kepastian kawasan konservasi perairan karena perencanaan telah berlangsung lama seperti Bali Marine Protection Area Network dari 2011. Ketika itu hambatannya, kebijakan yang digunakan sebagai payung hukum yakni RZWP3K. Ada saling tarik kepentingan untuk pemanfaatan kawasan yang diusulkan sebagai daerah konservasi.

Ia berharap perencanaan dalam RZWP3K tidak hanya untuk mengakomodir kepentingan kelompok tertentu tapi memperhatikan kesesuaian ruang berdasarkan sains yang kuat. “Pengakuan terhadap hak pengelolaan bersama dengan masyarakat melalui co-management untuk mengurangi tekanan terhadap daerah-daerah terumbu karang,” harapnya.

 

 

Exit mobile version