Mongabay.co.id

Pendekatan Lanskap Sebaiknya Tidak Utamakan Kepentingan Ekonomi

 

 

Dalam upaya memperbaiki suatu bentang alam, seperti restorasi gambut, yang melibatkan masyarakat, sebaiknya jangan hanya dilihat dari kepentingan ekonomi. Mengapa?

“Jika hanya ekonomi, maka masyarakat tidak akan menjadi penjaga bentang alam tersebut. Mereka justru akan menjadi bagian dari berbagai kepentingan ekonomi yang jauh lebih besar, dan sewaktu-waktu dapat disingkirkan dari bentang alam jika dinilai tidak produktif atau tidak menguntungkan secara ekonomi,” kata Conie Sema dari Teater Potlot di sela diskusi “Pendekatan Lanskap: Menjaga Identitas atau Ekonomi?” yang digelar Rumah Sriksetra, Sabtu [18/5/2019] lalu.

Upaya perbaikan sebuah bentang alam seharusnya mempertimbangkan identitas yang selama ini sudah terbentuk selama ratusan tahun. Sebuah identitas terbentuk dari proses kebudayaan, mulai dari kepercayaan, teknologi, ilmu pengetahuan, hingga ekonomi, yang terbangun karena hubungan manusia dengan bentang alam.

“Jika sebuah bentang alam rusak, seperti kasus lahan gambut dan mangrove, masak hanya persoalan ekonomi yang diperbaiki? Jika hanya ekonomi, bisa saja mereka menjadi sejahtera tapi hidupnya tidak bahagia karena kehilangan identitas atau nilai-nilai lainnya. Misalnya, para nelayan di Sungsang berubah profesi menjadi pengelola jasa wisata, yang meningkatkan pendapatan mereka. Tapi, kehidupan sosial mereka berubah menjadi lebih liberal, invidual, dan tidak peduli lingkungan.”

Baca: Bentang Alam Rusak karena Cara Pandang Kita yang Keliru?

 

Hutan Sumatera yang tidak hanya penting bagi kehidupan manusia tetapi juga tempat hidupnya satwa liar. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Dijelaskan Conie, hubungan manusia dengan bentang alam di Sumatera Selatan telah membentuk identitas yakni masyarakat bahari. Masyarakat yang sangat arif terhadap keberadaan air, sebab air sumber kehidupan, spiritual, pengetahuan, ekonomi, dan lainnya.

Identitas masyarakat bahari di Sumatera Selatan terbagi berbagai suku, yang ditandai berdasarkan sungai, baik di dataran tinggi maupun rendah. Misalnya, Suku Pasemah dengan Sungai Lematang dan Enim, kemudian Suku Komering dengan Sungai Komering, Suku Ogan dengan Sungai Ogan, lalu Suku Musi dengan sejumlah sungai seperti Musi, Rawas, Rupit, dan lainnya.

“Nah, perubahan bentang alam yang terjadi saat ini, seperti hutan dan perbukitan yang terbuka akibat aktivitas perkebunan, pertambangan, dan lainnya, membuat kebudayaan yang terbangun selama ini terganggu atau hilang. Akhirnya, identitas itu hilang. Identitas sebagai bangsa bahari,” paparnya.

Baca juga: Keinginan Gunata, Bebaskan Pesisir Timur Sumsel dari Sampah Plastik

 

Gambut yang harus dikelola dengan baik. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Kepentingan budaya

Dijelaskan Conie, bentang alam di Sumatera Selatan itu semuanya terhubung dengan wilayah pesisir timur. Hal ini dikarenakan mengikuti alur Sungai Musi dan membangun kehidupan berbagai suku yang ada. “Sehingga, persoalan rawang atau rawa gambut yang saat ini akan dilakukan perbaikan oleh pemerintah, memang harus dilihat dari kepentingan budaya.”

“Rawang di pesisir timur itu selama berabad memiliki hubungan kuat dengan masyarakat di Bukit Barisan. Sebab, berbagai produk dari Bukit Barisan saat dibawa keluar harus melalui pesisir timur. Begitu pun sebaliknya. Ini mengikuti perilaku alam. Jadi, jika rawa gambut rusak atau berubah kepentingannya, itu artinya menghilangkan identitas bangsa bahari di Sumatera Selatan,” kata Conie.

Prasasti Talang Tuwo yang dibuat Raja Sriwijaya pada abad ke-7, kata Conie, sangat jelas mengamanahkan manusia Sriwijaya untuk hidup harmonis dengan bentang alam, yang menjadi dasar lahirnya berbagai suku sebagai bangsa bahari.

 

Anak-anak di Dusun Sungai Sembilang dalam Landskap Sembilang ini hidup dalam kepungan sampah plastik. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Kepentingan bersama

Agus Irwanto Wibowo dari KELOLA Sendang-ZSL Indonesia, mengatakan pendekatan lanskap memang tidak harus bertumpu pada kepentingan ekonomi atau hanya konservasi. Dia juga harus mempertimbangkan berbagai kepentingan manusia dan makhluk hidup lain pada sebuah bentang alam.

Apalagi saat ini, bentang alam di Sumatera Selatan bukan hanya mengalami kerusakan, juga hadirnya para pendatang dari pelaku usaha, juga masyarakat dari Jawa, Sumatera Utara, Lampung, maupun lainnya, yang melakukan kegiatan ekonomi seperti perkebunan dan perikanan.

“Artinya, pendekatan lanskap bukan hanya dilihat dari kepentingan ekologi, juga politik, sosial, ekonomi, dan budaya,” katanya.

KELOLA Sendang, kata Agus, dalam menjalankan berbagai skema, misalnya perhutanan sosial, akan selalu mempertimbangkan berbagai kepentingan tersebut. “Bentang alam itu bukan semata sebagai habitat harimau, juga sebagai tempat hidup manusia dan lainnya. Yang kami perjuangkan berbagai kepentingan itu tidak saling merugikan, justru saling menguntungkan, sehingga bentang alam menjadi lestari atau berkelanjutan,” katanya.

Bagaimana jika kepentingan para pendatang lebih dominan sehingga membangunan identitas baru pada sebuah bentang alam? “Kami juga mendorong upaya adaptasi kepada pendatang. Misalnya, jika sebelumnya mereka biasa bertani di lahan mineral, mereka harus mengembangkan pertanian yang sesuai karakter lahan gambut atau rawa. Baik jenis tanaman maupun cara mengelolanya. Jangan sampai mereka mengubah gambut atau rawa menjadi lahan mineral,” terangnya.

“Di Desa Muara Medak, misalnya, kami juga mengembangkan peternakan yang sesuai rawa gambut, seperti peternakan kerbau rawa yang bibitnya didatangkan dari Pampangan Kabupaten Ogan Komering Ilir,” kata Agus.

 

Kerbau pampangan atau kerbau rawa yang potensinya menjanjikan di Sumatera Selatan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Semua bentang alam dijaga

Dr. Najib Asmani, Direktur KOLEGA Sumsel, sebuah forum berbagai organisasi peduli lingkungan yang bekerja di Sumatera Selatan, seusai rapat internal forum tersebut, awal Mei 2019, mengharapkan berbagai organisasi yang tergabung dalam forum tersebut melakukan upaya penyelamatan bentang alam atau lanskap di Sumatera Selatan.

“Berbagai bentang alam di Sumatera Selatan mengalami banyak kerusakan, sehingga dibutuhkan upaya perbaikan. Dampak negatif yang dirasakan manusia yakni kemiskinan dan juga kesehatan,” katanya.

“Jadi, yang mengurusi bentang alam itu bukan hanya organisasi konservasi juga sosial dan budaya. Tentunya, mampu membangun kemitraan dengan pemerintah, masyarakat, dan pelaku usaha, sehingga semua terselamatkan,” lanjutnya.

Bentang alam yang harus diperbaiki tersebut, kata Najib, bukan hanya wilayah pesisir timur seperti Sembilang, Air Sugihan, Cengal, Tulung Selapan, juga di dataran rendah, serta wilayah perbukitan seperti Pasemah, Semende, khususnya sepanjang daerah aliran sungai [DAS] Musi.

“Sejumlah lembaga sebelumnya telah menyatakan komitmen, sekarang kita tunggu realisasinya. Saat ini, yang sudah berjalan KELOLA Sendang yang didorong ZSL Indonesia,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version