Mongabay.co.id

Masa Transisi Pemerintahan Rawan Lepas Izin Sektor Kehutanan

 

 

 

 

Komisi Pemilihan Umum (KPU) baru saja menyelesaikan proses rekapitulasi suara nasional. Hasilnya, petahana, Joko Widodo kembali terpilih memimpin Indonesia. Meskipun Jokowi masih presiden tetapi bakal banyak perubahan, misal, di jajaran kabinet.

Walhi menilai, masa transisi pergantian kepemimpinan daerah maupun pusat atau pucuk pimpinan kementerian, lembaga terutama yang bersentuhan dengan pengelolaan sumber daya alam, rawan lepas perizinan terutama di sektor kehutanan.

Zenzi Suhadi, Kepala Departemen Advokasi Walhi Nasional mengatakan, ada relasi kuat antara tahun politik dengan penerbitan izin sektor kehutanan seperti hutan tanaman industri (HTI), hak pengusahaan hutan (HPH) maupun pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit dan lain-lain.

“Kami lihat itu kecenderungan dari poriode pasca reformasi hingga sekarang. Dalam masa transisi, ada kecenderungan pemerintah banyak mengeluarkan izin di sektor kehutanan,” katanya di Jakarta, Senin (21/5/19).

Catatan Walhi memperlihatkan, masa transisi Menteri Kehutanan Muslimin Nasution tercatat ada 59 perizinan seluas 1.630.779,61 hektar keluar. Masa transisi Menteri Kehutanan Muhammad Prakosa, 25 izin terbit 25 mencapai 2.185.843,92 hektar.

Era transisi Menteri Kehutanan MS Kaban, izin keluar ada 80 seluas 8.588.251,63 hektar dan masa peralihan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan ada 151 izin dengan luas 1.569.033,91 hektar.

“Perizinan HPH masa transisi lebih 56,40% total luas perizinan eksis. Perizinan HTI setara 25,22% dengan luas perizinan eksis. izin restorasi ekosistem dan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH-red) relatif rendah. Berdasarkan luasan dan kuantitas izin di bawah 10% total perizinan.”

Skema pelepasan kawasan hutan parsial untuk korporasi pada masa transisi, katanya, tak begitu kontras, hanya saja patut diperiksa kembali proses pelepasan kawasan hutan dengan skema tata ruang.

Zenzi bilang, hampir setengah perizinan sektor kehutanan terbit enam bulan pasca pemilu. Kondisi ini, katanya, memperlihatkan transisi merupakan masa subur penerbitan perizinan sektor kehutanan.

“Walau secara statistik ada penurunan perizinan periode kepemimpinan Menteri LHK Siti Nurbaya, namun terdapat tren ada pertumbuhan perizinan sektor kehutanan sejak 2016. Terlebih terdapat kebijakan land swap yang menyiapkan areal kerja pengganti korporasi HTI,” katanya.

Selain itu, pada akhir 2018 juga terjadi preseden buruk pemberian pelepasan kawasan hutan seluas 9.964 untuk perkebunan sawit kepada PT. Hardaya Inti Plantaions, di Buol, Sulawesi Tengah.

Bahkan, penerbitan pelepasan kawsan hutan oleh Menteri Siti ini tak lama setelah penerbitan Instruksi Presiden Nomor 8/2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Sawit.

Kerawanan lain, katanya, bisa terlihat dari arahan perizinan sektor kehutanan untuk HPH seluas 2.156.605 hektar dan HTI 815.505 hektar.

“Ini tentu ancaman, terlebih dua jenis perizinan ini penyumpang luasan paling besar pada masa transisi.”

“Ada hubungan antara partai politik dengan afiliasi bisnis sektor kehutanan. Kami sedang menelusuri aliran dana dari korporasi penerima ke Partai Politik asal menteri yang mengurusi bidang kehutanan,” katanya.

Walhi juga sedang menelusuri, relasi antara kader partai dengan korporasi-korporasi penerima izin. “Patut juga kita pertanyakan, masih pantaskah menteri dari partai politik diberikan kepercayaan presiden terpilih memegang amanat kementerian yang mengurusi sektor kehutanan dan sumber daya alam?”

 

Ilustrasi. Izin-izin pelepasan kawasan hutan biasa banyak terbit saat masa transisi pemerintahan. Waspada! Foto: Buyong/ Mongabay Indonesia

 

 

Aturan merugikan

Selain banyak izin terbit pada masa transisi, katanya, dalam beberapa peristiwa jelang pergantian kepemimpinan kerap diikuti penerbitan aturan yang justru merugikan upaya pelestarian lingkungan.

Tak jarang, peraturan terbit, justru jadi landasan melanggengkan rezim perizinan di pemerintahan selanjutnya.

“Pasca orde baru tumbang, lahir UU Kehutanan Nomor 41/1999 yang jadi akar banyak konflik agraria. Aturan lain yang terbit masa transisi seperti UU 18/2004 tentang Perkebunan yang jadi landasan hukum ekspansi perkebunan sawit.” Zenzi juga sebutkan UU Nomor 39/2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus, Undang-Undang Nomor 21/2014 tentang Panas Bumi, Undang-Undang Nomor 39/2014 tentang Perkebunan dan lain-lain.

 

Dari masa ke masa

Berdasarkan catatan Walhi, setidaknya ada 30.575.174 hektar hutan sudah terbebani izin. Angka ini setara luas Pulau Jawa ditambah Sulawesi, atau setengah luas hutan produksi di Indonesia. Terdapat, 517.739,92 hektar kawasan hutan dispensasi untuk aktivitas non kehutanan. Total luas hutan Indonesia 120.634.821, 71 hektar, setara 62,85% daratan Indonesia.

Kalau dibandingkan kawasan hutan untuk rakyat, angka sangat timpang walaupun sekarang sudah ada peningkatan dari sebelumnya. Capaian perhutanan sosial digadang-gadang dari target 12,7 juta hektar, sampai 28 Desember 2018, terealisasi 2.504.197,92 hektar.

Pada era Soeharto, ada 482 perizinan sektor kehutanan seluas 7.048.783,76 hektar. Era BJ Habibie, izin sektor kehutanan terbit 130 luas 2.336.542,40 hektar.

Angka ini, katanya, menunjukkan korporasi di sektor kehutanan tidak mengalami imbas berarti dari situasi kekacauan politik dan sosial saat orde baru tumbang.

Pada era Abdurahman Wahid atau Gus Dur, 60 izin terbit 60 seluas 2.283.034,85 hektar. Lalu di era Megawati Soekarno Putri ada 51 izin seluas 2.704.730,08 hektar.

“Perizinan sektor kehutanan puncaknya banyak diberikan masa Susilo Bambang Yudhoyono.”

Era Pemerintahan SBY, izin sektor kehutanan terbit 1.005 dengan luas 21.934.513,69 hektar. Pada era Joko Widodo, meskipun ada tren penurunan, angka cukup banyak, 435 perizinan seluas 1.711.112,12 hektar.

Melihat fenomena banyak obral perizinan di masa transisi pergantian kepeminpinan, Zenzi meminta Presiden Jokowi mengawasi Menteri LHK. Jokowi mesti mengawasi, agar tren penerbitan izin besar untuk kepentingan bisnis pada masa transisi pemerintahan tak terjadi lagi.

“Presiden juga harus audit perizinan menyeluruh berdasarkan kondisi faktual konflik agraria dan sumber daya alam serta daya dukung dan daya tampung lingkungan. Khusus, perizinan sektor kehutanan yang terbit masa transisi.”

Zenzi juga mengimbau, presiden mencari calon menteri yang tak terafiliasi dengan partai politik atau harus berlatar belakang bersih. Tidak terafiliasi dengan kepentingan bisnis untuk posisi menteri yang mengurusi urusan kehutanan dan sumber daya alam.”

Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Walhi Nasional menambahkan pasca Orde Baru jatuh, sistem politik tak menunjukkan arah perubahan dalam memandang lingkungan hidup dan sumber daya alam. Praktik obral perizinan sektor kehutanan bagi korporasi, katanya, masih terus terjadi.

“Arah kebijakan pembangunan kita masih eksploitatif dan menguras sumber kekayaan alam. Kita sebagai masyarakat harus mengawasi lebih intens lagi di masa transisi.”

Hal penting lain, kata Yaya, panggilan akrabnya, pembahasan RUU Perkelapasawitan masih jalan di DPR. Meski pemerintah pernah menolak RUU ini, nyatanya masih dibahas di DPR. Dia berharap, RUU ini tak sah di masa transisi.

“Sekarang, banyak sekali isu muncul terkait dengan perizinan di sektor perkebunan sawit. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menyatakan ada kurang lebih satu juta hektar sawit di kawasan hutan. Perlu dilihat, apakah akan pemutihan di periode transisi dan kebun jadi legal?”

Belum lagi, keterbukaan pemerintah terhadap izin-izin atau data hak guna usaha maupun konsesi masih minim. “Ini jadi peringatan untuk terus pengawasan.”

Dia berharap , pada masa transisi ini, Jokowi audit perizinan menyeluruh tak hanya sektor kehutanan, juga sumber daya alam keseluruhan. Hal ini penting, katanya, agar pemerintah ke depan bisa mulai dengan tata kelola lebih baik.

 

Kawasan hutan yang masuk dalam wilayah adat Banemo, di Halmahera Tengah, Maluku Utara, lepas kepada perusahaan sawit di masa jelang pergantian Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan, September 2014. Kini, hutan yang juga penyimpan air bersih warga ini masih terancam karena izin belum dicabut. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

 

Exit mobile version