Mongabay.co.id

Jangan Sampai, Pemindahan Ibu Kota Negara Menambah Beban Lingkungan

Masyarakat lokal di Kalimantan Tengah memiliki kearifan lokal dalam mengolah lahan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

Rencana pemindahan Ibu Kota Negara Indonesia terus digaungkan. Selain Kalimantan Timur, Provinsi Kalimantan Tengah merupakan kandidat kuat sebagai ibu kota negara yang baru. Presiden Joko Widodo, meninjau langsung wilayah yang berada di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, pada 8 Mei 2019.

Paulus Alfons Yance Dhanarto, Dosen Sosial Pembangunan FISIP Universitas Palangkaraya, kepada Mongabay Indonesia mengatakan, pemerintah harus mempertimbangkan masalah lingkungan sebelum memutuskan pemindahan. Terutama, status kawasan yang akan dijadikan sebagai lokasi ibu kota baru.

“Apakah ada HGU dan izin usaha perkebunan, izin pertambangan atau wilayah konservasi di atasnya, atau juga wilayah kelola masyarakat. Jika melihat data Dinas Perkebunan Kalimantan Tengah [Kalteng], luas izin usaha perkebunan sekitar 4 juta hektar. Bila ditambah izin HPH, pertambangan, keberadaan hutan lindung dan wilayah konservasi, dapat dipastikan ‘segitiga emas’ [kawasan yang akan dijadikan ibu kota baru] akan mengkonversi hutan. Atau bakal ada tumpang-tindih perizinan,” katanya, Rabu [22/5/2019].

Baca: Rencana Pemindahan Ibu Kota Negara, Wilayah Ini Kandidat Kuat?

 

Masyarakat lokal di Kalimantan Tengah memiliki kearifan lokal dalam mengolah lahan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Hal lain yang perlu jadi pertimbangan adalah peta status hutan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Perda RTRWP Kalteng yang belum bersinergi. Bila rencana tata ruang provinsi belum dapat diimplementasikan, rencana pemindahan ibu kota menjadi masalah baru. “Jangan sampai pemindahan ibu kota negara menambah beban lingkungan, pada gilirannya memperparah kerusakan lingkungan,” jelasnya.

Paulus memaparkan, evaluasi kondisi lingkungan harus dilakukan menyeluruh. Atas dasar kepentingan negara dan rakyat, bukan keuntungan bisnis yang rawan manipulasi. Evaluasi difokuskan pada kelestarian hutan di Kalteng, aktivitas tambang dan perkebunan, serta daerah aliran sungai [DAS] besar.

“Pemda Kalteng [provinsi dan kabupaten) juga pemerintah pusat harus serius pula peta konflik agraria. Pada 2018, telah dilaporkan ke Kantor Staf Presiden, sebanyak 344 konflik agraria terjadi, berdasarkan identifikasi Walhi Kalteng,” paparnya.

Baca: Rencana Pemindahan Ibu Kota ke Luar Jawa, Berikut Masukan Para Pihak

 

Potensi gambut di Kalimantan Tengah yang harus bisa dimanfaatkan sebaik mungkin. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Marjinalisasi

Hal lain yang dikhawatirkan Paulus adalah marginalisasi Suku Daya. Secara umum, yang dapat dilihat dari perbincangan publik adalah Dayak akan seperti Betawi yang semakin terdesak, menjadi tamu di rumahnya sendiri. Meski, pelepasan jati diri Dayak sudah dimulai dengan “pembangunan” sejak zaman kolonial, orde baru, dan pasca-reformasi. “Adat harus berhadapan dengan tantangan komersialisasi dan modifikasi. Ekowisata yang mulai merambah kampung-kampung saat ini, pada sisi lain menjadi salah satu bentuknya,” jelasnya.

Selain persoalan lingkungan, tata ruang, konflik agraria, mental pemimpin Kalteng juga perlu “direvolusi”. Gaya kepemimpinan pejabat perlu disesuaikan dengan kondisi sekarang yang lebih demokratis, melayani, transparan dan akuntabel. “Revolusi mental ini sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya korupsi.”

 

Danau Begantung, Kalimantan Tengah, dengan air gambutnya yang berwarna hitam. Gambar diambil dengan menggunakan pesawat nir awak. Dok: INFIS

 

Dampak lingkungan

Safrudin, Direktur Eksekutif Save Our Borneo [SOB], menilai jika benar ibu kota negara akan dipindah ke lokasi baru, akan ada sejumlah dampak lingkungan yang ditimbulkan. Berbagai pembangunan infrastruktur pendukung pemerintahan sudah pasti akan berdampak pada lingkungan. Bencana ekologis patut diwaspadai.

“Berdasarkan informasi rencana pembangunan/pembukaan kawasan untuk infrastruktur berada di kawasan hulu Gunung Mas. Akan banyak kawasan tangkapan air yang terbuka. Akibatnya, bencana seperti banjir, sedimentasi dan abrasi sungai kecil maupun besar di sepanjang daerah aliran sungai [DAS] Kahayan disertai kekeringan maupun longsor akan terjadi di provinsi ini,” ujarnya.

Kebutuhan material untuk pembangunan infrastruktur menyebabkan lebih banyak hutan yang akan dimusnahkan. Akibatnya, timbul kerusakan [pencemaran/limbah] di sekitar wilayah pembukaan tadi. Sudah pasti, bentang alam rusak dan rantai ekosistem terputus di areal pembangunan. “Anggaran negara juga akan semakin terbebani untuk biaya pemulihan ekologi beserta penanggulangan dampak bencana yang terjadi,” lanjutnya.

Rencana tersebut, kata Safrudin, bertentangan dengan komitmen pemerintah pusat dan daerah yang akan mejaga kelestarian hutan, guna memenuhi komitmen menekan laju perubahan iklim dengan menurunkan emisi karbon.

Sementara pada soal budaya, sebutnya, jika benar pembangunan infrastruktur pendukung pemerintahan melalui skema modal dari privat/perusahaan bukan APBN, maka bagaimana skema peralihan lahan di seluruh kawasan dilakukan. “Banyak sengketa lahan nantinya.”

Semakin banyak pula komunitas warga yang kehilangan sekaligus menerima dampak hilangnya lahan selain budaya yang tergerus. Apalagi, jika lokasi pembangunan berbenturan dengan kawasan adat. “Persoalan tenaga kerja, benturan budaya, pengangguran, dan kriminalitas disertai meningkatnya penyakit sosial seiring banyaknya pendatang, harus dipikirkan matang,” tandasnya.

 

Presiden Jokowi didampingi sejumlah pejabat meninjau salah satu lokasi alternatif pengganti Ibu Kota RI, di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, Rabu [08/5/2019] siang. Foto: Dok. Jay/Humas/Setkab

 

Dalam kajian

Mengutip keterangan resmi dari laman Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, Presiden Jokowi menyatakan, dari sisi keluasan, lokasi yang terletak di Kabupaten Gunung Mas ini memang paling siap. “Mau minta 300.000 hektar siap di sini, kurang masih tambah lagi juga siap,” kata Presiden Jokowi kepada awak media di Kelurahan Tumbang Talaken, Kecamatan Manuhing, Kabupaten Gunung Mas, Rabu [08/5/2019].

Terkait kelayakan, Presiden menjelaskan, semua masih dalam kalkulasi, dalam kajian, masih hitung-hitungan karena aspeknya banyak sekali. “Sekali lagi ini menyangkut berbagai aspek. Urusan banjir mungkin di sini tidak. Urusan gempa juga tidak. Tapi, kesiapan infrastruktur harus dimulai dari nol. Itu juga salah satu pertimbangan masalah sosial politiknya, sosiologi masyarakatnya, dilihat semuanya,” jelas Presiden.

Presiden enggan menjawab langsung perbandingan Bukit Soeharto, Balikpapan, dengan Kabupaten Gunung Mas. Ia menjelaskan, tim besar pastinya akan pergi ke lokasi yang ditinjaunya lagi. Setelah terencana matang, secara detail akan disampaikan. Dari sini, pemerintah akan memutuskan.

“Saya ini ke lapangan hanya satu [tujuan], mencari feeling. Biar dapat feeling-nya, sehingga kalkulasi dan hitung-hitungan dalam memutuskan akan lebih mudah,” ungkapnya.

Jokowi menuturkan, rencana ini merupakan visi besar jangka panjang. Hal yang berguna bisa 50 tahun atau 100 tahun akan datang untuk mempersiapkan Indonesia sebagai negara maju.

 

 

Exit mobile version