Mongabay.co.id

Kisah Insyaf Bagyo, DPO Perusak Laut yang Jadi Pejuang Konservasi di Malang Jatim

 

Pagi menjelang siang, Aral Subagyo, lelaki bertubuh kecil dempal terlihat dengan sigap membopong perahu jenis jukung untuk dilarungkan ke laut bersama rekan sesama nelayan.

Perahu yang semula diparkir dibibir pantai itu dibawa ke laut untuk mengangkut beberapa batu berbentuk balok. Batu-batu tersebut kemudian diceburkan ke laut.

Hari itu dia sedang mengikuti kegiatan penanaman Fish Apartement, tempat untuk mengembalikan terumbu karang bersama Nelayan Kondang Merak, Cabang Dinas Kelautan dan Perikanan Malang, dan Sahabat Alam Indonesia di Kondang Merak, Desa Sumber Bening, Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang, Jawa Timur.

baca : Dulu Merusak, Kini Nelayan Malang Bergiat Pulihkan Terumbu Karang

 

Pemandangan laut, Hutan Lindung, dan Gunung Mahameru terlihat disaat pagi, dalam perjalanan melihat ikan lumba-lumba dengan menyewa perahu nelayan setempat. Hal itu bisa dijadikan salah satu Obyek Daya Tarik Wisata di kawasan Kondang Merak. Foto : Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Masa Lalu Kelam

“Dulu saya merasa terpisah, tapi sekarang sudah merasa bagian dari alam,” kata Bagyo di sela-sela membolak-balikkan dan membopong batu berbentuk balok.

Sambil menaikkan muatan batu ke atas perahu, Bagyo bercerita tentang masa lalunya. Dulu, ketika belum mengenal konservasi, dia merupakan salah satu Daftar Pencarian Orang (DPO) pihak keamanan setempat, karena perburuanya yang tidak mengenal batas.

Dia mengingat, pada tahun 1992 di Kondang Merak dulu sudah mulai timbul penangkapan ikan dengan cara merusak alam, seperti aktivitas mengebom, potasium. Bahkan penangkapan satwa yang dilindungi seperti ikan lumba-lumba, penyu dan hiu pun pernah dia lakukan.

Bagyo mengaku, dirinya meneruskan perburuan dengan cara tersebut dari pendahulunya. Bahkan dia mengaku melakukanya dengan lebih parah.

“Dulu setiap kali melaut selalu menimbulkan kerusakan, pada waktu itu saya masuk DPO dengan kerusakan laut nomor dua di Malang Selatan” kenangnya.

baca juga : Kisah Sukses Warga Batu Malang Selamatkan Sumber Mata Air

 

Aral Subagyo, dulunya salah satu orang yang diburu polisi karena kejahatan perusakan laut di Kondang Merak. Selain tetap berprofesi sebagai nelayan, Bagyo juga memilih berubah dengan menjadi Tour Guide, dan bagian dari penjaga alam. Foto : Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Dia melanjutkan, ketika menjalankan aksinya dalam setengah hari bisa mendapatkan 8-12 ekor ikan lumba-lumba. Ia melakukannya karena kulit lumba-lumba mempunyai nilai jual yang tinggi.

Sementara itu, dagingnya juga dijual untuk dijadikan abon. “Kita jual kulitnya Rp50.000/kg, kalau daging Rp4.000/kg. Satu ekor lumba lumba, berat kulitnya 8 – 10 kg,” papar Bagyo.

Tidak berhenti disitu, Bagyo juga pernah berburu penyu hijau. Dalam empat jam dia bisa mendapatkan empat sampai enam ekor penyu, dengan berat per ekor 150 kg. Selain itu, ikan jenis hiu yang dilindungi pun pernah dia tangkap.

“Selama ada yang beli, apa saja saya ambil dari laut,” imbuh Bagyo.

 

Untuk melihat lumba lumba jenis hidung botol ada waktu-waktu tertentu. Nelayan maupun wisatawan tidak semuanya beruntung bisa melihatnya dilaut lepas Kondang Merak, Malang Selatan, Jatim. Foto : Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Di bawah pohon kelapa (Cocos nucifera) dan rimbunya pohon ketapang (Terminalia catappa) di kampung Nelayan Kondang Merak, kawasan Hutan Lindung Malang Selatan itu Bagyo melanjutkan ceritanya. Dulu, alat lain yang dia gunakan untuk menangkap ikan menggunakan bahan peledak TNT (Trinitrotoluena).

Dengan hanya menggunakan dua TNT dia bisa mendapatkan ikan satu truk lebih. Karena mudah ia melakukannya terus menerus.

Tahun 2009 dia mulai kesulitan mencari ikan disekitar Pantai Kondang Merak. Dia pun mencari ikan ke laut Malang Selatan berbatasan dengan Laut Blitar.

menarik dibaca : Penyelamatan Penyu dan Terumbu Karang di Pesisir Malang

 

Aral Subagyo (depan) saat membopong balok bata bersama warga nelayan lainya untuk penanaman fish apartement di perairan Kondang Merak, Malang Selatan, Jatim. Foto : Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Kedatangan Bendera Konservasi

Seiring berjalanya waktu banyak terumbu karang semakin rusak karena perburuan ikan yang tidak beraturan.

Pada tahun 2010 datang Andik Syaifuddin, aktivis Lingkungan dari Sahabat Alam Indonesia dengan membawa bendera konservasi ke Kondang Merak.

Awal mulanya memang tidak mudah untuk merubah perilaku warga sekitar untuk tidak melakukan penangkapan ikan dengan cara merusak alam dan melakukan penangkapan satwa yang dilindungi.

Bagyo mengakui, awal mula kedatangan Andik juga tidak serta merta langsung disambut dengan baik. Dia menganggap bahwa kedatangan Andik hanya akan mencari keuntungan sementara dari Kondang Merak.

perlu dibaca : Ini Cerita Sukses Konservasi Laut Desa Birawan

 

Penyelam bersiap memeriksa kondisi laut untuk melakukan penanaman fish apartement untuk replanting terumbu karang. Foto : Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Warga Nelayan, Cabang Dinas Kelautan dan Perikanan Malang, dan Sahabat Alam Indonesia bersinergi melakukan penanaman Fish Apartement. Hal itu dilakukan, salah satu bentuk upaya mengembalikan terumbu karang di Kondang Merak, Malang, Jatim. Foto : Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Andik melakukan pendekatan terus-menerus dan sering mengajak berbincang soal keberlanjutan lingkungan. Perbincangan tersebut membuat Bagyo mulai tersadar bahwa apa yang dia lakukan tidak baik untuk anak-cucunya kelak.

“Perbincangan dengan mas Andik membuatku mulai terbuka dan bertanya masak sih selamanya saya akan seperti ini? Dalam perbincangan itu kita juga membicarakan potensi wisata Kondang Merak,” ujar Bagyo.

Andik mengaku, dalam melakukan pendampingan warga sekitar membutuhkan proses yang panjang. “Pada tahun 2010, pertama kali masuk, saya tidak dihiraukan. Baru setelah dua tahun mendampingi, ikut dalam kegiatan para nelayan membuat mereka tahu dan mulai tersadar,” kenang Andik.

Andik melakukan uapaya tersebut bukan tanpa dasar. Dia mengacu pada peraturan, salah satunya yang tertera pada Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Malang No.3/2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

baca juga : Kisah Sunyi Wilfrid Tanam Terumbu Karang Seorang Diri

 

Penebaran benih ikan yang sesuai kondisi perairan setempat dan bernilai ekonomis, seperti ikan hias dan kerapu. Foto : Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Menjelma Ekowisata

Kini, Andik bersama nelayan setempat sudah mulai bergerak ke wisata alternatif.

Bersama nelayan warga kampung Kondang Merak memilih untuk mengembangkan konsep Ekowisata Bahari.

Andik menjelaskan, konsep ini merupakan konsep khusus aktivitas pariwisata yang berkaitan dengan kelautan, baik yang dilakukan di bawah laut maupun diatas permukaan laut. Ekowisata Bahari mengedepankan aktivitas wisata alam yang keberlanjutan atau ecotourisme yang berlandaskan daya tarik bahari di lokasi atau kawasan yang didominasi oleh perairan atau kelautan.

“Bersamaan dengan aktivitas wisata, nelayan sudah banyak terlibat dalam upaya konservasi. Salah satunya adalah mengembalikan fungsi karang dengan melakukan penanaman rumpon,” ujar Andik, anggota Adyaksa Diving Club Kejaksaan Agung RI (ADC) angkatan 13 tersebut.

 

Siluet aktivitas warga nelayan disenja hari saat di bibir pantai Kondang Merak, Malang, Jatim. Foto : Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Dia menganggap, itu nantinya bisa dijadikan daya tarik wisata diving ataupun snorkeling. Selain itu, warga juga membuka paket wisata dengan menjadi tour guide untuk melihat lumba-lumba.

Tarif paket wisata tersebut seharga Rp300.000/orang. Perahu yang digunakan bermuatan 5 orang dengan durasi empat jam. Tarif tersebut termasuk paket kuliner dengan aneka macam masakan khas nelayan Kondang Merak, seperti sate tuna dan sate gurita.

Dengan begitu Andik merasa yakin, hal itu tidak membuat nelayan berhenti mencari ikan, tapi ada nilai tambahan bagi warga nelayan setempat untuk mencari penghasilan lain. “Jadi tidak menghilangkan aktivitas nelayanya ya, harapanya nelayan setempat tidak kembali melakukan perburuan seperti masa lalu,” imbuh lelaki yang gemar memakai kaos bertuliskan Forest Defender itu.

 

Daratan kampung nelayan Kondang Merak dengan kondisi air laut yang tenang dan jernih, saat dilihat dari perahu nelayan yang sedang melaut. Foto : Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Terpisah, Budi Setyono, Kepala Cabang Dinas Kelautan dan Perikanan Malang usai melakukan penanaman Fish Apartement mengatakan Kondang Merak dijadikan salah satu tempat untuk penanaman Fish Apartement berdasarkan usulan Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmawas) yang sebelumnya disosialisasikan terlebih dahulu.

Pihaknya mencoba menjaring keinginan masyarakat nelayan seperti apa. Nelayan Kondang Merak mempunyai keinginan kawasan terumbu karang yang menjadi tempat berkumpul ikan.

Dengan begitu nelayan tidak perlu melaut jauh-jauh, cukup di dekat pesisir pantai rumah mereka. “Teman-teman konservasi menyebutnya ini dengan istilah Marine Protected Area (MPA). Tapi saya punya istilah lagi namanya sea rancing,” kata Budi.

Selain itu juga dilakukan penanaman Fish Apartement dengan menyebarkan beberapa jenis ikan sesuai dengan endemik aslinya. Jenis ikan yang disebar seperti ikan hias, atupun kerapu.

Agar nanti ada keberlanjutan untuk ke depan, jadi tidak hanya Top Down dari pemerintah langsung ke masyarakat. “Kami juga berupaya memenuhi seperti apa keinginan masyarakat, dengan begitu apa yang sudah kami tenggelamkan bisa dijaga oleh mereka,” tutup Setyono yang merupakan sarjana perikanan.

 

Ada beberapa masakan khas di Kondang Merak, seperti sate ikan tuna dan gurita. Hal itu sebagai salah satu daya dukung konsep Ekowisata Bahari di kawasan tersebut. Foto : Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version