Mongabay.co.id

Nasib Warga yang Hidup di Sekitar Tambang dan Pabrik Semen di Maros

Lahan pertanian di dekat pabrik Semen Bosowa, Desa Tukamasea, Maros. Petani berharap, pabrik tak menggenjot produksi semen pada Juni, agar debu tak menyelimuti bakal buah tanaman mereka. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Jalan utama Desa Tukamasea dan Baruga di Kabupaten Maros, beraspal. Jalan sempit penuh debu. Beberapa orang lalu lalang, berjalan kaki, dan berkendera. Pohon-pohon kerdil di sisi jalan, daun tampak kelam. Kalau menyentuhnya, telapak tangan akan menghitam terkena semacam debu.

Di sisi jalan ada benteng dari batako. Meliuk mengikuti jalan, sekaligus jadi penanda batas dan jarak pandang untuk kampung dan pertambangan. Di bagian lain, ada pos jaga, dengan jalan berangkal batu lebar. Papan pengumuman yang menandakan wilayah itu milik PT Bosowa Mining. Plang berwarna biru itu menuliskan pula catatan lain: unit cruiser sekitar satu km. Unit marmer sekitar lima km.

Di jalan berangkal batu, ada kubangan besar. Truk-truk pembuangan limbah perusahaan dari pabrik Semen Bosowa berakhir di area itu. Sekitar 11 orang mendirikan bangunan reot, di sana. Tujuh laki-laki dan empat perempuan. Mereka adalah para pengepul barang bekas.

Mengepak apa saja yang bisa jadi uang. Marhana, perempuan 36 tahun ini seorang ibu rumah tangga. Punya dua anak. Dia perempuan gesit dan bekerja saban waktu. Badan tak bisa diam di rumah. Akhir Desember 2018, saya menemui dia di area pembuangan. Bersama pengepul lain, dia mengumpulkan bahan buangan yang dapat di daur dan berguna kembali.

Kalau beruntung, ada pula beberapa mengambil sisa semen yang dibuang dalam karung bekas. Semen itu disaring guna memisahkan dengan kerikil dan dijual Rp30.000 per karung atau sak. Beberapa orang penadah kemudian membawa kembali ke Makassar dan menjual dengan harga Rp50.000.

Mengumpulkan sisa semen buangan, harus cepat. Petugas keamanan acap kali mendapati mereka. Kemudian menimbun dengan tanah. Kalau demikian, para pengepul hanya pasrah. Bagi mereka, itu hari yang apes.

Beberapa menit menyaksikan para pemulung, kepala saya sudah mulai berat. Debu yang beterbangan hinggap rambut seakan kaku. Lubang hidung kotor. Ketika istirahat duduk di gubuk reot, tiba-tiba semua bergegas. Ada pemberitahuan, kalau tebing dekat pembuangan limbah itu akan diledakkan.

 

Pabrik PT. Semen Bosowa Maros, nampak tanaman sekeliiling dipenuhi debu. Jarak pabrik dengan perkampungan tak lebih dari satu km. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Jarak hanya beberapa ratus meter. Jarak dari kampung sekitar satu km. Kami memutar kendaraan dan berhenti di persimpangan jalan. Ini kali pertama saya melihat proses peledakan tebing karst.

Seorang petugas keamanan yang memakai handy talkie mengabarkan ke kawannya, kalau wilayah sudah aman. Hitungan mundur mulai. “Kalau mau rekam, yang itu. Itu yang mau yang meledak,” kata petugas kepada saya.

Ketika kepulan debu itu mulai tampak di tebing, beberapa detik kemudian suara menggelegar. Lebih keras dari guntur yang bersamaan dengan petir. Jantung berdegup cepat. Dalam jarak tertentu kaca mobil bisa pecah. Bahkan, kaca jendela rumah mungkin retak. Priring yang tersusun baik di dapur bisa pecah. “Ini belum terlalu besar. Ini biasa saja,” kata petugas itu.

Di perkampungan sekitar pabrik Semen Bosowa, gelegar ledakan dinamit itu hal lumrah. Jadwal bisa setiap jelang pukul 12.00, atau dua kali dalam sehari. Getaran ledakan menyebabkan banyak kerugian warga, tetapi tidak pernah mendapatkan perhatian.

Debu dari cerobong pabrik setiap hari menempel di pakaian, di atap bahkan sumur-sumur warga.

Sekitar 500 meter dari tembok pemisah pemukiman dengan pabrik Semen Bosowa, ada gapura yang dibangun pada 2014. Ia diteken langsung Melinda Aksa, selaku Direktur Bosowa Foundation. Kampung Ammasangeng Baru. Kampung yang juga didaulat perusahaan sebagai kampung Bosowa. Jalan masuk pakai rabat beton, sepanjang 300 meter. Ini Ammasangeng Baru. Kampung Ammasangeng Lama ada di konsesi Bosowa, sudah berubah wujud jadi tempat penambangan.

Tahun 1996, ketika perusahaan datang mereka membeli tanah warga Rp2.500 per meter. Ukuran sama dengan sebungkus rokok masa itu.

Kalau warga memiliki dua lokasi di Ammasangeng Lama, perusahaan akan membayar satu lokasi saja. Pertimbangannya, lokasi baru sudah ditentukan untuk pemukiman di Kampung Tanah Mentong (Ammasangeng Baru).

Tanah Mentong, mulanya hutan bambu. Nama kampung itu dikenal karena kala melalui batuan karst ini akan berbunyi. Sebagian warga memperkirakan kalau tanah di bawah mereka bermukim sekarang, terdapat aliran sungai besar atau setidaknya goa yang menghasilkan bunyi.

 

Aktivitas pemulung di tempat pembuangan pabrik PT Semen Bosowa Maros. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Meski demikian, ada beberapa warga yang tetap bertahan di Kampung Ammasangeng Lama. Mereka tak ingin beranjak karena keterikatan akan tanah. Risiko sungguh tinggi. Setiap hari warga di sekitaran tempat itu tak pernah membuka pintu rumah. Teras rumah harus terus disapu, karena banyak debu.

Di kampung lama, tanah mereka tetap ingin dikuasai perusahaan. Karyawan Semen Bosowa terus merayu warga melepas lahan seharga Rp15.000 per meter.

Di Ammasangeng Lama dan Ammasangeng Baru, serta Desa Baruga, paparan debu dan kebisingan membuat beberapa warga mengeluh penyakit pernapasan. Anak-anak hingga orangtua, batuk berbulan-bulan dan sesak napas.

Di tempat pembuangan, orang-orang mengingat masa lalu. Kenangan akan kampung lama. “Kalau ingat yang dulu, waktu belum ada perusahaan, enak iya. Karena nda susah begini ki. Ada sawah dan tanah toh,” kata Marwah, pengepul lain.

Marwah menunjuk aliran sungai di bawah tempat pembuangan. Sungai itu bernama Ammerrung. Sungai yang saban hari mengalirkan air dari dalam mulut goa. Sungai yang dulu jadi pemenuh utama air warga. Aliran tempat Macaca maura–monyet Sulawesi–juga acap kali turun minum.

Kini, sungai sudah melebar. Di salah satu badan sungai dibangun bendungan pabrik. Kawasan sekitar merupakan tempat pengambilan bahan baku semen. Sekarang, sungai itu jadi milik Semen Bosowa, akses warga hilang.

Ulfa Utami Mappe, peneliti dari Fakultas Sosiologi Universitas Hasanuddin, mengkaji wilayah itu selama setahun. Dalam tesisnya, “Perempuan Pengepul Limbah Pabrik PT. Semen Bosowa Maros: Suatu Tinjauan Ekofeminisme,” dia menuliskan perubahaan bentang alam tak membawa dampak kemakmuran di sekitar wilayah penambangan. Dia malah mendapati ironi. Sangat timpang.

Seharusnya, panambangan semen di Kecamatan Bantimurung, di mana warga hidup berdampingan dengan industri ikut maju, bukan jadi lebih buruk. “Di Desa Tukamasea dan Baruga, untuk kebutuhan air saja, beberapa warga harus membeli air galon. Itu ironi,” katanya.

Data lain, Maros dalam Angka 2018 mencatat, dari 7.407 rumah di Kecamatan Bantimurung, terdapat 4.909 tak layak huni. Kondisi ini memposisikan Bantimurung sebagai peringkat pertama rumah tak layak di antara 14 kecamatan di Maros.

Selain persoalan akses dan lahan, dalam penelitian Ulfa juga terungkap banjir. Dalam penelitian itu, warga bernama Nirwana mengatakan, air membanjiri rumah saat musim hujan dampak irigasi Bosowa meluap. Pada musim hujan, dia dapat menampung air untuk konsumsi. “Tak perlu lagi mengeluarkan uang untuk membeli air galon yang biasa dikonsumsi keluarga saat kemarau.”

 

Saat PT. Semen Bosowa Maros melakukan peledakan di tebing-tebing karst. Getarannya hingga ke rumah warga dan dapat memecahkan kaca jendela hingga piring. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

***

Saya sedang berada di rumah Marhana, mengunggu waktu berbuka puasa pada Selasa 21 Mei 2019. Berbincang di teras depan bersama anak dan tetangga. Anak-anak generasi yang lahir 1990 akhir atau awal 2000-an tak mengerti mengapa kampung mereka diberi nama Ammasangeng.

Dalam pengertian bebas, Ammasangeng berarti sesama sanak keluarga. Mereka tak tahu kenapa jembatan itu miring, tak mengerti bagaimana orang tua mereka pindah ke kampung baru.

Jared Diamond dalam Collapse menyatakan soal amnesia bentang alam. Dia menggambarkan, bagaimana perubahaan bentang alam selama 50 tahun. Perubahaan bentang alam berlangsung selama bertahun-tahun dan hanya penduduk tertualah yang bisa menyadari itu. Para tetua akan menyampaikan itu dalam penuturan sekalipun kadang tak dipahami keturunan mereka.

Yus Husni M. Thamrin dalam autobiografi “Aksa Mahmud Putra Ombak” menuliskan, pembangunan pabrik Semen Bosowa, mulai 1996 dan ujicoba 1998. Pada 6 April 1999, peresmian dan Maret 1999, perusahaan mulai produksi komersial.

Semen Bosowa Maros jadi perusahaan pertama dan utama Bosowa Corporation dalam industri semen. Pabrik semen Bosowa mulai 15 Juli 1996 dan beroperasi pertama kali 6 April 1999, dengan kapasitas produksi 1,8 juta ton per tahun.

Sebelumnya, pada 1990, Semen Bosowa Maros mendapatkan konsensi seluas 1.100 hektar untuk cadangan bahan baku, 60 hektar untuk lahan pabrik, dan 40 hektar untuk perumahan karyawan yang berlokasi di Desa Tukamasea dan Desa Baruga. Kemudian perusahaan ini mendapatkan izin lingkungan setelah menyelesaikan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) pada 10 Juni 1991, surat izin pertambangan daerah (SIPD) keluar 17 September 1994. Dalam surat disebutkan, wilayah pertambangan bahan baku semen berupa batu gamping (limestone) seluas 750 hektar.

Surat persetujuan penanaman modal dalam negeri Nomor 650/I/PMDN/1994, keluar 10 Oktober 1994 oleh Menteri Negara Penggerak Dana Investasi/Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal.

 

Lahan pertanian di dekat pabrik Semen Bosowa, Desa Tukamasea, Maros. Petani berharap, pabrik tak menggenjot produksi semen pada Juni, agar debu tak menyelimuti bakal buah tanaman mereka. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Nilai investasi membangun pabrik semen itu mencapai Rp526 miliar pada 1996. Aksa mengajukan permohonan kredit dengan sindikasi beranggotan Bank Dagang Negara, Bank Ekspor-Impor Indonesia, Bank Negara Indonesia, Bank Tabungan Negara, Bank Danamon, Bank Niaga, Bank Nusa, dan Bank Umum Tugu.

Tahun 1994, Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional melakukan penelitian lapangan dan menemukan kalau lokasi pabrik dan area pertambangan adalah hutan lindung.

Sejak saat itu, Aksa mencari lahan di wilayah lain, sebagai pengganti yang disebut sebagai hutan kesepakatan dengan luasan setara lahan untuk pabrik dan bahan baku. Maka ditentukanlah salah satu wilayah di Luwu–saat ini jadi Kabupaten Luwu Utara di Kecamatan Rampi.

Ketika pabrik semen ini mulai beroperasi komersial, gunung-gunung karst dalam wilayah konsesi amblas. Hilang dalam sekejab. Beberapa goa lenyap, termasuk Goa Barombong, yang memiliki aliran didrologi dan sungai bawah tanah besar.

Bagi Ulfa, melihat sejarah pembangunan pabrik semen Bosowa, maka wajar kajian mengenai pertimbangan gender dan lingkungan tak menjadi salah satu fokus. “Peguasaan dan eksploitasi sumber daya alam mengakibatkan degradasi lingkungan dan kehidupan perempuan,” katanya.

Kini, lansekap gunung karst di konsesi Bosowa telah berubah. General Manager Geopark Maros Pangkep, Dedy Irfan Bachry juga geolog mengatakan, karst terbentuk sekitar 50 juta tahun lalu. Dalam skala geologi disebut sebagai iosen. “Karst di Maros Pangkep adalah tipe tower. Ini bukan soal melihat gugusan gunung batu, tapi di dalamnya ada ilmu pengetahuan,” katanya.

“Dalam perut karst ada aliran air. Menjadi penampung air raksasa dan bisa menyimpan air hingga tujuh bulan, dari hujan terakhir.”

Mongabay berusaha mengkonfirmasi soal ini kepada perusahaan. Sejak 4 Desember 2018, Mongabay mengirim surat permintaan wawancara ke Bosowa. Bagian humas Semen Bosowa, meminta pertanyaan awal. Pertanyaan Mongabay kirim pada 3 Januari 2019. Namun, hingga berita ini turuntak ada jawaban.

 

Pada musim kemarau, petani di kawasan Karts dan sekitaran pabrik semen Bosowa mengairi sawahnya dengan menggunakan pompa air. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Exit mobile version