Mongabay.co.id

Masyarakat Moi Kelim Bergantung Hidup dari Alam

Hutan yang terjaga dari tumpuan hidup masyarakat Moi Kelim. Dengan hutan terjaga, pasokan air banyak. Sungai Klalili ini, selain untuk keperluan sehari-hari warga juga sumber listrik.Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Tangan Yosmina Do, dengan terampil menganyam noken kulit kayu khas Suku Moi Kelim, Sorong, Papua Barat. Dalam satu bulan, perempuan 50 tahun ini biasa menerima pesanan noken satu sampai tiga noken. Terkadang dia menjual ke pasar.

Noken, jadi siimbol kehidupan yang baik, perdamaian dan kesuburan bagi masyarakat Papua. Noken, biasa untuk membawa barang, seperti hasil hutan, perlengkapan pribadi, sayuran, sagu dan lain-lain.

Rumput rawa, ilalang hutan, kulit kayu banto ataupun daun sintu jadi bahan dasar Yosmina membuat noken. Semua bisa ditemukan di hutan dan pekarangan rumah.

Baca juga: Indahnya Pulau di Papua Ini, Pepohonan Berbuah Satwa

Dia mengerjakan dengan telaten dari mengeringkan bahan, menganyam dan merangkai jadi noken. Biasa dia lakukan sendiri atau bersama-sama. Dalam satu sampai dua minggu, Yosmina, bikin satu noken, semua tergantung model.

”Kadang saya jual ke pasar dengan tukar kebutuhan sehari-hari kalau ada yang minta,” katanya di sela menganyam noken. Harga satu noken Rp150.000-Rp300.000, tergantung ukuran.

Sejak SMA, Yosmina terampil membuat noken. Tradisi ini warisan turun-temurun dari nenek moyangnya. Noken sudah dinobatkan Unesco sebagai warisan budaya dunia tak Berbenda pada 2012.

Baca juga: Berikut Ini temuan Riset Nilai Ekonomi di Wilayah Adat

Warna noken dari tumbuh-tumbuhan di alam. Sayangnya, kini, pewarna alami mulai sulit hingga masyarakat sering pakai pewarna buatan seperti wantex.

”Mesti mengambil ke dalam hutan yang jauh,” kata Dormina Mubalen. Meski jarang, mereka masih tetap berusaha mencari bahan pewarna alam, antara lain, merah dari mangrove dan mangi-mangi atau kayu besi, tanah merah warna hitam jadi merah dan hitam.

Ada juga kalik, kerajinan terbuat dari daun sintu. Kalik berarti tikar, anyaman dari daun sintu, tumbuhan semacam pandan.

Ada beberapa jenis kalik, misal, kalik mudus biasa untuk alas tidur. Kalik anti air, jadi bisa untuk payung saat hujan. Kalik dala atau tikar kecil untuk laki-laki, dan kalik lagi untuk perempuan dengan ukuran lebih besar dari kalik dala. Kalik dala atau kalik lagi, bisa menyimpan barang agar tak basah. Harga, Rp100.000 untuk kalik dala, Rp200.000 buat kalik lagi.

 

Perempuan-perempuan Suku Moi terampil menganyam noken, bercorak khas Moi Kelim terbuat dari kulit kayu. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Semua bahan dari hutan maupun pekarangan warga. Bagi Suku Moi, hutan merupakan darah alias hidup mereka. Ia tak terpisahkan dari kehidupan sehari hari. Mulai bahan makanan hingga keperluan rumah tangga, mereka menggantungkan dari hasil hutan.

Suku Moi Kelim, mengandalkan sagu dan umbi untuk makanan pokok. Semua berasal dari hutan. “Kami sudah mengenal konservasi sejak lahir, ” kata Robert Kalami, Ketua Konservasi Malaumkarta Raya untuk Masyarakat Adat Suku Moi Kelim.

Konservasi masyarakat adat suku Moi meliputi hutan, laut dan manusia. ”Kami konservasi kawasan, bukan spesies. Konservasi sudah dibangun dari orangtua,” katanya.

Hidup berdampingan dengan alam jadi pilihan bagi Suku Moi Kelim, Kampung Malaumkarta, Distrik Makbon, Sorong ini.

Obat-obatan, pangan lokal, air bersih, udara bersih mereka dapatkan cuma-cuma. Hal itulah yang menjadi bayaran atas perlindungan yang mereka jaga ketat.

Saat memasuki hutan adat yang terletak tak jauh dari jalan raya, sepanjang perjalanan, langsat tampak berbuah. Rasanya, segar, manis dan asam.

Jeffry Mobalen, Kepala Kampung menunjukkan obat-obatan, salah satu daun gatal yang banyak dicari orang. Tumbuhan ini cukup terkenal di Papua sebagai obat menghilangkan rasa lelah.

Bagian daun gatal ini terdapat bulu-bulu halus, yang kemudian diusapkan pada bagian tubuh terasa capek. Kulit akan muncul bentolan dengan rasa sedikit gatal, dan hangat. Tak menyakitkan, dan bisa lakukan berulang kali. Ada juga daun tali kuning untuk obat malaria.

 

Masyarakat Suku Moi Kelim dengan busana dan aksesoris pelengkap khas adat. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

 

Jaga alam dengan egek

Dalam pemanfaatan hutan, Suku Moi Kelim, punya ketentuan adat yang diterapkan secara musyawarah. Salah satu, egek, merupakan konsep konservasi tradisional Masyarakat Moi. Mereka secara musyawarah menetapkan zona inti di laut dan hutan dengan pemanfaatan diatur dalam hukum adat.

Egek ini menjadi penting bagi masyarakat Moi Kelim karena muncul dari insisasi masyarakat adat sendiri.

Sejak 2011, Malaumkarta pemekaran wilayah jadi Kampung Malaumkarta, Suatolo, Mibi, Suatut, dan Malagufuk. Mereka tergabung dalam persekutuan Ikatan Kampung Malaumkarta Raya (IKMR) secara bersama menjaga hutan dan laut, tak mengenal usia dan gender. Semua kampung bersepakat menjaga laut dan hutan.

Egek tak hanya berlaku di darat juga laut. Masyarakat menjaga laut lewat egek, mampu menghasilkan hingga Rp200 juta setiap sekali panen. Untuk wilayah lain di timur Indonesia, kearifan lokal egek ini biasa dikenal dengan sasi. Ia larangan mengambil sumber daya alam tertentu– laut dan hutan—sebagai upaya pelestarian ekosistem.

Egek dilakukan bersama gereja. Saat mengambil hasil panen laut, masyarakat dilarang pakai alat tangkap yang membahayakan bagi keberlanjutan sumber alam, seperti jaring dan potasium.

Warga hanya boleh menangkap ikan dengan cara yikmen (mengail), yafan (memanah) dan yakalak (menombak). Biasanya, mereka memanen tripang, lobster, dan lola (kerang).

Masyarakat pun masih boleh mengambil ikan untuk kebutuhan sehari-hari, namun tak bisa mengambil spesies dilindungi dan ditetapkan masyarakat.

Everadus Kalami, Kepala Badan Musyawarah Kampung Malaumkarta menyebutkan, Malaumkarta, dahulu terkenal sebagai masyarakat pemburu penyu. Sampai pada kesadaran populasi penyu yang kian berkurang.

Masyarakat pun sepakat menghentikan perburuan penyu dan jadi pantangan. Kalau melanggar, akan ada denda adat yang ditentukan melalui musyawarah.

Jefri Mubaleng, Kepala Kampung Maulaumkarta mengatakan, advokasi perlindungan hutan dan laut, merupakan perjalanan panjang sejak 2000. ”Kami tak mau kampung rusak seperti kampung tetangga,” katanya.

Ancaman tetap ada. Pada 2007, perkebunan sawit maupun usaha pemanfaatan hasil hutan kayu sempat menawar lahan masyarakat. Warga bersama-sama menolak.

 

Konservasi egek, merupakan konsep konservasi tradisional Masyarakat Moi. Mereka secara musyawarah, menetapkan zona inti di laut dan hutan dengan pemanfaatan diatur dalam hukum adat. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Torianus Kalami, anggota DPRD Sorong bercerita, pada 1997, berjuang menolak sawit masuk hutan mereka.

Bersyukur, hingga kini kekayaan Moi Kelim, lumayan terjaga dari kuasa investasi besar.

Saat ini, mereka mendorong pemerintah daerah membuat peraturan daerah untuk pengakuan dan perlindungan masyarakat adat, terutama Kabupaten Sorong Selatan dan Raja Ampat.

Loury Dacosta, Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Keadilan Papua Barat mengatakan, pengakuan dan perlindungan masyarakat adat Moi di Sorong, sudah ada lewat Peraturan Daerah Sorong Nomor 10/2017. Bahkan, Bupati Sorong pun memperkuat tradisi dan kearifan lokal egek melalui Peraturan Bupati Nomor 7/2017 tentang Hukum Adat dan Kearifan Lokal dalam Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Laut di Kampung Malaumkarta, Distrik Makbon, Sorong.

”Kami sedang mendorong tata batas hutan untuk ditetapkan dalam peraturan bupati,”kata Tori.

Johny Kamuru, Bupati Sorong berjanji, menetapkan batas dan menerbitkan regulasi perlindungan hutan bagi masyarakat adat Moi Kelim. Dia sebutkan, tantangan saat ini pemetaan dan tata batas antarmarga.

”Saya cenderung agar hutan adat dijaga dan tak usah diapa-apakan kalau tidak ada baiknya untuk masyarakat.”

Dia bilang, seringkali pemberian izin perkebunan, ataupun izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu menjadi beban sosial dan struktural bagi pemerintah kabupaten. Pasalnya, izin itu kewenangan provinsi.

”Jalan-jalan yang dibangun gunakan APBD hancur dilewati truk pengangkut kayu log. Ini rumit penyelesaiannya.”

Sejak 2010, kata Johny, beberapa perusahaan perkebunan sawit beroperasi di Sorong. Ada juga dijual kembali ke pihak lain.

 

Cangkang Keong digunakan oleh Masyarakat Adat Suku Moi Kelim untuk memanggil masyarakat satu kampung, dengan cara ditiup. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

 

Mikrohidro dari dana desa

Kekayaan Moi Kelim, berlimpah, termasuk sumber air. Dua kampung di Distrik Makbon, Sorong, telah menginisiasi pembangunan pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMh), di Kampung Malaumkarta dan Suatolo. Mereka bangun pembangkit dari dana desa.

”Anggaran Rp1 miliar lebih,” kata Jefri Mobalen.

Anggaran ini, gabungan dari dana dua desa, masing-masing Rp600 juta dengan kapasitas 50 kwh.

PLTMh ini berada dalam hutan dan melewati Sungai klalili. Air jernih. Air terjun Kla Ugan, jadi hulu sungai ini tak hanya jadi sumber listrik juga pemenuhan keperluan air bersih di rumah-rumah.

Sejak 2017, masyarakat kedua kampung sudah bisa menikmati listrik siang dan malam. Sebelumnya, masyarakat pakai minyak tanah atau getah damar untuk penerangan.

Kalau musim kemarau tiba, listrik hanya nyala malam hari karena debit air dari hulu berkurang. Biaya perawatan Rp10.000 per bulan per keluarga. Kalau ada kerusakan, per keluarga biasa dipungut Rp100.000.

”Ini lebih hemat berkali-kali lipat dibandingkan pakai minyak tanah atau getah damar. Bisa sampai ratusan ribu,” katanya.

Setelah penerangan masuk desa, warga jadi lebih produktif, anak-anak bisa belajar malam hari, para perempuan dapat membuat kerajinan dan lain-lain.

 

Memanen sagu di tengah hutan. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Moi Kelim juga memiliki potensi pariwisata, seperti Pulau Um, sekaligus kawasan konservasi komunitas adat ini. Pantai bersih berpasir putih. Ke sana bisa pakai kapal nelayan, berjarak sekitar satu km atau sekitar 15 menit dari Kampung Malaumkarta.

Pepohonan di Pulau Um, kalau siang hari penuh kalong (sebangsa kelelawar (Chiroptera) bertubuh lebih besar, tergolong marga Pteropus familia Pteropodidae). Kala malam hari, berganti jadi ‘rumah’ bagi burung camar.

Um, merupakan nama marga di Moi Kelim yang sudah punah. Di pulau ini, wisatawan dapat melihat terumbu karang dan dugong kala snorkelling. Jefri bilang, di pulau ini juga ada pekakak (king fisher), dan lain-lain.

 

Kekayaan melimpah

Alam jadi kekayaan tak ternilai yang seringkali dikesampingkan pemerintah dan pemodal. Kearifan lokal sangat bermanfaat bagi masyarakat.

Investasi perkebunan, pertambangan dan kayu atau bisnis skala besar kerap jadi pilihan pemerintah dengan dalih meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mensejahterakan masyarakat dan memberikan lapangan pekerjaan. Riset Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), membuktikan, usaha masyarakat atau komunitas adat mampu menggerakkan ekonomi mereka.

Pada Juni 2018, AMAN menghitung nilai ekonomi pada enam wilayah masyarakat adat di Indonesia. Tujuaannya, ‘mendobrak’ anggapan keutuhan alam masyarakat adat tak produktif atau bernilai rendah.

Masyarakat Moi Kelim, Sorong, salah satunya. Komunitas lain, Karang di Lebak, Banten; Kajang di Bulukumba, Sulawesi Selatan; Kaluppi di Enrekang, Sulawesi Selatan; Seberuang di Sintang, Kalimantan Barat, dan Saureinu di Mentawai, Sumatera Barat.

”Nilai ekonomi sumber daya alam yang dikelola Kampung Malaumkarta di Sorong senilai Rp156,39 miliar per tahun,” kata Zuzy Anna, Direktur Eksekutif Pusat Studi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Universitas Padjajaran.

Bersama Tim Ekonomi AMAN, Zuzy menghitung nilai pasar langsung dan tak langsung serta nilai non pasar (nilai keberadaan) dari pemanfaatan sumber alam.

Untuk nilai ekonomi dengan manfaat langsung, antara lain, pemanfaatan sumber alam bagi kebutuhan sehari-hari (pertanian, obat-obatan, perkebunan, hutan, perikanan, jasa lingkungan pariwisata, budaya maupun kearifan senilai Rp7,96 miliar per tahun.

Nilai manfaat tak langsung, seperti jasa dari fungsi ekosistem yang didapatkan dari kawasan ekosistem di hutan, mangrove, terumbu karang dan padang lamun. Salah satu, dalam penyerapan karbon, nilai mencapai Rp 148,43 miliar per tahun.

Budaya dan kearifan lokal pun jadi nilai tak langsung dari persepsi masyarakat. Nilainya, sekitar Rp3,5 miliar hingga nilai ekonomi total Rp159,93 miliar per tahun.

”Jika dikonversi ke nilai ekonomi per kapita per tahun, mencapai Rp828,65 jutaan,” kata Zuzy.

Nilai ekonomi dari manfaat langsung mencapai Rp41, 231 juta atau Rp 3,436 juta per kapita per bulan.

Kalau dibandingkan dengan upah minimum regional 2018, Papua Barat sebesar Rp2,67 juta per bulan, maka nilai ekonomi langsung masyarakat Moi Kelim di Malaumkarta, masih lebih tinggi Rp3,43 juta per bulan.

 

Apa yang ada di Palau Um ini dilindungi oleh masyarakat adat Moi Kelim. Ia tak boleh diganggu baik satwa maupun tumbuhan. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Kalau dibandingkan, nilai pendapatan domestik regional bruto Sorong dengan non-migas pada 2016 sebesar Rp2, 803 miliar dengan penduduk 82.784 jiwa atau Rp 2, 821 juta per kapita per bulan. ”Ini jelas nilai ekonomi langsung Moi Kelim masih di atas PDRB tanpa migas,” katanya.

Kalau PDRB Sorong dengan migas sebesar Rp 7,717 triliun atau Rp7.768.118,28 per kapita per bulan.

Bahkan, valuasi ekonomi itu, kata Zuzy, belum masuk nilai ekonomi listrik mikrohidro dari dana desa. ”Mungkin nilai akan bertambah dan makin tinggi.”

Muhammad Arman, Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum dan HAM PB AMAN mengatakan, hasil valuasi ekonomi lansekap Moi Kelim di Kampung Malaukarta jadi bukti masyarakat bukanlah beban negara.

”Pengakuan dan perlindungan masyarakat adat itu bukan jadi beban anggaran negara, seperti yang pernah disebutkan pemerintah,” katanya. Sebelum ini, Tjahjo Kumolo, Menteri Dalam Negeri sempat menyatakan, Rancangan Undang-undang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, membebani keuangan negara.

Dengan kajian ini, katanya, terlihat pembangunan ekonomi dengan menjaga sumber daya alam bisa dilakukan, seperti aksi masyarakat adat ini.

Dia berharap, kekayaan di Kampung Malaumkarta mampu membuktikan, kalau masyarakat adat memiliki potensi ekonomi tak ternilai. Kondisi akan lebih baik lagi, kala masyarakat adat mendapatkan pengakuan dan perlindungan hak-hak mereka termasuk wilayah adat.

”Saya berharap Malaumkarta jadi laboratoriumm umum untuk belajar tentang konservasi berdasarkan kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat,” kata Tori.

 

 

Keterangan foto utama:  Hutan yang terjaga dari tumpuan hidup masyarakat Moi Kelim. Dengan hutan terjaga, pasokan air banyak, seperti di Sungai Klalili, selain untuk keperluan sehari-hari warga juga sumber listrik.Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Pantai Pulau Um yang bersih. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia
Masyarakat Moi Kelim, hidup bergantung hutan. Maka, hutan harus mereka jaga. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Exit mobile version