Mongabay.co.id

Mencari Solusi Kelola Lahan Masyarakat Sekitar TN Kelimutu

 

Baca tulisan sebelumnya: Komunitas Adat Bersikeras Tebang Pohon dalam Kawasan TN Kelimutu. Bagaimana Solusinya?

 

Kawasan Taman Nasional Kelimutu (TNK) yang terletak di Kabupaten Ende Provinsi Nusa Tenggara Timur, memiliki area yang tidak terlalu luas. Sesuai SK Menteri Kehutanan Nomor 675/KPTS-II/97 luasnya 5.356,5 hektar. Garis batasnya meliputi 241 pal batas dengan panjang 48,423 km. Ia termasuk salah satu taman nasional dengan luasan terkecil di Indonesia.

Wilayahnya berdampingan dengan 24 desa dan satu kelurahan yang ada di lima kecamatan, yaitu: Ndona, Wolojita, Kelimutu, Detusoko dan Ndona Timur.

Sebelum ditetapkan sebagai taman nasional, masyarakat adat sudah bermukim di dalam kawasan ini sejak lama. Tak heran, jika sekarang pun masih dapat dijumpai kebun warisan milik warga dalam kawasan TNK.

Dengan kondisi demikian, sosialisasi pengelolaan kolaboratif bersama warga menjadi kata kunci. Tantangan ini menjadi keniscayaan agar TNK dapat terus lestari.

“Masih banyak istilah yang digunakan oleh pihak TNK [terdengar] asing di masyarakat. Semisal istilah ‘kawasan penyangga’ taman nasional. Padahal wilayah masyarakat adat menjangkau hingga Danau Kelimutu jauh di sana,” jelas Elias Mbani.

Elias adalah tenaga pendamping lapangan Yayasan Tananua Ende, sebuah lembaga yang telah bertahun-tahun bekerja mendampingi peningkatan sosial ekonomi masyarakat di wilayah ini.

 

Salah satu bentang alam khas yang ada di TN Kelimutu, tampak dari arah Desa Roga. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Lembaga ini mendampingi masyarakat untuk mengelola lahan pertanian, menanam tanaman buah produktif, pengembangan kopi rakyat, hingga intensifikasi lahan lewat pemupukan organik.

“Di Desa Roga ada satu kebun kopi yang berada di dalam kawasan TNK.Tapi kopi tersebut sudah tidak dipanen lagi. Kebun masyarakat sekarang sudah tidak ada lagi yang berada di dalam kawasan,” tambah Elias.

Warga diajak tidak lagi melakukan penebangan kayu di dalam kawasan untuk membuka dan membakar ladang. Kesadaran dari pihak warga masyarakat pun mulai muncul. Meski belum dapat dikatakan program yang dijalankan berjalan secara keseluruhan.

Untuk menghindarkan konflik batas kawasan antara TNK dan tanah warga, Tananua menggagas peta desa. Namun sayangnya ide itu tidak seluruhnya berjalan. Ada juga yang tidak mendapat persetujuan Mosalaki (kepala adat). Elias tidak menyebut apa alasannya.

“Peta desa hanya bisa dibuat adalah untuk lima desa dampingan, Niowula, Nduaria, Wolokelo, Pemo dan Woloara. Dengan peta desa maka sebenarnya bisa diketahui wilayah perbatasan TNK dengan desa,” ungkapnya.

 

Peta Arahan Zonasi Kawasan Taman Nasional Kelimutu

 

Program Masyarakat Mitra Polhut

Lewat Program Masyarakat Mitra Polhut (MMP), dari pihak TNK menelurkan program pelibatan warga masyarakat untuk memantau dan mengawasi kawasan.

Polhut TNK Resort Wolojita, Antonius Menua, menyebut MMP untuk kawasan TNK telah terbentuk di 22 desa dan satu kelurahan yang bersentuhan langsung dengan kawasan.

“Setiap desa ada 12 anggota MMP. Tahun 2018 lalu ada 4 kali kegiatan pemantauan. Sekali perjalanan butuh waktu selama 3 hari. Dalam kegiatan dilakukan pembersihan jalur dan mengecek pilar batas kawasan,” jelasnya.

Tahun-tahun sebelumnya, dalam sebulan setiap anggota MMP mendapat honor Rp50 ribu. Sejak tahun 2018, sistemnya diubah. Sehari patroli, upah diterima Rp170 ribu.

“Kami berangkat pagi hari dan pulang sore. Bisa 2 jam berjalan kaki dari Dusun Toba,” ungkap Thomas Nggao. Dia anggota MMP yang juga keturunan mosalaki setempat.

Selama patroli dia bilang tidak menjumpai adanya perambahan hutan. Masyarakat juga tidak lagi menebang pohon di dalam kawasan. “Karena sudah tumbuh kesadaran,” sebutnya. Kayu kering untuk kayu bakar pun biasanya dipilih dari ladang sendiri.

Meskipun menerima honor untuk setiap patroli, sebenarnya tugas MMP lebih dari itu. Hari-hari lainnya, secara sukarela mereka tetap menjaga kawasan hutan. Meski tidak mendapat insentif bayaran.

“TNK perlu dijaga karena sudah jadi aset wisata dunia. Secara sukarela kami jaga kelestarian lingkungannya,” sebut Konradus Kee, Ketua MMP di Desa Roga. Dia juga aktif di kelompok tani setempat.

Konradus teringat himbauan dari Yayasan Tananua agar masyarakat dapat turut menjaga kelestarian hutan. Tidak menebang pohon dan membakar hutan.

 

Perkampungan Tiba, Desa Roga. Permukiman ini diapit Gunung Kelibhara dan Gunung Kelimutu. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Ketua Aliansi Masyarakat Adat (AMAN) Nusa Bunga Flores, Philipus Kami pun punya pendapat senada. Dia setuju dengan adanya program MMP.

“Terbentuknya MMP sangat efektif untuk mencegah adanya perambahan hutan di dalam kawasan TNK. Pelibatan masyarakat menjaga hutan sudah sangat bagus. Hanya perlu dipikirkan penambahan honor atau bantuan kepada kelompok MMP,” pintanya.

Honor memang jadi dilema. Dengan tuntutan untuk selalu mengawasi kawasan hutan, maka tidak bisa hanya dilakukan patroli sekali dua kali saja. Di sisi lain TNK terbatas dalam masalah anggaran. Anggota MMP pun berstatus relawan.

Hal lainnya yang diusulkan Philipus adalah memperkuat ekonomi masyarakat sekitar TNK. Rata-rata anggota MMP, -semisal Konradus, adalah anggota kelompok tani di desa mereka. Jadi pendekatan menjaga kawasan dan peningkatan ekonomi dapat dijalankan sekaligus.

 

***

Blasius Paka, lelaki tua itu menggunakan tenun ikat tradisional. Dia sibuk mengeluarkan biji kopi dari wadahnya. Kopi itu ia jemur di bawah terik matahari pagi yang hangat.

Tak hanya Blasius, tampak beberapa orang lain di Dusun Toba, Desa Roga sedang sibuk menjemur kopi. Desa ini memang mengandalkan komoditas pertanian seperti kopi sebagai andalan kehidupan warganya.

Selain kopi, sekarang kemiri dan durian pun tampak tumbuh subur. Kehidupan bertani masyarakat Roga mulai berubah positif setelah masuknya program pendampingan yang dilakukan Tananua sejak tahun 2016.

Ada 17 kelompok petani di lima desa dampingan lembaga ini. Kelimanya masuk wilayah yang langsung bersentuhan dengan TNK. Tananua juga turut mendampingi cara pembuatan pupuk organik dari sisa tanaman.

“Ternyata bahan-bahan yang selama ini ada di sekitar kita bisa dijadikan pupuk. Petani tidak lagi pusing untuk membeli pupuk kimia. Perlahan, hampir semua petani mulai tinggalkan pupuk kimia,” sebut Konradus.

Dia menyebut di desanya tidak ada larangan bagi petani untuk menggunakan pupuk kimia. Semua didasarkan atas rasa kesadaran. Konradus sendiri mengetuai sebuah kelompok yang memiliki 20 orang anggota.

 

Blasius Paka, seorang petani Dusun Toba, Desa Roga, Kecamatan Ndona Timur, Kabupaten Ende. Pertanian menjadi mata pencarian masyarakat desa di wilayah ini. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Yayasan Tananua fokus dalam melakukan pendampingan intensifikasi lahan. Alasannya jelas agar tidak ada perambahkan di dalam TNK. Sebelumnya, banyak petani yang mempraktikkan sistem tebas-bakar dan ladang berpindah. Aktivitas ini dinilai tidak sesuai dengan karakteristik wilayah yang berdampingan dengan keberadaan sebuah taman nasional.

Untuk memperkaya hara tanah, tanaman kaliandra yang kaya nitrogen tanah di tanam. Untuk pakan ternak ditanam rumput gajah.

Saat ini kopi jenis arabika menjadi andalan warga di Desa Roga. Kopi dijual ke pengumpul, ke pasar desa bahkan bisa dijual langsung ke kota Ende. Sekali panen kopi secara keseluruhan bisa menghasilkan hingga 20 ton.

“Harga jual kopi Rp30 ribu/kg, kemiri Rp25 ribu/kg sudah kupas kulit. Kalau kopi sortir dijual ke Tananua, Rp50 ribu/kg,” tutur Konradus.

Dengan harga jual itu, petani bisa menikmati hasil sekali panen antara Rp3-4 juta. Lahan yang digunakan pun tak terlalu luas, rata-rata hanya satu hektar. Petani juga menanam bawang merah di petak tersebut.

Meski ekonomi dari lahan mulai menjanjikan, dia menyebut warga Desa Roga mengerjakan tanpa ada bantuan dari pemerintah. Bantuan datang hanya dari LSM.

“Kami sulit mendapat [akses] bantuan dari pemerintah, kami swadaya saja. Bantuan dari pihak TNK juga hanya sebuah traktor,” jelas Konradus.

Elias percaya jika kedepan ekonomi masyarakat di desa-desa sekitar TNK akan berbasis kepada optimalisasi lahan. Untuk itu warga harus bekerja keras untuk mengelolanya.

“Ekonomi kita ada pada lahan. Untuk itu, rawat kebun, rawat tanah. Ketika tanah dan kebun baik maka hasil akan melimpah,” pungkasnya.

 

 

Exit mobile version