Mongabay.co.id

Hari Lingkungan Sedunia: Penanganan Polusi Udara Harus jadi Prioritas

Pegiat lingkungan yang aksi dengan bersepeda dan pakai masker di Bundaran HI Jakarta. Foto: Indra Nugraha/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Farid Mardhi, harus dua kali masuk Unit Gawat Darurat karena infeksi saluran pernafasan atas. ”Hidung tak enak, jadi kalau napas jadi sakit,” kata pria 26 tahun di Jakarta.

Sehari-hari karyawan swasta ini pulang pergi dari Tangerang Selatan ke Jakarta untuk bekerja. Kereta rel listrik (KRL) dan ojek online jadi pilihan sehari-hari. Bagi dia, hal paling terasa saat udara kotor adalah kala berangkat dan pulang bekerja, harus pakai masker.

”Sekarang, kalau tak pake masker, males keluar apalagi ke Jakarta. Dulu, pernah gak pake masker, tidak nyaman di hidung makin parah sampai harus ke dokter karena ISPA,” katanya.

Tak jauh beda dengan Yolanda Fredericca. Perempuan 21 tahun ini baru setahun pindah bekerja ke Jakarta. ”Sangat kerasa berbeda dengan udara di Lubuk Linggau (asal daerah) dan Yogyakarta (daerah tinggal sebelum ke Jakarta). Di Jakarta, gak bisa keluar dikit tanpa masker,” katanya.

Sejak di Jakarta, dia tak tahan dengan asap kendaraan bermotor karena bikin sesak napas dan mata perih. ”Sepulang bekerja saat membersihkan make up dengan cleanser, kapas menjadi hitam,” katanya.

Dia mayoritas bekerja di dalam ruangan, sesekali harus pergi bertemu klien di luar kantor. ”Kadang-kadang saya ngeliat indikator polusi udara, kalau gak buru-buru sih lebih memilih naik mobil atau bus agar tidak panas dan polusi. Biasanya, kalau kerja ya tetap naik ojek online sih meski udara gak sehat.”

Udara Jakarta, kotor. Pada Maret 2019, rilis laporan yang memperlihatkan, udara Jakarta rangking pertama terburuk di Asia Tenggara. Pada Senin (4/6/19), Mongabay, sempat mengecek laman Real-time Air Quality Index (AQI) pukul 10.00 menujukkan kualitas udara PM2,5 di Jakarta, menyentuh angka 154 dengan indikator tak sehat. Padahal, kondisi jalanan Jakarta saat itu tak terjadi kemacetan, melalui Google Maps, didominasi warna hijau, tak seperti hari biasa wargna merah bertebaran. Warga Jakarta, sudah mulai libur Lebaran.

 

PLTU batubara dampak penurunan kualitas kesehatan masyarakat baik karena debu maupun asap pembakaran batubara yang mengandung logam berat dan beracun. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Pada waktu sama pula, kualitas udara di Indonesia, terburuk dibandingkan negara Asia Tenggara. Meski angka lebih rendah sedikit dibandingkan ibu kota Tiongkok, Beijing mencapai 160.

Serupa dengan indeks kualitas udara punya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)—dengan alat terletak di Gelora Bung Karno— pada waktu sama menunjukkan, angka 89. Artinya, tidak sehat. Dalam 24 jam itu, angka tertinggi 135 pada pukul 00.00.

Di Jakarta, kualitas udara buruk hampir sepanjang tahun dengan sumber utama kendaraan bermotor. Pada bagian daerah lain, seperti Kalimantan dan Sumatera, asap kebakaran hutan dan lahan jadi penyebab utama polusi udara terutama musim kemarau. Pencemaran udara karena PLTU batubara atau pabrik-pabrik yang menggunakan pembakaran dengan batubara juga terjadi serta sumber-sumber pencemaran lain.

”Polusi udara ini harus menjadi prioritas bagi pemerintah. Harus ditangani,”kata Bondan Andriyanu, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.

Polusi udara jadi tema Hari Lingkungan Hidup Sedunia, yang ditetapkan oleh UN Environment, 5 Juni ini. “Kendalikan Polusi Udara” (#BeatAirPollution). Tema ini mengacu peringatan dari World Health Organization (WHO) soal ancaman terbesar kesehatan manusia yaitu polusi udara. Indonesia mengambil tema “Biru Langitku, Hijau Bumiku.”

UN Environment mengatakan, lima alasan yang membuat harus sadar polusi udara, antara lain, pertama, udara yang tercemar menyebabkan darurat kesehatan. Kedua, anak-anak memiliki risiko tinggi. Ketiga, polusi dan kemiskinan berjalan beriringan. Keempat, makin murah bahan bakar, makin tinggi biaya. Lima, hak udara bersih adalah hak asasi manusia.

Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Walhi Nasional mengatakan, pencemaran udara di Indonesia, sudah sangat parah, terutama di kota besar, seperti Jakarta. Walhi, katanya, memantau melalui aplikasi Air Visual (IQAir), Jakarta menduduki peringkat pertama. “Padahal, tidak ada kemacetan, kendaraan berkurang,” kata Yaya, panggilan akrabnya.

 

Gugat pemerintah

Selama satu bulan terhitung 14 April 2019-14 Mei 2019, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), resmi menutup pembukaan Pos Pengaduan Calon Penggugat untuk pengajuan gugatan warga negara (citizen lawsuit) terkait pencemaran udara di Jakarta.

Pembukaan posko pengaduan ini pun karena keluhan masyarakat yang merasa aktivitas dan kesehatan terganggu karena polusi udara. Awalnya, LBH sudah ada 20 calon penggugat dari aktivis lingkungan.

”LBH Jakarta menerima 37 pengadu atau calon penggugat dari berbagai latar belakang. Mereka merasa dirugikan karena kondisi udara,” kata Ayu Eza Tiara, Pengacara Publik LBH. Total calon penggugat 57 orang.

Mereka terdiri dari karyawan swasta, PNS, aktivis, mahasiswa, akademisi, jurnalis, advokat, guru, ibu rumah tangga hingga pengemudi ojek online. Gugatan yang akan dilayangkan 18 Juni 2019 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ini pun menggugat Presiden Joko Widodo, Siti Nurbaya selaku Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Nila Moeloek selaku Menteri Kesehatan. Juga, Anies Baswedan, Gubernur Jakarta, Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Barat, dan Wahidin Halim selaku Gubernur Banten.

 

Aksi Walhi, protes kebakaran hutan dan lahan minim penegakan hukum kepada korporasi. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Sebelumnya, melalui gerakan masyarakat sipil akudanpolusi.org sudah mendapatkan dukungan 855 orang yang merasa dirugikan.

Para pengadu atau calon penggugat pun mengeluhkan hal sama gara-gara kualitas udara Jakarta buruk. Mereka merasa, kenyamanan saat beraktivitas di ruangan terbuka terganggu dan mengancam kesehatan, seperti sesak napas, asma, batuk dan lain-lain.

Berdasarkan data KLHK, rata-rata tahunan PM2,5 di Jakarta, mencapai 34,57 µg/m3. Artinya, dalam data itu konsentrasi PM2,5 di Jakarta mencapai tiga kali lipat dari batas aman tahunan standar WHO. Juga melebihi batas aman tahunan, menurut standar nasional sesuai PP Nomor 41/1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, sebesar 15 µg/m3. 

”Awalnya, kita menggugat wilayah Jakarta, tetapi udara itu kan bergerak lintas batas. Kita berpikir, wilayah penyangga di sekitar Jakarta, seperti Depok, Bekasi, Bogor, Tangerang,” katanya.

Yaya mengatakan, perbaikan kualitas udara Jakarta, mendesak. Apalagi, berdasarkan aturan pemerintah, standar kualitas udara sangat tak memadai atau rendah dibandingkan WHO.

“Bahkan, standar rendah pun kita kadang tak bisa memenuhi.”

Walhi bersama masyarakat yang menggugat pun menuntut selain ada perubahan kebijakan, perlu perubahan standar kualitas udara lebih baik, minimal sesuai standar WHO. Pemerintah, katanya, perlu perubahan mengatasi sumber pencemar dari point source. Sumber polusi ini, katanya, sangat mudah diketahui karena menetap, seperti industri, PLTU, pembakaran sampah. Berbeda dengan transportasi yang berasal dari moving source.

Dia bilang, kerugian polusi udara belum dilihat sebagai kerugian ekonomi bagi pemerintah Indonesia. ”Sekarang ini pencemaran udara tak merugikan negara secara langsung hingga dianggap tidak penting,” katanya.

Pemerintah, katanya, harus menjadikan perbaikan kualitas udara jadi prioritas kerja. Hak lingkungan hidup bersih dan sehat, katanya, hak warga dan ada dalam konstitusi negara, UUD 1945. “Negara berkewajiban memenuhi hak-hak warga negara ini. Tanpa menunggu pengaduan apalagi sampai menelan korban jiwa.”

Pemerintah, katanya, juga harus kaji kembali sumber pencemaran udara. Pengamatan Walhi, kata Yaya, pencemaran udara kontribusi dari beberapa faktor, antara lain, aktivitas industri, pembakaran sampah dan emisi pembakaran PLTU batubara, kendaraan bermotor dan lain-lain.

Bondan Andriyanu, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia menyesalkan, advokasi masyarakat sipil soal pencemaran udara tak disambut baik pemerintah.

”Setiap ada penelitian dan laporan dimana Air Visual (IQAir) menjadi rujukan seluruh dunia. Respon pemerintah kita selalu menghindar dan mempertanyakan metode. Bukan menjadi sesuatu yang penting dan mengkajinya,” katanya.

Menurut dia, stasiun alat pantau yang terpasang saat ini di Jakarta, masih sangatlah kurang, hanya lima unit. Demi kepentingan warga, pemenuhan alat-alat pantau udara itu sangat mendesak.

Pemerintah, katanya, perlu tanggap saat kualitas udara buruk dengan memberikan peringatan kepada warga.

”Kami mendesak (dalam gugatan bersama LBH) pemerintah melakukan strategi rencana aksi guna penurunan polusi udara,” kata Bondan, seraya bilang, salah satu dengan mengidentifikasi sumber-sumber polutan untuk mengambil kebijakan berlandas riset lapangan.

Idealnya, secara tahunan bisa tahu seberapa signifikan sumber-sumber polutan berpengaruh pada kepekatan polusi udara.

Pada 2011, Pemerintah Jakarta, bekerja sama dengan United States Environmental Protection Agency (USEPA) meluncurkan program Breathe Easy Jakarta. Tujuannya, peningkatan dan pemantauan kualitas udara, inventarisasi emisi (emission inventory), dan pengembangan strategi perbaikan pencemaran udara.

Meski demikian, upaya ini dinilai tak efektif karena tak ada inisiatif Pemerintah Jakarta dan inventarisasi tak independen. Kerja-kerja ini, juga tak dianggarkan dalam rencana kerja pemerintah daerah (RKPD).

Dia bilang, inventarisasi ini seharusnya jadi rutinitas pemerintah hingga bisa melihat sumber emisi dan penyebaran dan mengukur dampak kebijakan yang sudah keluar. Dia contohkan, pemberlakuan ganjil genap bagi kendaraan, Car Free Day dan lain-lain.

Menurut Bondan, perlu ada ketegasan dengan penegakan hukum bagi pelanggar, misal, dalam pengujian emisi kendaraan, industri dan lain-lain. ”Perlu dibuka transparan data, contoh, di Jakarta ada sekian industri, emisi baku mutu apakah melanggar atau tidak? Kalau ada yang melanggar apa hukumannya?”

Pergerakan polusi udara tak mengenal batas. Dengan begitu, pemerintah daerah sekitar, katanya, perlu duduk bersama menginventarisasi sumber-sumber polutan dan membuat rencana kebijakan bersama.

Yaya bilang, tak hanya pemerintah, peran masyarakat pun penting. Kualitas udara yang kita hirup, katanya, tergantung pada pilihan gaya hidup setiap hari. Dia berharap, masyarakat proaktif dengan ikut beraksi melalui gaya hidup agar kurangi polusi udara.

 

 

 

Upaya Pemerintah

Siti Nurbaya, Menteri LHK mengatakan, pada sisa pemerintahan periode ini KLHK khusus mengatasi pencemaran dan pemulihan. Dia menyadari, penanganan polusi udara sangat penting.

”Secara nasional kita pakai tema Biru Langitku, Hijau Bumiku,” katanya saat dihubungi Mongabay.

Artinya, “Biru Langitku”, menggambarkan upaya dalam mengendalikan polusi udara berkaitan dengan upaya menata bumi menjadi lebih hijau.

Dia contohkan, dengan mengurangi polusi udara dari kendaraan bermotor perlu membuat kota lebih hijau dengan memperbanyak taman kota dan membangun trotoar untuk pejalan kaki.

Siti menyebutkan, kualitas udara dari 2015-2018, terhitung masih baik. Ada enam provinsi mengalami peningkatan kualitas udara, yakni, Riau, Lampung, Jakarta, Jawa Timur, Banten, dan Kalimantan Selatan.

”Masih perlu menjadi perhatian besama untuk Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Tengah, perlu diwaspadai pencemaran udara akibat kendaraan bermotor,” katanya.

Untuk Pontianak, Jambi, Palangkaraya, Padang dan Palembang, pada waktu tertentu udara tidak sehat karena kebakaran hutan dan lahan.

Selain itu, pemerintah telah menerapkan pengunaan bahan bakar bersih setara Euro4 guna pengendalian polusi udara. Dia bilang, dari upaya ini berpotensi menurunkan emisi CO 55% atau 280.721,8 ton per tahun dan pengurangan emisi sulfur dioksida.

”Serta memberikan keuntungan ekonomi Rp1.970 triliun dari pengurangan biaya kesehatan, pengurangan biaya produksi kendaraan bermotor dengan standar antara kendaraan untuk pemakaian dalam negeri dan ekspor dan subsidi bahan bakar selama 25 tahun.”

Kebijakan bahan bakar biodiesel 20% dinilai memberikan kontribusi mengurangi emisi CO2 hingga 6-9 juta ton per tahun. Polusi udara karena kebakaran hutan dan lahan menyebabkan kerugian sangat besar pada 2015. Karhutla, katanya, berhasil diatasi dengan patrol terpadu, sosialisasi masyarakat, koordinasi lintas kementerian dan lembaga, serta kebijakan pendukung.

MR Karliansyah, Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK menyebutkan, berupaya mengendalikan pencemaran udara, antara lain lewat, pengaturan baku mutu emisi bagi setiap jenis usaha atau kegiatan industri dan jasa, pengaturan baku mutu emisi dan bahan bakar kendaraan bermotor stara EURO4 (sulfur maxinum 50 ppm. Juga pengawasan ketat pemenuhan baku mutu emisi oleh industri dan jasa serta kendaraan bermotor. Kemudian, mendorong pemerintah daerah meningkatkan transportasi massal seperti bus, dan kereta api, mendorong pemerintah daerah menyediakan trotoar pedesterian dan jalur sepeda.

Tak hanya itu, KLHK juga mendorong pemerintah daerah membangun atau mengembangkan hutan kota, taman kota, kebun raya dan ruang terbuka hijau dan perbanyak hari bebas kendaraan bermotor. Juga, pelatihan tata cara berkendaraan ramah lingkungan, sampai pengembangan kendaraan berbahan bakar ramah lingkungan macam listrik dan gas maupun uji emisi kendaraan bermotor secara periodik.

”Ke depan akan ada kewajiban uji emisi untuk semua jenis kendaraan bermotor, memastikan setiap sumber polutan memiliki izin emisi.”

 

 

Keterangan foto utama:  Pegiat lingkungan yang aksi dengan bersepeda dan pakai masker di Bundaran HI Jakarta. Foto: Indra Nugraha/ Mongabay Indonesia

Macetnya Jakarta, yang dijejali kendaraan bermotor.  Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version