Mongabay.co.id

Ini Pariwisata Kerakyatan Ala Pemprov NTT. Seperti Apa?

 

Data dari BPS Nusa Tenggara Timur (NTT) memperlihatkan kunjungan wisatawan ke NTT mengalami peningkatan dari 441.316 orang (374.456 wisatawan domestik dan 66.860 wisatawan mancanegara) pada 2015 menjadi 496.081 orang (430.582 wisatawan domestik dan 65.499 wisatawan mancanegara) pada 2016. Dan meningkat lagi mencapai  616.538 orang (523.083 wisatawan domestik dan 93.455 wisatawan mancanegara) pada 2017.

Pasangan Gubernur dan Wagub baru NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat dan Yosef Nae Soi memasukan pariwisata sebagai satu dari lima visi utama pembangunan selama masa kepemimpinannya 5 tahun ke depan.

Hampir setahun berkuasa, mereka membuat berbagai gebrakan untuk mendukung pariwisata NTT mulai dari pemberlakuan english day, rencana penutupan Pulau Komodo selama setahun, hingga meluncurkan minuman keras khas NTT yang dikenal dengan sebutan Sopia (Sopi Asli).

Kementerian Pariwisata juga mendukung pengembangan pariwisata di NTT dengan menitikberatkan kepada pemasaran destinasi pariwisata melalui iklan bergambar komodo di internet maupun bus-bus pariwisata di luar negeri

baca : Soal Moratorium Tambang, Gubernur NTT Ditagih Janji Utamakan Pariwisata dan Pertanian

 

Danau Semparong, danau air asin di tengah pulau Sukun kecamatan Alok kabupaten Sikka, NTT, yang belum digarap menjadi salah satu destinasi wisata. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Wagub NTT Josef Nae Soi kepada Mongabay-Indonesia, Selasa (28/5/2019) menyebutkan pengembangan pariwisata NTT harus berbasis pemberdayaan ekonomi masyarakat.

Josef menjelaskan konsep 5A pariwisata yaitu atraksi, akomodasi, aksesibilitas, Ammenity dan Awareness. Menyiapkan atraksi sebagai daya tarik wisata, pembenahan akomodasi meski sederhana tetapi nyaman, pembenahan infrastruktur untuk aksesibilitas.

Ammenity berupa pembenahan rumah makan, pusat cinderamata, sarana kesehatan dan lainnya. Dan membangun awaraness agar sebuah destinasi bisa dikenal.

“Bagaimana pariwisata bermanfaat kalau masyarakat tidak mendapatkan manfaat. Misalnya makanan dan minuman bisa di supply oleh masyarakat sekitar, rumah-rumah warga dijadikan home stay yang layak. Masyarakat harus mendapat manfaat,” ungkapnya.

baca juga : Setelah Terbongkarnya Perdagangan Komodo, Perlukah TN Komodo Dikelola Pemprov NTT?

 

Pemandangan indah di salah satu pulau di Taman Laut 17 pulau riung, Ngada, Flores. Foto : Indonesia Travel

 

Pariwisata Kerakyatan

Rima Melani Bilaut, Divisi Sumber Daya Alam WALHI NTT dalam rilisnya kepada Mongabay Indonesia, Senin (27/5/2019) mengatakan dimana ada gula pasti akan banyak semut yang datang berkumpul, yang menggambarkan kerja sinergis Pemprov NTT dan Kementerian Pariwisata dalam mempromosikan pariwisata NTT.

Selain kunjungan wisatawan, tentu para investor berinvestasi ke pariwisata NTT. Akan tetapi bila investasi berpotensi merebut ruang untuk mengembangkan perekonomian rakyat disekitar daerah pariwisata dan menimbulkan konflik, bahkan menimbulkan korban jiwa seperti kasus Poro Duka yang terjadi di Sumba Barat, maka harus ditolak.

WALHI NTT mencatat lebih dari 70% kawasan pesisir yang merupakan kawasan strategis pariwisata di NTT dikuasai investor. Kalau ini terus berlanjut maka mimpi pemprov NTT untuk pariwisata kerakyatan hanyalah utopia semata.

Sehingga WALHI NTT meminta Pemprov NTT harus mengembangkan pariwisata yang berbasis kerakyatan di setiap daerah yang berpotensi pariwisata. Artinya masyarakat lokal dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan program-program pariwisata.

Contohnya memastikan masyarakat dapat membangun fasilitas pariwisata yang berdampak pada perekonomian warga. Juga pemberdayaan kios-kios yang menjual produk masyarakat seperti souvenir, tenun atau masakan khas di daerah pariwisata.

perlu dibaca : Flores Itu Tak Hanya Pulau Komodo dan Danau Kelimutu

 

Pemandangan indah di salah satu pulau di Taman Laut 17 pulau riung, Ngada, Flores. Foto : Indonesia Travel

 

“Terlepas dari konsep pariwisata tersebut halal atau tidak, intinya masyarakat harus mampu menggaji dirinya sendiri bukan hanya didorong agar digaji oleh pihak investor saja. Dengan kata lain masyarakat harus dibiarkan berdaulat dan berproduksi di atas tanah miliknya sendiri,” tegas Rima.

Cara tersebut akan menciptakan kemandirian ekonomi masyarakat, sehingga tidak perlu mencari pekerjaan ke luar negeri dan pulang dalam keadaan tidak berdaya.

“Pariwisata sebagai kekuatan ekonomi baru tidak hanya meningkatkan pendapatan daerah melalui pajak dari investasi tetapi sebagai kekuatan ekonomi baru bagi rakyat sendiri. Sehingga NTT bukan menjadi provinsi yang kaya potensi wisata tetapi rakyatnya miskin,” ungkapnya.

Wagub Josef setuju masyarakat subyek dan obyek yang harus diberdayakan dalam sektor pariwisata. Pemprov NTT sedang mengumpulkan koperasi dan diarahkan untuk bekerjasama dengan BUMDes.

“Kami sedang mencari cara bagaimana model kerjasamanya agar bisa mengggarap sektor pariwisata di desa. Kami ingin meletakan dasarnya dan siapapun pemimpinnya tinggal melanjutkan saja,” sebutnya.

Josef mengatakan pihaknya mengajak masyarakat merubah kebiasaan yang mendukung pariwisata, dimulai dari menjaga kebersihan. Setiap hari Jumat, para ASN Pemprov NTT digerakkan untuk mengelola sampah. Meski perlu waktu, Josef meyakini masyarakat dapat dibiasakan menjaga kebersihan.

“Kita harus mempersiapkan sumberdayanya, mempersiapkan perilaku terlebih dahulu. Kita mulai mempersiapkan rasa memiliki terhadap sebuah destinasi. Tentunya masyarakat harus mendapatkan manfaat dari pariwisata agar bisa mencintai pariwisata itu sendiri,” ungkapnya.

menarik dibaca : Kisah Kampung yang Tenggelam di Angkernya Danau Koliheret

 

Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang merupakan salah satu daya tarik bagi wisatawan yang berkunjung ke danau Kelimutu kabupaten Ende, Flores,NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Kembangkan Ekowisata

Selain berbasis masyarakat, perlu dikembangkan konsep ekowisata di NTT yang memperhatikan aspek konservasi, pemberdayaan sosial budaya ekonomi masyarakat lokal dan aspek pembelajaran serta pendidikan.

Ferdinandus Watu, penggagas Detusoko Ecotourism kepada Mongabay Indonesia, Selasa (28/5/2019) mengatakan pariwisata berbasis masyarakat ideal sekaligus ekowisata untuk pengembangan pariwisata karena ikatan sosial masyarakat di Flores dan NTT masih kuat. Konsep itu juga menjadikan masyarakat sebagai subyek utama dalam pariwisata.

“Masyarakat sendiri yang merencanakan, mengidentifikasi potensi wisata di desa hingga mengelolanya sementara pemerintah berperan menyiapkan regulasi. LSM dan lembaga lain mendukung peningkatan kapasitas. Harus ada sistem yang mengaturnya di masyarakat sendiri,” tegasnya.

Menurut Ferdinandus, ada 3 hal yang harus dipersiapkan yakni atraksi, aksesibilitas dan amenitas. Perlu adanya organisasi yang berperan di desa baik BUMDes maupun Kelompok Sadar Wisata. Perlu dikembangkan desa-desa wisata seperti Waerebo di Manggarai, Bena di Ngada dan Waturaka di Ende.

Dia menyarankan pariwisata dikembangkan secara ramah lingkungan dan menonjolkan keunikan destinasi wisata, seperti kampung dan rumah adat.

“Masyarakat bisa berparitispasi dengan menyediakan home stay, jasa pelayanan  seperti pemandu dan terlibat dalam atraksi-atraksi seperti sanggar seni serta menyediakan makan minum dan lainnya,” terangnya.

menarik dibaca : Eloknya Puncak Kelimutu, Danau Kawah yang Terus Berubah Warna

 

Sanggar Mutulo’o di desa Waturaka kecamatan Kelimutu kabupaten Ende yang sering pentas seiring berkembangnya ekowisata di desa tersebut.Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Pengembangan ekowisata harus memaksimalkan pelibatan masyarakat lokal dan meminimalisir pencemaran lingkungan, sekaligus menjadikan wisatawan tidak sebatas tamu tetapi sebagai bagian dari komunitas masyarakat sehingga tidak menimbulkan konflik sosial.

Pariwisata berbasis masyarakat memang tidak mudah dan butuh waktu serta perencanaan yang matang. Ferdinandus mengungkapkan pengalamannya mendampingi desa Waturaka, kecamatan Kelimutu yang membutuhkan 4 tahun mengembangkan pariwisata kemasyarakatan.

“Kita menggali ide-ide sehingga masyarakat punya rasa memiliki. Pariwisata berbasis masyarakat juga penting untuk menjadi pilihan alternatif agar menjauhkan diri dari investor,” tuturnya.

Ferdinandus melihat masyarakat dan Pemprov NTT minim pengetahuan tentang pengembangan pariwisata. Bahkan tidak didukung oleh anggaran dan regulasi pariwisata.

“Desa wisata sangat potensial untuk generasi milenial sebab lebih banyak ruang bagi mereka karena melek teknologi informasi. Kaum milenial bisa kembali ke desa dan mengembangkan eko wisata di desa dan menangani promosi,” sarannya.

Detusoko Ecotourism, terdapat jejaring Eco Tourism Network dengan pendampingan Indecon yang mengembangkan pariwisata kemasyarakatan di Flores.

 

Exit mobile version