Mongabay.co.id

Habiskan Makanan Lebaran, Biar Tak Jadi Masalah Lingkungan

 

Hari Raya Idul Fitri identik dengan makan-makan. Setelah sebulan berpuasa, umat Islam Indonesia merayakan hari kemenangan dengan aneka makanan. Opor ayam, ketupat, satai, rendang, dan aneka camilan pun menghiasi meja makan.

Namun, jika dilakukan berlebihan, pesta kemenangan justru bisa menciptakan masalah lingkungan. Sejumlah riset menunjukkan bahwa sampah makanan (food waste) telah menjadi isu lingkungan.

Badan Pertanian dan Pangan Dunia PBB (FAO) menyebut sampah makanan sebagai makanan yang hilang pada rantai akhir pasokan makanan. Artinya, sampah itu terjadi pada sisi konsumsi. Adapun makanan yang hilang pada rantai produksi, dari pengolahan pascapanen, penyimpanan, sampai pengolahan disebut kehilangan makanan (food loss). Misalnya menyusut saat pengolahan atau rusak saat distribusi dari produsen ke konsumen.

Sebagai mata rantai terakhir dalam rantai pasokan makanan, rumah tangga berperan penting sebagai penghasil sampah makanan. Aktor lain di bagian ujung rantai pasokan makanan ini adalah restoran atau konsumen perorangan.

baca : Ramadhan dan Sampah di Kota Gorontalo yang Meningkat Pesat

 

Makanan berlebihan bisa memicu masalah lingkungan. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Dalam laporan Food Wastage Footprint & Climate Change (2011), FAO memperkirakan setiap tahun jumlah makanan hilang dan sampah makanan mencapai sepertiga dari total produksi pangan global. Sampah makanan terjadi karena berbagai alasan lokal di tiap negara. Misalnya tingkat pendapatan, konsumsi, dan lain-lain.

Ada perbedaan jelas di antara negara maju dan negara berkembang terkait sampah makanan ini. Di negara-negara berpendapatan tinggi, sampah makanan lebih banyak terjadi di tahap pengolahan, distribusi, dan konsumsi. Sedangkan di negara-negara dengan pendapatan rendah, kehilangan makanan lebih banyak terjadi di tahap produksi dan pascapanen.

FAO menyatakan sampah makanan turut mengakibatkan gas rumah kaca. Tiap tahun, jejak karbon akibat sampah makanan itu mencapai 4,4 giga ton (GT). Dalam analogi FAO, jumlah itu berada di urutan ketiga dari negara-negara penghasil karbondioksida terbesar di dunia setelah China dan Amerika Serikat.

Jumlah itu setara dengan 8 persen gas karbondioksida penyebab efek rumah kaca yang dihasilkan manusia. Atau, sekitar 87 persen dari emisi akibat transportasi darat seluruh dunia.

Tak hanya secara lingkungan, sampah makanan juga mengakibatkan kerugian ekonomi. Menurut FAO, pada 2012, nilai sampah makanan itu mencapai 936 juta dolar Amerika. Nilai itu setara dengan pendapatan domestik bruto Indonesia. Menggunakan perhitungan sama dari FAO, nilai ekonomi dari emisi gas rumah kaca mencapai 411 juta dolar Amerika.

baca juga : Bukber Minim Sampah dan Puasa Plastik Isi Ramadhan di Bali

 

Daun pisang kini makin dilirik sebagai pembungkus makanan dan kemasan produk karena kesadaran diet plastik sekali pakai mulai meningkat. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Dua Kali Lipat

Secara global, jejak karbon akibat sampah makanan per kapita berbeda-beda. Di negara-negara dengan pendapatan tinggi, gas karbondioksida yang mereka hasilnya mencapai lebih dari dua kali lipat dibandingkan negara-negara berpendapatan rendah.

Di Amerika Utara dan Oseanina, tiap orang bisa menghasilkan 860 kg karbondioksida tiap tahun. Ini merupakan jumlah tertinggi dibandingkan kawasan lain, misalnya Amerika Latin yang sampah makanannya menghasilkan jejak karbon 540 kg karbondioksida per kapita. Indonesia dan negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara menghasilkan sekitar 350 kg karbondioksida per kapita.

Karena pentingnya isu sampah makanan ini terhadap perubahan iklim, PBB pun memasukkannya dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG). Tujuan untuk “memastikan pola konsumsi dan produksi berkelanjutan” menyebut poin khusus terkait sampah makanan yaitu “mengurangi sampah makanan di tingkat retail dan konsumen serta mengurangi kehilangan makanan di tingkat rantai produksi dan pasokan, termasuk kehilangan selama pascapanen.”

Dengan menggunakan sejumlah skenario, Badan PBB untuk SDG berharap bisa mengurangi jejak karbon akibat sampah makan sebesar 38 persen tiap tahun. Jumlahnya sekitar 1,4 Gt. Ini kira-kira setara dengan gas efek rumah kaca yang dihasilkan Jepang tiap tahun.

menarik dibaca : Sisa Makanan Ternyata Memicu Perubahan Iklim. Kok Bisa?

 

Limbah makanan yang sedang dipilah di Fasilitas Pemulihan Bahan Puente Hills, Los Angeles, Amerika Serikat. Los Angeles County menghasilkan sekitar 4.000 ton limbah makanan per hari. Foto : Sarah Reingewirtz/Star-News Pasadena/SCNG

 

Peran Rumah Tangga

FAO tidak secara spesifik siapa saja penyumbang sampah makanan tersebut. Namun, menurut Sri Wahyono, peneliti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BBPT), rumah tangga berperan besar dalam menyumbangnya.

Dalam laporan berjudul Cara Cerdas Mengurangi dan Mengolah Sampah Makanan di Rumah (Desember, 2017), Wahyono menyatakan inefisiensi pola konsumsi dan produksi makanan telah menyebabkan sampah makanan yang mengakibatkan pemborosan sumber daya dan pencemaran lingkungan.

Wahyono menyatakan seperempat makanan rumah tangga akan terbuang menjadi sampah. Sektor rumah tangga menyumbang sekitar 42 persen dari total sampah makanan. Jumlah per kapita 79 kg per tahun. Secara nasional, Wahyono memperkirakan jumlah sampah makanan di Indonesia sekitar 25,5 juta ton per tahun berdasarkan jumlah penduduk 250 juta.

Di Jakarta, makanan menjadi penyumbang sampah terbesar. Berdasarkan data Dinas Kebersihan Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta yang dlansir KataData, sampah makanan bahkan ditemukan di lingkungan kelas menengah Jakarta dengan jumlah mencapai 70 persen.

Tak heran jika Indonesia menjadi negara penghasil sampah makanan terbesar kedua setelah Arab Saudi.

Hal tersebut terjadi karena faktor perilaku, kesukaan pada makanan tertentu, perencanaan kurang baik saat berbelanja, dan teknik penyimpanan. Perilaku itu, misalnya, masih rendahanya kesadaran tentang sampah makanan, kurangnya pengetahuan tentang cara memanfaatkan sisa makanan, dan lemahnya kesadaran untuk makan seperlunya.

Dalam konteks ini, pembatasan mengonsumsi makanan saat Lebaran ataupun hari-hari setelahnya menjadi relevan.

menarik dibaca : Mengurangi Volume Sampah Sejak Dari Rumah Tangga

 

Penjual sedang membungkus seblak menggunakan styrofoam di Jalan Tamansari, Kota Bandung. Sejumlah pedagang mengaku sudah tahu soal larangan menggunakan bahan tersebut untuk makanan dan minuman. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Upaya Mengurangi

Sejumlah komunitas dan organisasi non pemerintah pun saat ini mengembangkan program untuk mengatasi masalah sampah makanan ini. Rikolto, LSM berpusat di Belgia dan bekerja juga di Indonesia, menggagas program Food Smart Cities (FSC). Program ini bertujuan mengurangi sampah makanan terutama di perkotaan.

Purnama Adil Marata, Kurator Program FSC Rikolto Indonesia mengatakan, salah satu komponen dalam program FSC adalah melalui mekanisme berbagi pangan yang masih layak makan kepada orang miskin dan pengolahan sampah makanan untuk bahan baku kompos dan makanan ikan.

“Intinya, sampah organik yang selama ini mendominasi di tempat pembuangan akhir bisa dikurangi sejak dari proses konsumsi,” kata Adil.

Di tingkat keluarga, Adil melanjutkan, ada edukasi untuk belanja dan mengonsumsi pangan secara bertanggung jawab.

Saat ini, program FCS dilaksanakan di dua lokasi yaitu Solo, Jawa Tengah dan Bekasi, Jawa Barat. Di Solo, Rikolto dan mitra lokalnya sedang mencoba kerja sama dengan retail untuk menyumbang sampah sayur, buah, ikan, daging, dan lain-lain. Sebagian sampah juga diolah oleh ibu-ibu menjadi kompos. Nantinya, kompos itu untuk pertanian di perkotaan (urban farming).

“Jika berjalan baik, kami berharap sayuran hasil urban farming dipasok ke retail,” lanjutnya.

baca juga : Leluhur Kita Telah Ajarkan Makanan Sehat dan Ramah Lingkungan. Kenapa Kita Melupakannya?

 

Penggunaan plastik sebagai bungkus makanan seperti jajanan di pasar-pasar tradisional di Denpasar, Bali. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Upaya lain untuk mengurangi sampah makanan itu, menurut Adil, dengan mengolah sampah daging dan ikan agar bisa menjadi pelet untuk pakan ikan. Kebetulan, pada saat yang sama, Pemerintah Kota Surakarta sedang melaksanakan program peningkatan ekonomi bagi perempuan dan ternak ikan.

Karena itu, Rikolto pun melibatkan Pemkot Surakarta dalam program itu.

Untuk skala lain, program itu juga menyasar ke hotel, restoran, dan katering untuk menyumbang sisa makanannya ke masyarakat berpendapatan rendah. Mereka melibatkan pula anak-anak muda yang sudah berbagi makanan ke warga miskin, tetapi dengan membeli sendiri.

“Kami berharap tahun depan ada kerja sama antara hotel, restoran, dan katering dengan anak muda ini,” lanjutnya.

 

Exit mobile version