Mongabay.co.id

Mudik? Kenali Risiko Bencana Wilayah Itu

Warga Konawe Selatan, mengungsi karena banjir parah melanda kampung mereka. Foto: BNPB

 

 

 

 

 

Mudik Lebaran? Mesti peka kerawanan wilayah sekitar. Badan Nasional Penanggulangan Bencana mengimbau masyarakat mengenali risiko bencana saat berwisata dalam masa mudik mudik Lebaran. Dengan pengetahuan cukup, masyarakat dapat memitigasi dampak.

Mudik Lebaran, bencana hidrometeorologi seperti longsor maupun banjir masih menghantui, terutama di Sumatera dan Jawa Barat.  BNPB dan Badan Meteoroloogi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengimbau, masyarakat tetap waspada saat pemudik melintasi atau menuju daerah rawan bencana.

”Dua minggu awal Juni, 21% wilayah Indonesia kemarau, berarti masih 79% berpotensi hujan. Hujan deras berpotensi longsor dan banjir,” kata B. Wisnu Widjaja, Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BNPB, di Jakarta, baru-baru ini.

Tak hanya Jawa Barat dan Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua juga memiliki potensi hujan deras dan memicu tanah longsor.

Harry Tirto Djatmiko, Kepala Bidang Diseminasi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG mengatakan, musim pemudik tahun ini diperkirakan diguyur hujan di beberapa wilayah dan rawan longsor. Dia sebutkan, Sumatera (khusus lintas barat dan selatan), Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Utara.

Sedangkan, kemarau lebih banyak di wilayah selatan, seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara. Dia khawatir, terjadi kekeringan dan kesulitan air bersih.

 

Banjir di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, jelang Lebaran Idul Fitri. Foto: BNPB

Pada jalur pelayaran, BMKG menyebutkan, wilayah timur Indonesia, seperti Maluku, terjadi ketinggian gelombang mencapai di atas 2,5 meter pada awal Juni. Untuk pelayaran dari Jawa ke Sumatera, Jawa-Bali, Bali-Nusa Tenggara, terpantau aman.

Dia berharap, pemudik juga proaktif mengenali wilayah tujuan wisata dengan melihat peta jalur mudik atau memantau melalui aplikasi inaRisk. “Kita dapat mengecek posisi kita, risiko bencana dan memitigasi saat bencana.”

Wisnu contohkan, Yogyakarta, banyak jadi tujuan wisata saat liburan. ”Wisata Kaliurang, misal, itu masih aman meski dekat Gunung Merapi karena area jauh dari gunung. Berwisata jangan takut bencana asal anda tahu risiko, rumah sakit terdekat di mana, dokter siapa. Hanya kita belum terbiasa jadi perlu edukasi,” katanya.

Bencana lain, seperti gempa bumi dan tsunami. Pemudik yang berlibur pada wilayah yang punya dua risiko itu harus tetap awas. Kalau budaya sadar bencana sudah mengakar, katanya, masyarakat tidak perlu takut potensi bencana sekitar.

Aksi sedini mungkin (early action) perlu dipupuk, bukan lagi peringatan dini (early warning), seperti pengecekan ramalan cuaca melalui aplikasi atau berita terkini dari BMKG.

Daryono, Kepala Bidang Informasi Gempabumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG mengatakan, selama April, ada 799 gempa bumi dengan bermacam variasi magnitudo.

”Gempa dengan kekuatan kurang lima Skala Richter sebanyak 784, gempa signifikan, di atas 5 SR terjadi 15 kali gempa,” katanya.

Gempa bumi itu, di atas normal karena rata-rata terjadi 500 kali per bulan. Meski demikian, gempa signifikan sekitar 25-30 kali per bulan.

Wisnu pun mengingatkan, untuk antisipasi potensi bencana gunung api. Hingga kini, katanya, tak ada gunung berstatus awas namun ada empat berstatus siaga, yakni Gunung Sinabung (Sumatera Utara), Karangketang (Sulawesi Utara), Soputan (Sulawesi Utara) dan Gunung Agung.

Masyarakat yang hendak berwisata, katanya, harus mengikuti petunjuk badan geologi, misal, jarak aman Gunung Agung hingga empat kilometer, kalau hendak berwisata mengikuti arahan petugas.

Lili Kurniawan, Direktur Pemberdayaan Masyarakat BNPB mengatakan,  sejak Januari 2019, 98% bencana hidrometeorologi, seperti hujan, tanah longsor dan angin kencang. Sedangkan, 2% bencana geologi karena pergerakan lempengan bumi.

Sejak 1 Januari-31 Mei, terdapat 1.901 bencana di Indonesia, 349 orang meninggal, 24 hilang, 1.485 luka-luka, 1.239.439 mengungsi, 26.263 rumah rusak dan 856 fasilitas umum rusak.

”Bencana paling banyak menyebabkan korban jiwa selama 2019 adalah banjir dan tanah longsor di Sentani pada 16 Maret 2019, 112 orang meninggal, tujuh hilang, 965 luka,” katanya.

Banjir dan longsor juga terjadi di Sulawesi Selatan (10 kabupaten dan kota) pada 22 Januari 2019, 82 orang meninggal, tiga hilang dan 47 luka. Di Bengkulu (sembilan kabupaten/kota) pada 27 April 2019, 24 orang meninggal, empat hilang dan empat luka.

Pada 2018, periode sama, orang paling berdampak adalah meninggal dan hilang naik sampai 97,4%, dari 189 jadi 373 orang, luka-luka naik 185% dari 521 jadi 1.485 orang. Rumah rusak naik 1,9%, mengungsi turun hingga 20,8%. Jumlah kejadian naik 15,9% dari 1.640 ke 1.901 bencana.

”Kalau kita lihat dampak, rumah, fasilitas umum dan fasilitas sosial cukup besar. Perlu ada skenario sektor ini, bagaimana membangun fasum dan rumah agar tangguh bencana,” kata Lili.

 

Keterangan foto utama:  Warga Konawe Selatan, mengungsi karena banjir parah melanda kampung mereka. Foto: BNPB

 

Exit mobile version