Mongabay.co.id

Urgensi Peta Wilayah Indikatif Hutan Adat

Salah satu titik hutan di Taman Nasional Lore Lindu, Sigi, Sulawesi Tengah. Ia juga bagian dari hutan adat Marena. Masyarakat adat bisa mengambil hasil hutan bukan kayu, dengan tetap menjaga kelestarian. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

 

Kata “indikatif” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merupakan kata sifat (adjective) berarti “bersifat atau mengandung indikasi.” Kata benda (noun) “indikasi,” artinya memiliki tanda-tanda atau petunjuk. Di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, istilah indikatif ini sering digunakan dalam menggambarkan suatu wilayah atau lokasi sebagai informasi awal dari proses kebijakan terkait alokasi atau penyediaan lokasi hutan untuk tujuan tertentu yang bersifat sementara dalam menuju situasi pasti (definitif). Misal, dalam moratorium perizinan hutan primer dan lahan gambut, kita mengenai peta indikatif penundaan pemberian izin baru (PIPPIB). Ia sebuah peta yang menunjukkan penghentian sementara pemberian izin-izin baru (termasuk perkebunan sawit) pada areal tertentu yang memicu deforestasi kawasan hutan dan kehancuran lahan (gambut).

Dalam program Perhutanan Sosial, dikenal istilah peta indikatif areal perhutanan sosial (PIAPS), sebuah peta yang menggambarkan lokasi-lokasi untuk skema program perhutanan sosial. Dalam hal ini, PIAPS menunjukkan lokasi programatik pemerintah (KLHK) untuk mengalokasikan lebih 12,7 juta hektar hutan yang akan dikelola masyarakat.

Bagaimana dengan peta wilayah indikatif hutan adat? Tentu secara bebas kita bisa memaknai sebagai peta yang memuat lokasi-lokasi yang akan diakui sebagai hutan adat.

Baca juga: Kementerian Lingkungan Rilis Peta Indikatif Hutan Adat dan Ubah Aturan

Mari kita lihat arti lebih jauh dari sisi kebijakan kehutanan yang dipicu dari sebuah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012, yang dikenal MK35 tentang pengakuan hutan adat. Putusan MK35 menetapkan, hutan adat menjadi bagian dari hutan hak dan tidak lagi hutan negara.

Dalam menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi itu, KLHK menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) LHK No.32 Tahun 2015 tentang Hutan Hak. Permen LHK ini mengatur tentang penetapan hutan hak yang meliputi aspek prosedur pengajuan dan penetapan, hak dan kewajiban pemangku hutan hak serta kompensasi dan insentif akibat dari perubahan status hutan negara menjadi hutan hak.

Kebijakan ini lahir dari tuntutan masyarakat adat dan dorongan organisasi masyarakat sipil kepada KLHK untuk menyusun aturan operasional teknis pelaksanaan Putusan MK35. Berbekal aturan inilah, komunitas-komunitas adat dan kelompok masyarakat sipil, pemerintah daerah dan KLHK bekerja menyiapkan proses pengakuan hutan adat.

Baca juga: Kado Manis Akhir Tahun: Kali Pertama Pemerintah Tetapkan Hutan Adat

Momentum “pecah telur” pengakuan pertama atas hutan adat dirayakan di Istana Negara pada 2016. Ada delapan hutan adat seluas 7.950 hektar ditetapkan dan satu lokasi pencadangan hutan adat seluas 5.172 hektar. Upacara penyerahan SK Hutan Adat ini disampaikan oleh Presiden Jokowi kepada komunitas pemangku hutan adat di Istana Negara.

Kalau dicermati lebih dalam, kesembilan lokasi hutan adat yang ditetapkan dan dicadangkan ini merupakan representasi dari situasi hutan adat dari kawasan hutan dengan tiga fungsi kawasan (produksi, lindung dan konservasi) yang telah memiliki peraturan daerah pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, luar kawasan hutan (areal penggunaan lain) yang memiliki pengakuan melalui surat keputusan bupati. Juga, hutan adat pencadangan karena berada pada areal izin kehutanan dan menimbulkan konflik antara masyarakat adat dengan perusahaan pemegang izin. Yang terakhir ini, menggunakan skema pencadangan hutan adat, karena syarat penetapan belum terpenuhi, antara lain, belum ada perda pengakuan masyarakat hukum adat.

 

 

Masyarakat adat Pandumaan Sipituhuta di area hutan adat mereka yang dikuasi PT. TPL. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Proses pengakuan lambat dan penetapan luasan hutan adat sedikit jadi target advokasi organisasi masyarakat sipil di KLHK. Catatan dari Direktorat Penyelesaian Konflik Tenurial dan Hutan Adat (PKTHA), pengakuan hutan adat sampai April 2019 mencapai 49 luas 22.193 hektar.

Aspek normatif jadi faktor utama kelambatan pengakuan hutan adat seperti diatur pada Pasal 67 UU Kehutanan dan ditegaskan melalui Putusan MK35 yang mensyaratkan perda pengakuan masyarakat hukum adat sebagai salah satu syarat utama dalam proses pengajuan dan penetapan hutan adat.

Baca juga: Mahkamah Konstitusi Putuskan Hutan Adat Bukan Hutan Negara

Jadi, pemerintah daerah faktor penentu dalam siklus pengakuan hutan adat melalui pembentukan kebijakan pengakuan masyarakat dan wilayah adat. Perda pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat, atau surat keputusan kepala daerah yang mengakui dan menetapkan masyarakat hukum adat minim jadi persoalan yang cukup mengemuka dalam impelementasi putusan MK35.

Untuk itu, dalam mendorong percepatan penetapan hutan adat, KLHK melibatkan pemerintah daerah yang memiliki kewenangan membentuk kebijakan untuk pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat. Begitu juga dengan organisasi masyarakat sipil, mengadvokasi dan beri dukungan pembentukan kebijakan daerah itu. Atas dasar itu, KLHK mengadakan rapat koordinasi nasional (rakornas) hutan adat pada Februari 2018. KLHK mengundang kepala daerah baik provinisi, kabupaten/kota yang teridentifikasi memiliki potensi hutan adat berdasar peta-peta wilayah adat di Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA).

Rakornas hutan adat ini untuk memperkuat sinergi pemerintah pusat (KLHK) dan pemerintah daerah dengan satu pesan penting, pemerintah daerah perlu segera menerbitkan kebijakan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. Rakornas juga menghasilkan lokasi-lokasi prioritas yang dapat menjadi potensi penetapan hutan adat di tiap provinsi dan kabupaten/kota.

Pasca rakornas hutan adat, juga menguat dorongan kepada KLHK untuk pencadangan hutan adat sebagai langkah penting sekaligus meningkatkan capaian pengakuan hutan adat. Pencadangan hutan adat juga langkah perlindungan pemerintah terhadap masyarakat adat yang mengalami situasi tenurial sulit, misal, konflik dengan pengelola dan pemegang izin kawasan hutan. Maupun kebijakan atau investasi melalui konversi dan pemanfaatan lahan di wilayah-wilayah adat yang berpotensi sebagai hutan adat, seperti kasus perusakan hutan adat Laman Kinipan di Lamandau, Kalimantan Tengah. Pencadangan hutan adat ini juga dapat dimaknai sebagai langkah proaktif KLHK dalam “mengajak” pemerintah daerah dalam proses pengakuan hutan adat.

Untuk melandasi langkah penerbitan peta pencadangan atau peta indikatif hutan adat KLHK merevisi atas Peraturan Menteri LHK No.32/MenLHK-Setjen/2015 tentang Hutan Hak menjadi Peraturan Menteri LHK No.21/MenLHK-Setjen/Kum.1/4/2019 tentang Hutan Adat dan Hutan Hak.

Atas perubahan ini, penulis membatasi pembahasan pada bagian peta hutan adat dan wilayah indikatif hutan adat (Bab IV, Pasal 17) pada peraturan baru itu sebagai landasan alokasi (pencadangan) hutan adat melalui penerbitan peta hutan adat dan wilayah indikatif hutan adat. Ayat (2) ini mengatur dua hal, yaitu, tentang jenis peta hutan adat dan syarat pembentukan.

Pengaturan pertama, ada dua tema (layer) peta dalam peta hutan adat dan wilayah indikatif hutan adat ini, yaitu layer hutan adat yang sudah ditetapkan dan layer indikatif lokasi hutan adat yang jadi target penetapan. Pada SK Menteri LHK Nomor 312/MenLHK/Setjen/PSKL.1/4/2019 tentang Peta Hutan Adat dan Wilayah Indikatif Hutan Adat, terdapat luasan sekitar 472.981 hektar. Luasan ini meliputi hutan negara sekitar 384.896 hektar, hutan adat 19.150 hektar dan areal penggunaan lain sekitar 68.935 hektar. Artinya, indikatif lokasi hutan adat berasal dari hutan negara seluas 384.896 hektar dan ada penambahan kawasan hutan oleh masyarakat adat dalam bentuk hutan adat seluas 68.935 hektar.

Dengan demikian, KLHK akan mengubah status hutan negara menjadi hutan adat seluas 315.561 hektar pada fase pertama penerbitan peta wilayah indikatif hutan adat.

Kedua, peta wilayah indikatif hutan adat akan ditetapkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, setelah mendapat persetujuan dari bupati/walikota. Untuk pembaruan peta yang diatur dalam ayat (2) secara bertahap seperti diatur dalam ayat (3) Pasal 17. Namun, tak ada pengaturan mengenai bentuk persetujuan oleh bupati/walikota dan prosedur pembaruan peta indikatif hutan adat.

Apakah usulan pembaruan peta ini datang dari KLHK atau dari pemerintah daerah? Atau usulan pembaruan juga bisa datang dari masyarakat adat dan masyarakat sipil yang dapat disampaikan langsung ke KLHK atau melalui pemerintah daerah? Apa syarat usulan pembaruan peta wilayah indikatif hutan adat itu? Mungkin hal-hal ini perlu diperjelas hingga para pihak dapat menyiapkan proses-proses pembaruan peta indikatif hutan adat itu.

 

Begini hutan adat Kinipan, setelah pembukaan untuk kebun sawit perusahaan. Foto: dokumen Laman Kinipan

 

 

Urgensi peta indikatif

Apa urgensi peta wilayah indikatif hutan adat dalam Peraturan Menteri LHK No.21/MenLHK-Setjen/Kum.1/4/2019 tentang Hutan Adat dan Hutan Hak?

Pertama, KLHK maju satu langkah dalam hal proses fasilitasi percepatan pengakuan hutan adat dengan menyediakan peta kerja (peta indikatif). Peta indikatif hutan adat ini merupakan pelengkap SK Menteri LHK Nomor 22/MenLHK/Setjen/PLA.0/2017 soal Peta Indikatif dan Areal Perhutanan Sosial (PIAPS). Ketika terbit, PIAPS hanya menjadi peta kerja untuk empat skema perhutanan sosial (hutan adat, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat dan kemitraan), sedangkan inisiatif (usulan) hutan adat seluas 3.603.111 hektar tidak disertakan peta kerja (indikatif). Jadi, peta indikatif hutan adat ini bukan sebuah terobosan kebijakan baru, namun bisa memperjelas areal kerja prioritas untuk penetapan hutan adat yang dapat menjadi jembatan meneruskan proses pengakuan hutan adat pada pemerintahan berikutnya.

Kedua, peta indikatif hutan adat ini dapat membantu para pihak melihat kesigapan KLHK, pemerintah daerah, masyarakat adat dan organisasi masyarakat sipil dalam proses pengakuan hutan adat. Peta ini menjadi alat navigasi jika dilengkapi dengan informasi status usulannya. Misal, usulan Hutan Adat To Lindu di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Saat ini, masuk di dalam peta indikatif hutan adat fase pertama. Apa status usulan hutan adat itu? Mengapa belum ada keputusan penetapan atau penolakan usulan? Jadi perlu ada transparansi proses verifikasi hutan adat dan hasil.

Ketiga, proses penetapan hutan adat dengan rute tambahan melalui peta wilayah indikatif hutan adat, sesungguhnya KLHK kembali “mengajak” pemerintah daerah lebih sigap mengakui keberadaan masyarakat hukum adat dan wilayah adat. Kesigapan pemerintah daerah yang sudah terlihat dari makin banyak perda dan SK Bupati pengakuan masyarakat adat. Ia perlu juga diimbangi kesigapan KLHK dalam proses verifikasi dan penetapan hutan adat.

Sinergi KLHK dan pemerintah daerah akan sangat membantu penambahan lokasi indikatif hutan adat dan perubahan peta indikatif jadi peta hutan adat definitif.

***

*Kasmita Widodo. Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat. Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis.

 

***

Keterangan foto utama:    Salah satu titik hutan di Taman Nasional Lore Lindu, Sigi, Sulawesi Tengah. Ia juga bagian dari hutan adat Marena. Masyarakat adat bisa mengambil hasil hutan bukan kayu, dengan tetap menjaga kelestarian. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version