Mongabay.co.id

Terobosan Setengah Hati Peta Wilayah Adat

Aksi menyuarakan penyelamatan hutan adat Laman Kinipan di Lamandau, Kalteng. Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo

 

 

 

 

Setelah berproses sekitar 1,5 tahun, pemerintah akhirnya berani juga mengeluarkan peta indikatif wilayah adat seluas 472.981 hektar. Jumlah ini, jauh lebih kecil dibanding potensi pengakuan hutan adat yang ada. Belum lagi, sekitar seperlima hutan adat yang akan ditetapkan itu sebenarnya berada di luar kawasan hutan. Meski begitu pemerintah tetap mengaku ini terobosan penting. Benarkah?

Menurut Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), suatu jaringan kerja masyarakat sipil pembela hak-hak masyarakat adat, sampai April 2019, ada 814 peta wilayah adat seluas 10,24 juta hektar. Peta wilayah adat yang tercatat di BRWA itu berasal dari 26 provinsi dan 107 kabupaten dan kota.

Seluas 2,36 juta hektar (21%), berada di kabupaten/kota yang memiliki kebijakan daerah bersifat mengatur pengakuan masyarakat adat. Sebanyak 8% (1,39 juta hektar) sudah memiliki penetapan keberadaan masyarakat adat baik melalui perda atau surat keputusan (SK) kepala daerah.

Sisanya, 6,48 juta hektar belum memiliki perda ataupun SK kepala daerah.

Baca juga: Pemerintah Penting Bikin Peta Indikatif Hutan Adat

Hutan adat seluas 472.981 hektar pencadangan pemerintah itu belum bisa segera ditetapkan sebagai hutan adat. Hanya ada sekitar 33.000 hektar siap masuk tahap verifikasi teknis. Sisanya, masih memerlukan berbagai syarat administratif yang tak mudah terpenuhi, misal, ada masih tahap drafting surat keputusan, peta lampiran produk hukum daerah belum ditandatangani bupati. Juga, belum ada SK bupati, masih perlu klarifikasi batas wilayah dan lain-lain. Bahkan, ada pula masuk kategori sebagai ‘belum dapat diproses’ tanpa tahu alasan, tetapi tetap masuk dalam daftar pencadangan.

Baca juga: Begini Nasib Hutan Adat Laman Kinipan Kala Investasi Sawit Datang

Untuk memenuhi berbagai syarat yang kurang itu masih memerlukan komitmen pemerintah daerah, waktu, terlebih lagi biaya tak sedikit guna melengkapi berbagai syarat administratif. Apalagi, bagi calon hutan adat yang belum masuk peta pencadangan.

Menurut pengalaman, serangkaian kegiatan dalam menghasilkan produk hukum daerah itu memerlukan waktu antara enam bulan sampai dua tahun. Konon, biaya yang diperlukan untuk melahirkan suatu peraturan daerah penetapan hutan adat berkisar antara Rp200 juta-Rp2 miliar.

 

Kampung baru hasil reclaiming Desa Marena. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

 

Aturan

Untuk memperoleh pengakuan hak-hak masyarakat adat tak mudah. Terlebih lagi, kalau berkaitan dengan tanah dan hutan. Bahkan, jauh lebih sulit dari proses permohonan hak guna usaha swasta.

Meski sejak awal konstitusi sudah menjamin pengakuan atas hak-hak masyarakat adat, dan didukung tak kurang dari 30 Undang-undang sektoral berikut aturan pelaksanaan, realitas di lapangan masih jauh panggang dari api.

Baca juga: Kesepakatan Lahan di Balik Jatuhnya Akil Mochtar

Proses pengakuan bersifat bersyarat dan bertahap. Artinya, hak masyarakat adat baru diakui kalau memenuhi sejumlah syarat dan keberadaan ditetapkan dalam peraturan daerah dan atau surat keputusan kepala daerah.

Meski aturan ini pernah di-judicial review oleh masyarakat adat, alih-alih membatalkan, putusan MK35/2012 justru mengukuhkan. Ironisnya, meski sudah ada perda dan atau surat keputusan kepala daerah, kelembagaan pusat yang berwenang masih merasa perlu memverifikasi ulang. Jelas ini suatu pemborosan. Dampaknya, laju pengakuan hak masyarakat adat terhambat.

Kita tentu tak bisa menyalahkan keputusan pemerintah soal penetapan peta indikatif wilayah adat itu. Apa yang dilakukan pemerintah suatu yang optimal. Kita sangat maklum, jika pemerintah tak bisa bekerja di luar apa yang telah diatur Undang-undang.

Betapapun putusan MK35/2012 tegas menyatakan, pengaturan lebih lanjut amanat konstitusi sebagaimana terkandung pada Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28i ayat (3) melalui Undang-undang. Masalahnya, UU tentang masyarakat adat ini tak kunjung terwujud.

Pada masa Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono, kedua, UU itu baru sampai nyaris terwujud. Pada era Pemerintahan Joko Widodo– Jusuf Kalla, DPR pun sudah menyelesaikan draf RUU masyarakat adat tengah tahun lalu. Namun, kesibukan pemilihan presiden dan pemilihan legislatif masa bakti 2019–2024 menyebabkan daftar isian masalah (DIM) dari pemerintah tak tahu rimbanya.

Mimpi memiliki sebuah tentang pengakuan hak-hak masyarakat adat tentu boleh terus terpelihara. Namun, pengalaman kegagalan mengundangkan dalam dua periode pemerintahan terakhir layak jadi alasan menempuh cara lain.

 

Gaspar Lancia, Ketua Lembaga Adat Marena , di hutan adat Marena yang masuk kawasan Taman Nasional Lore Lindu. Hingga kini, hutan adat Marena yang masuk dalam taman nasional belum mendapatkan pengakuan penuh pemerintah sebagai hutan hak. Foto: Minnie Rivai/ Mongabay Indonesia

 

 

Perlu Perpu

Pengakuan hak-hak masyarakat adat itu seharusnya dapat dilakukan semudah mungkin. Bak warga negara membuat kartu tanda penduduk atau pembuatan sertifikat tanah. Tak perlu melalui proses politik dan birokrasi berbelit hingga melibatkan parlemen atau menteri segala, sebagaimana terjadi dalam kasus RUU Pertanahan.

Langkah pertama harus ditempuh, meniadakan proses penetapan subyek hak melalui sebuah peraturan daerah ataupun surat keputusan kepala daerah itu. Benar-tidaknya suatu masyarakat berikut klaim tanah (hutan) adat bisa langsung pada tahan verifikasi teknis.

Untuk keperluan ini, pemerintah harus berani mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang dengan merevisi (baca: mencabut) Pasal 67 ayat (2)!

Kendala yang dihadapi masyarakat adat dalam memenuhi syarat pengakuan dalam lima tahun terakhir, pasca putusan MK35 2012 yang menegaskan pengakuan atas hak masyarakat adat atas hutan, harusnya jadi bahan refleksi.

Publik pun belum tahu pasti apa alasan potensi hutan adat yang belum bisa masuk daftar prioritas pemerintah, apakah semata-mata hanya karena alasan-alasan yang disebutkan di atas. Apakah tidak ada alasan yang lebih kritikal, misal, sebagian karena di hutan adat itu terdapat hak lain yang belum berani disentuh pemerintah?

Kalau tak segera teratasi, konflik tenur seputar hutan adat itu akan terus berlanjut dan bukan tak mungkin terus meruyak. Maka, kehadiran peraturan perundang-undangan setingkat Undang-undang perlu guna menyelesaikan masalah hutan adat ini.

Dari perspektif kajian sosio-antropologis, masyarakat adat sebagai subyek hukum atas berbagai obyek hak itu bukanlah suatu yang sulit karena telah menjadi bagian kehidupann sehari-hari masyarakat adat bersangkutan. Tak sulit menilai apakah klaim suatu masyarakat adat itu benar atau tidak.

Sebab, susunan masyarakat adat itu sudah demikian. Tak satu pun entitas sosial yang dapat mengada-ada soal keberadaannya.

Toh, pada banyak komunitas adat saat ini penguasaan tanah (termasuk hutan adat) berpusat kepada sistem kekerabatan, seperti marga raja bersama marga boru– dalam etnik Batak Toba, kaum dan suku dalam etnik Minangkabau, atau soa dalam etnik Maluku.

Tegakah pemerintah meminta mereka bertarung–dan menguras biaya tak sedikit–di arena legislasi dan birokrasi daerah yang sarat kepentingan politik itu?

 

Penulis adalah pakar antropologi juga peneliti Pusat Etnografi Komunitas Adat di Yogyakarta. Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis.

 

Keterangan foto utama:  Aksi menyuarakan penyelamatan hutan adat Laman Kinipan di Lamandau, Kalteng. Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo

 

Exit mobile version