Mongabay.co.id

Odyssey, Lima Tahun Berlayar untuk Mengampanyekan Lingkungan

 

Sebagai negara tempat lahirnya para inovator, Swiss berkomitmen untuk mengatasi masalah sampah plastik maupun energi kotor. Namun, solusi itu dianggap belum sepenuhnya sesuai dengan kondisi di Indonesia.

Odyssey, kapal yang sepenuhnya mengandalkan energi bersih dan terbarukan (EBT), singgah di Bali sejak Selasa (4/06/2019). Kapal berbendera Swiss itu mampir di Bali selama dua minggu untuk berkampanye tentang laut, sampah, dan EBT sebelum nanti melanjutkan perjalanannya ke Jakarta pada 13 Juni nanti.

Perjalanan Odyssey akan berlangsung selama lima tahun sejak mereka memulainya dari Pelabuhan Lorient, Perancis pada 9 April 2017 lalu. Mereka akan singgah di sekitar 35 lokasi, termasuk saat Piala Amerika pada Mei – Juni 2017 lalu dan Olimpiade Tokyo pada Juli – Agustus 2020 nanti.

baca : Sang Ksatria Pelangi Datang Bawa Pesan Jaga Alam Nusantara

 

Kapal Odyssey bersandar di Pelabuhan Benoa Bali untuk mengampanyekan solusi sampah plastik. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Sebelum tiba di Bali, mereka sudah menempuh lebih dari dua tahun pelayaran melewati Amerika Selatan, Negara Kepulauan, dan Papua Nugini. Mereka bertemu komunitas lokal, pengambil kebijakan, dan warga umum untuk berkampanye tentang mengubah sampah plastik menjadi energi.

Selama perjalanan tim kapal jenis katamaran ini sudah melakukan riset, berbagi pengetahuan, dan aksi di beberapa lokasi, terutama terkait sampah plastik di samudera. Salah satunya adalah meneliti dampak mikroplastik pada terumbu karang di Kaledonia Baru pada Februari 2019.

Sebagian hasil perjalanan itu tergambarkan di lantai kapal berupa foto sampah-sampah plastik yang dipamerkan pada pengunjung. Antara lain sampah plastik di Praia do Norte, Acores (Portugal) dan Pantai Ovahe, Easter Island.

Selain itu, tim juga membagi pengetahuan tentang plastik kepada anak-anak di sepanjang perjalanan mereka. Ada pula penerapan proyek mengubah sampah menjadi energi di Peru. “Kami di sini untuk bicara tentang plastik di Samudera. Kami tidak hanya membicarakan masalah, tetapi juga solusi,” kata Marco Simeoni, pendiri Yayasan Race for Water dan pemilik kapal itu.

Selama di Bali, menurut Marco, kapalnya akan melakukan sejumlah kegiatan, termasuk menerima kunjungan publik dan lokakarya tentang mengubah sampah plastik menjadi energi. Selama itu, kapal yang dibuat pada tahun 2010 itu akan bersandar di Pelabuhan Benoa, Denpasar, Bali.

Pada Selasa (11/06/2019), Odyssey mengundang sejumlah pejabat di Bali, media, dan komunitas lingkungan untuk hadir. Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati (Cok Ace) turut hadir bersama pejabat, termasuk Kepala Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup (DKLH) Kabupaten Badung I Putu Eka Merthawan dan Kepala Deputi Kedutaan Swiss di Indonesia Michael Cottier.

Selama sekitar tiga jam, kapal Odyssey menerima sekitar 30 pengunjung di ruang tamu kapal. Tidak hanya mendengarkan pemaparan tujuan pelayaran, para pengunjung juga melihat-lihat bagaimana penggunaan EBT di dalam kapal Odyssey.

baca juga : Transformasi Pinisi, dari Kapal Dagang Legendaris Menjadi Kapal Wisata Unggulan

 

Rombongan pejabat Bali, termasuk Wagub Cok Ace, saat berkunjung ke kapal Odyssey. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Kombinasi

Menurut Cottier, ekspedisi kapal Odyssey merupakan hal unik karena Swiss sendiri adalah negara yang tidak memiliki laut. Namun, kapal dengan misi lingkungan ini menjadi relevan ketika Swiss dan negara-negara lain di dunia sedang memberikan perhatian pada isu lingkungan, termasuk EBT.

Swiss, menurut Cottier, merupakan tempat lahirnya para inovator. Tidak hanya dalam teknologi seperti jam yang legendaris tetapi juga pendekatan untuk mengajak orang. Melalui inovasi, orang-orang Swiss mengajak dunia untuk beralih ke EBT.

Salah satu pendekatan itu, misalnya, penggunaan EBT secara langsung pada alat transportasi yang mereka gunakan. Odyssey mengombinasikan energi terbarukan melalui panel surya, tenaga angin lewat layang-layang raksasa, dan hidrogen melalui pemisahan air dan oksigen.

“Ketika berbicara tentang energi terbarukan sebagai sumber energi, kita harus mengombinasikan. Tidak hanya tergantung pada salah satu jenis,” ujar Marco.

Apa yang dilakukan Odyssey, menurut Cottier, adalah bukti pendekatan dan petualangan Swiss dalam menggunakan energi terbarukan. Sebelumnya, warga negara Swiss juga sudah ada yang melakukan ekspedisi dengan kapal terbang yang sepenuhnya mengandalkan tenaga surya, Solar Impulse. Inisiator dan pendiri Solar Impulse adalah dua warga Prancis, Bertrand Piccard dan Andre Borschberg.

Seperti halnya Solar Impulse, Odyssey pun mengampanyekan penggunaan EBT dalam transportasi sebagai sesuatu yang bisa dilakukan. “Karena kami juga punya komitmen pada lingkungan,” kata Cottier.

menarik dibaca : Agus Wesnawa, ABK Kapal Legendaris Pembela Lingkungan Greenpeace

 

Rombongan pejabat Bali, termasuk Wagub Cok Ace, saat berkunjung ke kapal Odyssey. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Belajar dari Bali

Cottier menambahkan persinggahan di Bali bisa jadi momentum untuk saling belajar mencari solusi mengatasi masalah lingkungan. “Kami belajar dari Bali terkait pelarangan tas belanja dari plastik. Bali sudah selangkah lebih maju,” katanya.

Saat ini, Swiss juga sedang membahas rencana pelarangan plastik sebagaimana sudah diterapkan di Bali.

Wagub Bali Cok Ace mengatakan sampah plastik memang sudah menjadi masalah di Bali. Karena itu Pemprov Bali mengeluarkan Peraturan Gubernur (Pergub) untuk mengatur plastik sekali pakai. Setelah ada Pergub itu, warga mulai mengubah kebiasaan saat belanja.

“Tetapi ini saja tidak cukup. Akan lebih bagus kalau Bali bisa mendapat tambahan pengetahuan tentang penanganan sampah,” ujar Cok Ace.

Dalam presentasinya, Marco menjelaskan pula tentang teknologi yang mengubah sampah plastik menjadi energi. Alat bernama Biogreen ini menggunakan teknologi pirolisis suhu tinggi yang dikembangkan untuk mengubah semua sampah plastik menjadi listrik.

Tidak hanya berguna untuk mengatasi masalah sampah plastik, menurut Marco, teknologi ini juga bisa mendatangkan manfaat sosial ekonomi. Alat itu juga sudah diterapkan di Paris dengan jumlah sampah yang bisa diolah mencapai 5-12 ton per hari. Hasil listriknya mencapai 2,5 Mwh. Cukup untuk sekitar 6.000 rumah tangga.

Namun, menurut Kepala DKLH Badung I Putu Eka Merthawan teknologi tersebut tidak sepenuhya cocok di Indonesia. “Karena sebagian besar sampah kita masih berupa organik, bukan plastik,” kata Merthawan.

 

Marco Simeoni, pemilik kapal Odyssey, menjelaskan tentang perjalanan mereka pada pengunjung. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Menjadi Inspirasi

Dalam pembukaan kapal pada Selasa (11/06/2019) hadir pula penulis buku Blue Economy yang juga anggota Dewan Yayasan Race for Water, Gunter Pauli. Dalam pidatonya, Pauli mengatakan salah satu hal penting untuk mengubah masa depan lingkungan adalah melalui pendidikan.

“Jika kita tidak tahu cara melakukan perubahan, maka kita akan mengalami kebuntuan, tergantung pada apapun kebijakan politiknya,” katanya.

Dalam konteks itu, menurut Pauli, dua hal perlu dilakukan untuk berubah dalam mengatasi masalah lingkungan saat ini. Pertama, menginspirasi anak-anak muda dengan mengajak terlibat dalam isu-isu lingkungan. Kedua, memecahkan masalahnya terutama oleh perusahaan-perusahaan yang telah membuat produk-produk tidak ramah lingkungan.

“Perusahaan harus bertanggung jawab terhadap pencemaran yang mereka lakukan. Jika perusahaan tidak mau bertanggung jawab, masyarakat sipil yang harus berperan,” katanya.

Hadirnya Odyssey di Bali dan nantinya Jakarta diharapkan bisa melakukan kedua hal tersebut, menjadi inspirasi bagi anak-anak sekaligus mengajak pemerintah dan swasta untuk bertanggung jawab dalam isu lingkungan, terutama sampah di laut.

 

Exit mobile version