Mongabay.co.id

Pemerintah akan Bentuk Divisi Penanganan Konflik Agraria Lintas Kementerian dan Lembaga

Konflik lahan antara masyarakat adat Balai Alut dan Tuyan dengan perusahaan HTI, PT Johnlin Agro Mandiri. Foto: AMAN Kalsel

 

 

 

 

Pemerintah kembali menegaskan keseriusan menyelesaikan berbagai konflik agraria di Indonesia. Pada Rabu(12/6/19), pemerintah menggelar rapat tingkat menteri untuk percepatan penyelesaian konflik agraria dihadiri 12 kementerian dan lembaga termasuk TNI/Polri. Rapat ini menyepakati pembentukan divisi penanganan konflik agraria lintas kementerian dan lembaga.

“Barusan kami sudah rapat koordinasi mengenai upaya pemerintah menyelesaikan konflik agraria,” kata Moeldoko, Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) dalam jumpa media.

Pemerintah, katanya, sangat serius menangani berbagai konflik agraria tetapi penyelesaian tak mudah. Dia contohkan, konflik antara perkebunan negara dan Senama Nenek di Riau.

Presiden, melepaskan lahan melalui Kementerian BUMN. Setelah diserahkan ke daerah, ternyata pemerintah daerah kesulitan menentukan subyek yang akan mendapatkan lahan itu. “Kepada siapa itu tanah itu diberikan. Ini juga persoalan tak mudah,” katanya.

Sejak 2017, KSP sudah membentuk Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria (TPPKA). Ia  bertugas menerima aduan, analisa kasus, verifikasi lapangan, mengadakan rapat koordinasi dan memberikan rekomendasi penyelesaian konflik agraria. KSP juga memberikan peta jalan kebijakan dan implementasi penyelesaian konflik.

Hingga kini, TPPKA-KSP menerima laporan konflik agraria 666 kasus, luasan 1.457.084 hektar melibatkan 176.132 keluarga. Dari total 666 kasus, ada 413 memiliki informasi pendukung cukup hingga bisa ditindaklanjuti. Ada 167 kasus selesai jangka pendek, 92 kasus jangka menengah, dan 154 kasus perlu lebih lama. Selanjutnya, 253 kasus belum memiliki informasi pendukung lengkap hingga belum ditindaklanjuti.

“Kita perlu duduk bersama dengan pimpinan kementerian dan lembaga untuk segera bisa tuntaskan,” katanya.

Pemerintah, katanya, berusaha mempercepat penyelesaian konflik agraria, antara lain, lewat koordinasi antar-kementerian dan lembaga, serta membangun sinergi penanganan lintas kementerian dan lembaga. Kementerian dan lembaga, katanya, menunjuk pejabat penanggungjawab untuk koordinasi.

Dalam rapat ini, KSP juga menyerahkan dokumen digital berisi daftar kasus beserta seluruh data-data pendukung kepada kementerian lembaga terkait. Untuk melancarkan koordinasi dalam mempercepat penyelesaian konflik agraria, KSP akan bertemu dengan berbagai menteri dan pimpinan lembaga lain secara berkala setiap dua bulan sekali.

Rapat ini juga menyepakati pembentukan Desk Penanganan Konflik Agraria Lintas Kementerian dan Lembaga, KSP sebagai simpul.

Sofyan Djalil, Menteri ATR/BPN mengatakan, ada sekitar 4.000 konflik agraria masuk ke KATR/BPN. Dia klaim, selesaikan sekitar 1.500 kasus.

“Sekarang, kami memiliki program lebih sistematis, yakni, pendaftaran tanah sistematis lengkap. ini dibentuk agar kasus ke depan selesai.”

Pemerintah, katanya, mendaftarkan tanah dari desa per desa, kabupaten per kabupaten, provinsi per provinsi. “Kalau seluruh tanah sudah terdaftar, konflik di masa depan akan berkurang bahkan hilang,” katanya, berandai-andai.

 

Warga Kinipan saat mengantar Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria, Kantor Staf Presiden menyurvei lokasi sengketa lahan. Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia

 

KATR, katanya, turut serta menangani target penyelesaian 167 kasus jangka pendek yang dibahas dalam rapat itu. Dia contohkan, satu kasus di Batam, ada 31 desa tua dianggap masuk BP Batam. Perintah Presiden Jokowi, agar mengidentifikasi dan keluarkan 31 desa tua dari wilayah BP Batam. “Berikan langsung kepada masyarakat. Kemudian tanah-tanah terlantar di perkebunan juga kita bagikan ke masyarakat,” katanya.

Sofyan tak menampik dalam proses terdapat konflik agraria masih belum selesai karena tak hanya urusan satu kementerian.

“Misal, tanah instansi pemerintah, tanah sengketa dengan TNI, ini perlu rapat kabinet terbatas untuk menyelesaiakannya,” katanya, seraya bilang, koordinasi antar kementerian-lembaga membawa ke arah titik terang.

Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan, komitmen kuat selesaikan berbagai konflik agraria dalam kawasan hutan. Pemerintah, katanya, sudah memiliki berbagai instrumen hukum, seperti perubahan batas kawasan hutan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44/2004 dan sudah ada juga Permennya. Termasuk juga aturan soal pelepasan kawasan hutan melalui tanah obyek reforma agraria (tora), dan tukar menukar kawasan.

“Atau dalam kondisi sangat sulit, misal, pemukiman di zona inti taman nasional atau cagar alam. Itupun harus ada gradasi kalau di kawasan konservasi, misal, identifikasi sebagai zona khusus.”

Instumen lain, katanya, perhutanan sosial lewat PP 6/2007 dengan konsep pemberdayaan. Permen ini disempurnakan lewat Permen LHK 83/2016.

Di KLHK, katanya, data konflik agraria 320 kasus, Sumatera (201), Jawa Bali Nusa Tenggara (43), Kalimantan (47), Sulawesi (13), Maluku dan Papua (16). Dia sebutkan, kasus-kasus itu, sudah selesai dengan mediasi dan kesepakatan ada 84 kasus.

“Lainnya, masih penilaian. Kita lakukan terus, rapat, dorong terus. Saya juga mendapatkan dari KSP 52 kasus konflik agraria dalam kawasan hutan. Ada data. Kami cek segera di kantor.”

Dalam penyelesian konflik agraria ini, katanya, juga perlu peran dari dunia usaha. Makin banyak konflik agraria di konsesi, justru merugikan perusahaan.

“Dengan konflik-konflik ini sebenarnya kurang sehat untuk dunia usaha. Karena itu, atas inisiatif mereka sendiri, juga mengeluarkan areal-areal konflik,” katanya.

Perusahaan, katanya, meminta KLHK lakukan perubahan (addendum), dengan pengurangan luas. Dia bilang, sudah ada belasan perusahaan meminta perubahan pengurangan konsesi.

 

Pada Kamis 13 Juli 2017, Ibrahim, 72 tahun, warga Mantadulu, transmigran dari Lombok Tengah mempelihatkan sertifikat tanah yang diklaim PTPN XIV. Konflik lahan antara warga dan perusahaan, termasuk perusahaan negara, banyak terjadi. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

Hutan adat

Untuk hutan adat, kata Siti, juga jadi perhatian. Hingga kini, capaian penetapan hutan adat masih minim, sekitar 22.000-an hektar.

KLHK, katanya, sudah bikin aturan dengan menetapkan wilayah indikatif hutan adat.

“Supaya masyarakat adat lebih secure, aman. Sambil proses di pemda dan DPRD atau kepala daerah, bertahap, wilayah indikatif hutan adat jadi hutan adat.” Fase pertama luasan indikatif hutan adat keluar seluas 472.000-an hektar dari total sasaran 6,53 juta hektar.

Siti juga menyinggung peran penting koordinasi lintas kementerian-lembaga. Mengingat kewenangan KLHK sudah tidak berada di level pemerintah kabupaten atau kota. Pemerintah provinsi, katanya, berperan penting dalam penyelesaian konflik agraria.

“Melalui koordinasi bersama Kementerian Dalam Negeri, pemerintah provinsi penting terlibat dalam inisiasi penyelesaian konflik agraria.”

 

Keterangan foto utama:  Konflik lahan antara masyarakat adat Balai Alut dan Tuyan dengan perusahaan HTI, PT Johnlin Agro Mandiri. Foto: AMAN Kalsel

 

 

 

Exit mobile version