Mongabay.co.id

Banjir Rendam Samarinda, Rusaknya Lingkungan Jadi Sorotan

 

 

Ibu Kota Provinsi Kalimantan Timur, Samarinda, dilanda banjir. Sepekan setelah Hari Raya Idul Fitri 1440 H, air masih menggenangi sejumlah kawasan di Kota Samarinda. Hingga Jumat [14/6/2019], banjir merendam sejumlah tempat dengan ketinggian air mencapai 1,5 meter.

Kepala Unit Basarnas Samarinda, Dede Heriana mengatakan, debit air akan berkurang jika cuaca di Samarinda cerah. Jika hujan kembali turun, debit air otomatis meningkat walau hanya gerimis.

“Bendungan-bendungan yang ada, seperti di Benanga, berpengaruh juga. Kemungkinan ditutup, air akan surut,” jelasnya.

Selama sepekan, jumlah warga yang terdampak banjir berkisar hingga 30 ribu jiwa. Sebagian di antaranya harus dievakuasi. Mereka ditempatkan di posko-posko pengungsian sementara. Selain sangat membutuhkan bantuan logistik terutama makanan, kebutuhan wanita dan balita, kini para pengungsi juga sudah dihantui berbagai penyakit.

Kapolres Kota Samarinda, Kompol Vendra Riviyanto terjun langsung ke lapangan, memastikan keselamatan warga. Pasalnya, banyak warga memilih bertahan di rumahnya meski tergenang air, hanya untuk menjaga harta benda.

“Selain patroli, kami juga membagikan obat-obatan, keperluan kewanitaan, pempers, dan makanan siap saji,” ujarnya.

Baca: Kalimantan Timur Kembangkan Hutan Energi, Sebagai Wujud Provinsi Hijau?

 

Banjir yang merendam Samarinda terjadi akibat rusaknya lingkungan. Foto: Yovanda/Mongabay Indonesia

 

Banjir ini merupakan bencana terbesar dalam 10 tahun terakhir. Sebagian aktivitas warga Samarinda lumpuh, tak ada kepadatan lalu lintas seperti hari-hari biasa.

Lebaran ketupat pun tak sempat dirayakan, warga tak bisa bergerak kecuali memantau kondisi rumahnya. Sejumlah dapur umum disiapkan dengan menyajikan 10 ribu bungkus makanan setiap hari.

Ketua Komunitas Sosial Perempuan Samandai, Rinda Wahyuni mengatakan, selama debit air masih tinggi, banyak relawan dan komunitas maupun organisasi-organisasi sosial turun membagikan makanan. Warga yang tidak mau mengungsi, tetap diantarkan makanan agar bisa bertahan.

“Setia saat bantuan makanan datang, membantu warga yang menjadi korban. Tahun ini adalah banjir terbesar dalam satu dekade terakhir,” jelasnya.

 

Jumlah warga yang terdampak banjir berkisar hingga 30 ribu jiwa. Sebagian besar mengungsi namun ada yang bertahan di rumah. Foto: Yovanda/Mongabay Indonesia

 

Tambang penyebab utama

Jaringan Advokasi Tambang [Jatam] Kalimantan Timur [Kaltim], mengatakan situasi ini pernah diprediksi 10 tahun lalu. Jatam sudah mengingatkan pemerintah tentang bahaya menerbitkan izin tambang batubara secara obral. Bencana paling nyata adalah banjir dan gempa bumi.

“Inilah akibat menerbitkan izin serampangan. Terbukti sekarang, alam tidak mampu lagi menanggung beban curah hujan beberapa hari,” kata Dinamisator Jatam Kaltim, Pradarma Rupang.

Rupang menjelaskan, bencana ini adalah buah dari kebijakan menerbitkan izin tambang tanpa henti. Sumber utama banjir adalah pembukaan lahan di wilayah tangkapan air oleh ratusan perusahaan tambang. Kebijakan yang dilakukan di masa lalu oleh wali kota dan bupati.

“Kota ini semakin rentan, bencana akan berulang, selama pengrusakan tidak dihentikan. Samarinda juga dikepung aktivitas industri ekstraktif tambang dan sawit dari kabupaten tetangga,” katanya.

Dalam catatan Jatam, sekitar 71 persen Kota Samarinda sudah dikapling tambang. Padahal dalam peraturan menteri, kabupaten/kota harus memiliki ruang terbuka hijau [RTH] sebesar 30 persen. Jatam melihat ini kesalahan fatal yang sengaja dibuat. Peraturan salah harus dilawan.

“Parahnya, kementerian tidak bergeming soal itu. Sisa 29 persen Samarinda merupakan permukiman, bagaimana RTH? Kenapa tidak ada sanksi untuk wali kota? Bahkan, sepekan banjir menyerang, Wali Kota Samarinda tidak di tempat,” sesalnya.

Rupang menyayangkan Samarinda yang tidak memiliki zona lindung, wilayah penyangga seperti Balikpapan. Harusnya Samarinda, Kutai Kartanegara, Kutai Timur, dan Bontang, belajar dari Pemerintah Kota Balikpapan, menolak ditetapkan sebagai wilayah pertambangan oleh Kementerian ESDM [Kawasan Bebas Tambang]. Secara tegas pula, menetapkan seluas 52 persen, dalam RTRW, ruang daratan untuk kawasan lindung, sementara 48 persen untuk budidaya.

“Titik banjir bertambah dan sebarannya meluas, sementara lahan makin kritis. Wali Kota Samarinda dan Gubernur Kaltim harus mencegah bencana ini. Jangan sampai warga Samarinda menjadi pengungsi di tanahnya sendiri,” tegasnya.

 

Jaringan Advokasi Tambang [Jatam] Kalimantan Timur, mengatakan hadirnya bencana banjir pernah diprediksi 10 tahun lalu, akibat banyaknya izin tambang batubara yang diterbitkan. Foto: Yovanda/Mongabay Indonesia

 

Dikutip dari Merdeka.com, Wakil Gubernur Kaltim Hadi Mulyadi mengatakan, Pemerintah Provinsi Kaltim akan melakukan langkah darurat penanganan korban banjir di Samarinda, berkolaborasi dengan Pemerintah Kota Samarinda.

“Untuk jangka panjang, Pemprov Kaltim fokus membantu Pemkot Samarinda menanggulangi banjir, melalui APBD Kaltim tahun 2020. Semua SKPD terkait akan merumuskan hal ini,” tandasnya Hadi, Selasa [11/6/2019].

 

Poin-poin Jatam Kaltim:

  1. Overlay titik banjir dan konsesi tambang menjelaskan sumber masalah bencana
  2. Kecilnya ruang terbuka hijau [tidak sampai 1 persen, hanya 00,9 persen, atau 650 hektar] dan kawasan tangkapan air yang hancur menyebabkan bencana datang. Banyak perbukitan di pinggiran Samarinda juga dihancurkan untuk aktivitas tambang, seperti Gunung Kapur, Gunung Rotan, serta Gunung Lampu di Makroman.
  3. Wilayah-wilayah yang tadinya menjadi tanggkapan air hujan, kini menjadi eks tambang], tidak dipulihkan dan direhabilitasi. Terlantar begitu saja, menganga, tidak direklamasi.

 

 

Exit mobile version