Mongabay.co.id

Ada Derita di Balik Keindahan Foto Bawah Laut

 

Indonesia merupakan negara yang luas wilayah laut mencapai 75% dari luas total wilayahnya. Dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada, yaitu 99.093 km. walaupun, jika dipetakan dengan lebih detail, Indonesia bisa mempunyai garis pantai lebih dari 100 ribu kilometer. Indonesia bahkan juga memiliki jumlah pulau yang sangat banyak, dan menjadikannya negara kepulauan terbesar di dunia. Menurut kepala Badan Informasi Geospasial, Priyadi Kardono kepada Antara, pada tahun 2015, Indonesia mempunyai jumlah pulau 16.466 pulau.

Wilayah laut Indonesia yang sedemikian luas telah menjadi rumah bagi ribuan jenis biota laut, baik yang menetap (diantaranya 2.057 spesies ikan terumbu karang, 120 spesies hiu, dua spesies pari manta, dan enam dari tujuh spesies penyu laut yang ada di dunia), atau tempat singgah sementara (misalnya berbagai jenis paus dan lumba-lumba).

Belum lagi kehidupan yang lainnya, baik yang berukurang besar, maupun yang kecil-kecil yang hampir selalu luput dari perhatian. Keragaman hayati yang luar biasa ini, tentu saja akan mendatangkan keuntungan dan pendapatan negara yang tidak sedikit dari para wisatawan, baik dalam maupun luar negeri, yang ingin menyaksikan atau bahkan mengabadikannya dalam bentuk foto.

baca : Ini Kode Perilaku Wisata Laut yang Bertanggungjawab

 

Seorang penyelam sedang memotret nudibranch dengan buoyancy yang baik. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Beberapa tahun belakangan ini, kamera menjadi benda yang sangat mudah dijumpai. Hampir setiap orang memiliki yang namanya kamera, baik itu berupa kamera amatir, professional, maupun kamera handphone. Apalagi di jaman milenial ini, di mana media sosial sudah berubah menjadi kebutuhan primer bagi sebagian orang. Semua seakan tidaklah lengkap, bila tidak diabadikan dengan kamera untuk kemudian diupload ke dalam media sosial. Tidak terkecuali mengabadikan kehidupan di bawah laut.

Bagi orang yang sudah serius dalam dunia fotografi bawah laut, bisa memotret mahluk bawah laut yang unik dengan momen yang jarang diabadikan dalam dunia fotografi, merupakan suatu kebanggaan tersendiri. Itu karenanya, untuk fotografi bawah air yang serius ini, membutuhkan kelengkapan dan alat yang lebih serius juga, seperti kamera khusus, lampu kilat dan lain sebagainya.

Trend ini mengundang dan mendorong berbagai pihak utuk menyediakan sarana dan prasarananya, termasuk para guide yang mengerti akan tingkah laku para hewan itu dan di mana habitatnya. Sudah banyak sekali fotografer-fotografer bawah air kelas dunia yang datang ke Indonesia, untuk berburu foto indah makhluk-makhluk uniknya, yang sering tidak ditemukan di perairan manapun.

baca juga : Fotografer Memfoto Kondisi Satwa Laut Ini Dan Kemudian Viral di Internet

 

Seorang penyelam sedang memotret di danau Uluna, Sulut. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Hanya saja sayangnya, keinginan yang tinggi untuk mengejar foto indah dan luarbiasa itu, tidak dibarengi dengan wawasan tentang kelestarian yang bagus. Beberapa oknum fotografer, bahkan tidak mempunyai buoyancy atau kemampuan mengambang yang bagus, sehingga menyebabkan rusaknya terumbu karang karena tersentuh atau menjadi tumpuan tubuhnya ketika melakukan pemotretan.

“Bahwa sebetulnya di setiap agency pemberi lisensi selam, telah disebutkan dan diajarkan tentang teori apa yang boleh dan tidak boleh diakukan para penyelam di dalam laut, seperti diantaranya tidak memegang terumbu karang apapun, tidak mengganggu kehidupan biota laut, dan memperbanyak jam terbang menyelam untuk melatih buoyancy agar tetap stabil,” dive guide professional dan instruktur selam Padi dan SSI, Sudar Moko kepada Mongabay Indonesia, Senin (10/6/2019),

Tetapi teori hanya tinggalah teori. Beberapa oknum fotografer dan guide selam, banyak melakukan animal abuse atau penyiksaan binatang demi mendapatkan gambar yang bagus dan outstanding. Seperti yang Mongabay-Indonesia temukan dalam salah satu acara perhelatan tentang dunia selam dan kegiatan outdoor, pada awal April tahun ini. Ada seorang pembicara tentang fotografi bawah laut, yang menghalalkan penggunaan lampu kilat atau pun strobe, dengan jarak yang sangat dekat dengan obyek foto. Dan yang bersangkutan berbicara atas nama seni.

menarik dibaca : Fotografer Ini Berburu Foto Paus dan Lumba-lumba Selama 25 Tahun. Hasilnya?

 

Segerombolan ikan di perairan di bawah dermaga di Bali. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Padahal jika kita bandingkan dengan manusia, yang bila di foto menggunakan lampu kilat berkali-kali, dengan kekuatan yang besar, sang model pasti membutuhkan rehat pemotretan, agar mata tidak sakit. Dan bisa dibayangkan, apabila seorang fotografer bawah laut lengkap dengan beberapa lampunya, apalagi diletakkan nyaris menempel dengan obyek yang ratusan atau bahkan ribuan kali lebih kecil dari manusia, bisa dipastikan tubuhnya akan mongering karena kepanasan. Dan ini bisa menyebabkan kematian, atau minimal menyebabkan buta.

Sudar Moko juga menambahkan, sebetulnya ada toleransi yang tidak tertulis yang selama ini dipatuhi para penyelam dan fotografer bawah laut, dalam memperlakukan obyek fotonya. Seperti sedikit reposisi tanpa menyentuhnya masih diperbolehkan. Atau melepas hewan laut agar lestari di tempat yang sesuai dengan habitatnya juga diperbolehkan.

 

Bargibanti pygmy seahorse atau kuda laut bargibanti atau hippocampus kerdil, salah satu jenis kuda laut dari keluarga Syngnathidae. Satwa berukuran mikro ini menjadi incaran para fotografi bawah air. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Tetapi penyiksaan hewan sebagai obyek laut tentu saja sangatlah tidak diperbolehkan. Menurut pengamatan Mongabay-Indonesia dan mengumpulkan data dari beberapa guide selam yang biasa mendampingi fotografer selama beberapa tahun ini, ada beberapa bentuk animal abuse yang dilakukan para fotografer bawah air.

perlu dibaca : Menakjubkan.. Ini Foto-foto Pemenang Underwater Photographer of the Year 2018

 

Seorang penyelam dengan buoyancy yang baik di perairan Bali. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Tingkat ketertekanan hewan laut memang berbeda. Ada yang cukup rendah seperti bintang laut atau yang tinggi seperti kuda laut kerdil. Ini diperparah dengan kenyataan bahwa si kuda laut kerdil tidak mempunyai kelopak mata. Lampu kilat akan dengan mudah mencederai matanya, apabila tidak dibatasi penggunaannya. Dan tidak ada

Keindahan bawah laut memang sangat luar biasa dan membuat siapapun yang mengabadikannya dalam sebuah foto,selalu timbul keinginan melakukannya lagi, lagi dan lagi. Dan di masa sekarang, di mana keahlian para fotografer yang semakin meningkat serta teknologi yang semakin canggih dalam menunjang kemampuan itu, foto bawah air yang dihasilkan pun menjadi sempurna. Dan jika anda suatu saat anda menemukan foto hewan bawah laut yang bagus, terutama foto makro, maka mungkin saja, ada derita yang sangat yang dialami obyek foto, ketika pengambilan gambar. Walaupun tidak semuanya seperti itu.

 

Seekor coral bleenie di perairan Bali. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Leo Wijaya, dive instruktur NAUI dan POSSI pun mengatakan perlunya diadakan lisensi green photographer. yang mana, fotografer yang mempunyai lisensi ini akan mempunyai dua syarat.

Hanya sayangnya, lisensi seperti itu belum ada. Sekarang yang ada hanyalah kebijakan dari instruktur pemberi lisensi, apabila ada anak didiknya yang terbukti melakukan animal abuse. Jadi, memang sanksi hukum untuk animal abuse dalam fotografi bawah air memang belum lah ada.

 

Seorang penyelam dengan buoyancy yang baik di perairan Bali. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Seorang guide professional, instruktur diving dan photographer underwater profesional, Roy Legi menambahkan,”Bahwa seorang fotografer underwater sebaiknya harus menguasai skill menyelam yang baik terlebih dahulu sebelum melakukan pemotretan bawah air. Jika skill menyelam sudah dikuasai dengan baik, maka yang selanjutnya harus dilakukan adalah penghargaan yang baik terhadap obyek foto, untuk meminimalisir animal abuse.”

Perlu ada aturan yang jelas dari pihak-pihak terkait, yang berhubungan dengan hal ini. semisal :dive resort atau guide selam yang ketat mengawasi perlakuan sang fotografer,termasuk pembatasan jumlah pemotretan.Setidaknya, jika seorang fotografer meng claim dirinya sebagai fotografer alam liar bawah air, maka ya berlaku lah seperti itu. Dengan memotret obyek foto seperti aslinya, tanpa si hewan merasa tertekan.

 

Kepiting teripang atau Orbicularis Lissocarcinus, salah satu satwa laut berukuran mikro yang jadi incaran para fotografer. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version