Mongabay.co.id

Soal Pemindahan Ibu Kota Negara, Berikut Masukan Peneliti LIPI

Kabut asap Oktober 2014 di Kalimantan Tengah, dari kebakaran hutan dan lahan gambut. Kabut asap ini berdampak pada berbagai aktivitas (dari sekolah libur sampai penerbangan tertunda). Udara pun menjadi tidak sehat sampai berbahaya. PP Gambut yang ditandatangani, berharap bisa melindungi gambut hingga bisa menekan dampak buruk kerusakan gambut, salah satu bencana asap ini. Foto: Walhi Kalteng

 

 

 

 

 

Rencana pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Kalimantan, perlu kajian matang dan menerapkan prinsip kehati-hatian. Aspek mitigasi bencana, sosial budaya dan lingkungan perlu jadi perhatian serius.

”Pemindahan ibu kota tak sekadar memindahkan masalah yang sama, masalah Jakarta dipindah ke tempat baru, karena tidak melakukan perencanaan yang benar,” kata Galuh Syahbana Indraprahasta, peneliti Pusat Penelitian Kebijakan dan Manajemen Iptek dan Inovasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam diskusi publik bertemakan, “Tantangan Pemindahan Ibu Kota: Aspek Mitigasi Bencana, Ekologi dan Sosial Budaya” di Jakarta, baru-baru ini.

LIPI mengupayakan, agar gagasan pemindahan ibu kota ini memiliki kajian lebih dalam secara ilmiah.

Baca: Rencana Pemindahan Ibu Kota ke Luar Jawa, Berikut Masukan Para Pihak

Rencana pemindahan ibu kota negara sebenarnya sudah jadi pembicaraan lama, sejak zaman Hindia Belanda, berlanjut ke Presiden Soekarno bahkan Soeharto.

Menurut Galuh, dulu Jakarta merupakan kota pelabuhan dengan penduduk lebih kecil, dikenal dengan Batavia. Hari demi hari, penduduk Batavia terus bertambah, dibandingkan kota lain, seperti Surabaya, Makassar dan Semarang, yang sama-sama memiliki pelabuhan.

Pada masa itu, pertumbuhan penduduk tak diikuti perencanaan matang soal wilayah. Akhirnya, jadilah Jakarta sekarang ini, melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan serta menimbulkan berbagai permasalahan, seperti banjir, kemacetan, air bersih, penurunan muka air tanah dan lain-lain.

”Pemekaran Jakarta ke daerah sekitar pun memicu persoalan baru. Ada kompetisi kabupaten dan kota terhadap investasi asing,” katanya.

Dia contohkan, Karawang, dulu lumbung padi, kini jadi kawasan industri. Kompetisi ini menyebabkan alih fungsi lahan.

Baca: Rencana Pemindahan Ibu Kota Negara, Wilayah Ini Kandidat Kuat?

Kembali ke ibu kota baru, kata Galuh, perlu ada perencanaan kuat. ”Prinsipnya, keberlanjutan dalam membangun infrastruktur. Terkait geografis, yang penting aksesbilitas dan konektivitas. Begitu juga penyediaan transportasi dan jasa publik.”

Herry Yogaswara, peneliti kependudukan LIPI mengatakan, beberapa wilayah di Kalimantan, memiliki sejarah konflik etnis. Dia contohkan, di Kalimantan Tengah, indikator keterimaan rendah karena ada sejarah konflik.

Kalau ibu kota pindah, dengan mayoritas kelas menengah ke atas atas, ada kekhawatiran terjadi kesenjangan, kemiskinan, kecemburuan sosial dan perbedaan cara hidup. Lemahnya peran negara sebagai penengah konflik di masa lampau, katanya, membuat persoalan personal bisa jadi komunal. “Persoalan ini harus jadi perhatian.”

Untuk itu, katanya, pemerintah harus segera tetapkan daerah terpilih dan lakukan kajian komprehensif. “Kajian sosial, budaya lebih luas. Perlu ada pelibatan intelektual lokal dalam kajian itu.”

Dia bilang, hal perlu diperhatikan adalah kepastian hak masyarakat lokal/adat, terkait sumber daya alam. Pasalnya, dari sisi penduduk lokal akan merasa terancam, terlebih pengakuan masyarakat adat belum mendapatkan kejelasan, harga tanah pun jadi mahal, sampai perjumpaan budaya baru yang dibawa pendatang.

”Perlu ada pertimbangan obyektif, bukan karena politik dan fokus pada sistem lokal. Jangan melihat jauh dari Jakarta, tapi membumi.”

 

Banjir yang merendam Samarinda , Kalimantan Timur, terjadi akibat rusaknya lingkungan. Foto: Yovanda/Mongabay Indonesia

 

 

Gambut harus terjaga

Berdasarkan data Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian dan Balai Penelitian Tanah pada 2011 menyebutkan, di Kalimantan ada 4,8 juta atau 32% dari luas gambut di Indonesia. Ia didominasi di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Keduanya, jadi kandidat calon ibu kota baru menggantikan Jakarta.

Dataran Kalimantan berbeda dengan wilayah Jawa, dominan gambut yang memiliki karakteristik unik. Gambut menjadi sumber air dan penyimpan karbon, serta mampu mencegah pemanasan global.

Pada musim kemarau, gambut rentan terbakar kalau kering dan musim penghujan, rentan banjir. ”Itu bisa dicegah jika kita bisa mengelola dengan baik,” katanya.

Eko Yulianto, Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI menyebutkan, baik Kalimantan Barat maupun Kalimantan Tengah, terjadi perubahan lahan gambut menjadi perkebunan sawit. Pengeringan gambut terjadi dengan membuat kanal-kanal. Kondisi inilah, yang membuat daerah itu rentan kebakaran.

Kalimantan, katanya, juga berpotensi banjir tinggi sampai sedang karena memiliki kerapatan sungai besar. Daerah ini memiliki kelimpahan air dan curah hujan tinggi. Bahkan, potensi frekuensi banjir itu sendiri jadi lebih sering karena natural.

”Bagi saya, satu-satunya upaya agar lingkungan terjaga, khusus gambut harus tetap menjaga dengan membiarkan jadi hutan gambut.”

Pengelolaan gambut, katanya, berikan kepada masyarakat, hingga bisa jadi sumber ekonomi, dengan memanfaatkan secara terukur maupun mengkonservasinya.

Joeni Setijo Rahajoe, Plt Kepala Pusat Penelitian Biologi mengatakan, kebakaran hutan dan lahan gambut menjadi ancaman besar bagi Kalimantan. Pemerintah, katanya, perlu bekeja keras memitigasi potensi bencana ini.

Aspek ekologi harus jadi perhatian utama dalam rencana wilayah dan tata kota ibu kota baru. Dia sebutkan, soal ketersediaan air dan kesehatan lingkungan, terkait kualitas udara dan pencemaran udara.

”Hutan gambut merupakan tipe ekosistem rentan, dan wajib dijaga agar tak terjadi kebakaran hutan apabila ibu kota pindah ke Kalimantan,” katanya.

Dia contohkan, Gunung Mas, memang bukan lahan gambut namun di kelilingi gambut. Tantangan untuk Kalimantan, katanya, sulit menghindari gambut yang rentan terbakar.

Alam Kalimantan, sudah berubah untuk beragam keperluan bisnis, dari perkebunan sawit, dan industri ekstraktif lain seperti tambang. Pemerintah, katanya, perlu tegas dalam memulihkan dan membatasi eksploitasi.

”Rehabilitasi, revegetasi dan reklamasi wajib. Tanpa ada penyadaran dan penegakan hukum hal itu tak akan terjadi.”

Joeni berharap, pemerintah menjamin pengelolaan hutan dengan konsep berkelanjutan di sekitar ibu kota negara baru. ”Pengurangan emisi dengan menurunkan laju eksploitasi, mengelola hutan dengan konsep berkelanjutan, rehabilitasi lahan yang terdegradasi, serta restorasi lahan gambut di sekitar lokasi,” katanya.

 

Keterangan foto utama:  Kabut asap Oktober 2014 di Kalimantan Tengah, dari kebakaran hutan dan lahan gambut. Kabut asap ini berdampak pada berbagai aktivitas (dari sekolah libur sampai penerbangan tertunda). Udara pun menjadi tidak sehat sampai berbahaya. Foto: Walhi Kalteng

 

Kebakaran hutan dan lahan terlebih di gambut merupakan bencana tahunan di Kalimantan Barat yang harus diantisipasi serius. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia
Exit mobile version