Mongabay.co.id

Lingkungan Rusak Picu Bencana di Sulawesi Tenggara

Daerah terdampak banjir di Konawe Utara. Foto: BPNB

 

 

 

 

 

Bagi Armin, warga Desa Langkikima, Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, dini hari awal Juni lalu jadi masa mengkhawatirkan. Rumahnya terendam air karena luapan Sungai Lasolo, Sungai Lalindu, Landawe dan Langkikima. Tinggi mencapai satu meter. Dia, istri dan anaknya kaget. Mereka berupaya menyelamatkan diri di ketinggian.

Armin tak menyangka curah hujan dalam sepekan itu, menyebabkan banjir nadang. Rumah hancur, semua barangtak bisa diselematkan. Beruntung, dia dan keluarga selamat dan mengungsi ke Kota Kendari.

Tercatat ada enam kecamatan dan 51 desa/kelurahan alami bencana serupa di Konut. Juga ada enam kabupaten dan kota diterjang banjir dan genangan air di Sulawesi Tenggara, yakni, Kota Kendari, Konawe Utara, Konawe, Konawe Selatan, Kolaka Timur, Buton Utara, dan Bombana. Konawe dan Konawe Utara, daerah terparah terdampak banjir.

“Tiba-tiba air sudah masuk rumah. Kaget, saya langsung selamatkan diri dengan menggendong anak dan mengajak istri bergegas ke tempat tinggi. Semua barang-barang saya biarkan, daripada nyawa kita melayang,” katanya ditemui di rumah keluarganya di Kendari.

Data Pemerintah Konut, ada 18.000 warga terdampak banjir, pengungsi 2.000-an keluarga atau 9.000 jiwa.

Di Konawe, mengakibatkan air Bendungan Ameroro, meluap. Tanggul penghalang air di sepanjang daerah aliran sungai tak mampu menghalau air dan mengakibatkan banjir.

Data diterima Mongabay, Senin (24/6/19), banjir di Konawe mengakibatkan 126 desa dan delapan kelurahan pada 18 kecamatan terendam air. Sekitar 4.718 keluarga atau 18.408 jiwa mengungsi. Banjir di Konawe juga menyebabkan 193 rumah hanyut, 5.762 rumah dan 34 masjid terendam air.

Asti, warga Kecamatan Pondidaha, Konawe, menyatakan, kesedihan kala banjir tak hanya merendam rumah tetapi batal menikah. Semestinya, dia menikah Sabtu (22/6/19), tetapi terpaksa diundur sampai batas waktu belum ditetapkan.

Rumah Asti dan barang berharga rusak terendam air. Rumahnya beberapa meter dari pinggiran Sungai Konaweha.

 

Banjir yang melanda Sultra, awal Juni lalu. Foto: BNPB

 

 

Hutan tergerus?

Sampai 20 Juni, Konawe Utara dan Konawe, masih banjir. Badan SAR Nasional Kendari, BPBD, TNI, Polri dan pemerintah bahu membahu evakuasi dan pemberian bantuan terhadap korban. Apa penyebabnya?

Walhi Sultra menyebut, jauh sebelum banjir, telah merilis dampak tambang dan sawit. Sejak awal, kata Saharudin, Direktur Walhi Sultra, kajian Walhi rilis soal kerusakan hutan di Sultra yang terbagi-bagi buat bisnis ekstraktif. Perusahaan tambang dan perkebunan sawit, katanya, menyebabkan tutupan hutan hilang, atau terjadi penurunan sekitar 8,8% hutan di Konawe Utara.

“Banjir Konut bukan tanpa sebab. Selain intensitas curah hujan tinggi, banjir itu buah aktivitas tambang dan perkebunan sawit,” katanya.

Berdasarkan penelitian Walhi Sultra, ditemukan sekitar 640.000 hektar hutan dikuasai tambang dan sawit. Konsesi tambang sekitar 600.000-an hektar dan 40.000-an hekta jadi kebun sawit, terluas pertambangan di Konawe Utara dengan 146 izin, disusul Kolaka dan Kolaka Utara. Untuk pembukaan lahan perkebunan, terbesar di Konawe Selatan dan Konawe Utara.

“Soal jumlah pasti kami belum temukan. Karena data pemerintah juga berubah-ubah. Keterbukaan informasi juga minim,” kata Saharudin.

Riset Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) Juni 2015 menyebutkan, per 2015, Sulawesi tengah mengalami krisis ruang, sekitar 54% daratan Sulawesi habis terbagi untuk perizinan tambang, hak guna usaha, HPH dan HTI. Tambang menempati peringkat pertama, 25% atau 4,78 juta hektar. Untuk migas 2,2 juta hektar. Pertambangan ada di Sulawesi dengan, terbesar di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara.

Serupa dikatakan Letnan Jenderal Doni Monardo, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB). Dia mengatakan, penyebab banjir di Sultra dampak kerusakan lingkungan. Alih fungsi lahan ke perkebunan dan pertambangan, katanya, jadi penyebab utama banjir.

Dia mengingatkan, pengembalian fungsi hutan sebagai resapan air patut jadi perhatian serius para pihak di Sultra. “Air adalah sumber kehidupan tetapi air akan murka ketika tak lagi meresap ke dalam perut bumi. Bencana banjir adalah fakta yang harus menjadi pelajaran bagi kita semua,” katanya di sela-sela kunjungan ke pengungsian korban banjir Konawe Utara dan Konawe.

Dia bilang, air turun dari langit idealnya meresap ke tanah, hewan dan tumbuh-tumbuhan lain. Kalau air tak meresap, katanya, terus mengalir mencari jalan sendiri hingga terkumpul merendam dan menghanyutkan apapun.

 

Daerah terdampak banjir di Konawe Utara. Foto: BNPB

 

BNPB sarankan bentuk tim

Doni menyarankan, pemerintah daerah membentuk tim yang melibatkan ahli lingkungan, geologi, dan pemangku kepentingan lain untuk merumuskan penyebab bencana banjir, dan longsor.

Tim yang dibentuk, katanya, akan merumuskan rencana jangka panjang penanganan lingkungan rusak karena alih fungsi lahan, baik investasi pertambangan, perkebunan maupun perambahan hutan lindung.

Alur sungai, muara sungai dan sekitar muara sungai yang mengalami sendimentasi hingga sungai tak mampu menampung air yang mengalir dari hulu, katanya, mesti jadi obyek kajian menarik para ahli.

Meskipun begitu, Ali Mazi, Gubernur Sultra, masih belum mau mengaku kala bencana banjir terpicu kerusakan lingkungan atau kerusakan hutan. Kepada Mongabay, dia mengatakan tambang dan kebun sawit bukan penyebab banjir.

Katanya, belum ada kajian akademis yang menyebutkan bencana banjir karena bisis tambang, tebu dan sawit. Diapun tak mau terburu-buru menyimpulkan penyebab banjir.

“Harus ada kajian dulu. Maka kami bentuk tim dari semua pihak, ahli lingkungan untuk mengetahui penyebab banjir ini,” katanya.

Ali mengajak semua pihak bersatu memulihkan daerah Konawe Utara, pascabanjir bandang dan bukan saling menyalahkan.

Menurut dia, banjir bukan karena aktivitas pertambangan, tetapi kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa.

“Untuk penyebab banjir di Konawe Utara, kita jangan sembarang berspekulasi, perlu kajian ilmiah. Jangan kemudian kita langsung beranggapan, penyebab banjir ini aktivitas tambang.”

Senada Ali, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, juga mengeluarkan, rilis banjir di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, bukan karena tambang dan perkebunan. KLHK beralasan, dua pengguna lahan itu tak sampai 5% dari luas area tangkapan air.

Walhi mematahkan pandangan ini. Sejak awal, Walhi sudah mengingatkan, kerusakan lingkungan Sultra. Walhi, sudah prediksi daerah ini bakal dilanda banjir, tak hanya karena curah hujan tetapi hutan sudah terbagi-bagi dalam kuasa bisnis ekstraktif.

Benar saja, laman sosial media Kendari dipenuhi dengan kabar duka bahwa Konawe Utara banjir, menyusul Konawe.

Dia merasa aneh kala seorang gubernur tak mengenali tanda-tanda lingkungan di daerahnya sendiri.

Yusnani, praktisi lingkungan Sultra, menyebutkan, banjir tahun ini harus jadi pelajaran penting bagi pemerintah sebagai pengendali teknis bisnis ekstraktif.

Pemerintah, katanya, harus tegas dalam mengarahkan pengusaha tambang dan perkebunan agar menjalankan rekomendasi teknis dalam izin lingkungan.

“Bukan sekadar izin dan keperluan dokumen. Tetapi apa yang diarahkan oleh penyusun amdal (analisis mengenai dampak lingkungan-red) harus dijalankan dengan baik. Hingga kita mencapai berbisnis baik dan benar,” katanya kepada Mongabay.

Selama ini, katanya, pelaku usaha banyak tak patuh pada kewajiban baik pada izin-izin maupun ketentuan teknis lain serta regulasi yang spesifik mengatur cara-cara agar tak merusak lingkungan.

Untuk itu, katanya, pemerintah sebagai pengawas harus benar-benar tegas. “Kalau kita lihat kasat mata, timbul pertanyaan, adakah pengawasan dan pembinaan? Pemerintah tegas atau tidak?”

Perempuan yang aktif dalam tim penyusun amdal ini menerangkan, secara kasat mata, tambang di Konawe Utara, tak menjalankan rekomendasi teknis dalam dokumen amdal dan izin linkungan. Jadi, katanya, tak heran kalau lingkungan jadi rusak dan alami bencana.

 

Keterangan foto utama:  Daerah terdampak banjir di Konawe Utara. Foto: BPNB

 

Bantuan bagi korban banjir Sulawesi Tenggara. Foto: BNPB

 

 

 

Exit mobile version