Mongabay.co.id

Belasan Perusahaan Kayu Lepas Lahan Berkonflik

 

 

 

 

 

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan, sekitar 13 perusahaan kayu berkontribusi dalam penyelesaian konflik agraria. Perusahaan-perusahaan ini meminta atau mengajukan adendum (perubahan) kepada pemerintah untuk mengurangi konsesi mereka yang berkonflik dengan masyarakat.

”Sudah ada 13 perusahaan meminta addendum (izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu-red) untuk mengurangi kawasan untuk diserahkan kepada masyarakat,” kata Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Lahan perusahaan berkonflik itu, diserahkan kepada pemerintah, yang akan diberikan buat masyarakat.

Baca juga:   Kado Hari Tani 2018: Presiden Tandatangani Perpres Reforma Agraria

Ketigabelas perusahaan itu tersebar di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, dan Bangka Belitung dengan luasan 50.461 hektar. Luasan konsesi 13 perusahaan dari 1.119.419 hektar jadi 1.0521.190 hektar.

”Konflik-konflik ini sebenarnya kurang sehat untuk dunia usaha. Karena itu, atas inisiatif mereka mengurangi area konflik dan meminta KLHK adendum atau pengurangan luas (konsesi-red),” katanya.

Sedangkan perubahan tata batas kawasan hutan berdasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 44/2004 tentang perencanaan kehutanan dan aturan turunan. Selanjutnya, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 88/2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan akan mengatur pelesapan kawasan melalui tanah obyek reforma agraria dan tukar menukar kawasan hutan.

 

 

KLHK, telah menerima laporan 320 konflik agraria di kawasan hutan, 201 kasus dari Sumatera, 53 di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara, 47 kasus di Kalimantan, 13 kasus di Sulawesi, dan Maluku dan Papua (16).

Perusahaan-perusahaan itu antara lain anak usaha Sinar Mas. Elim Sritaba, Direktur Sustainability & Stakeholder Engagement Asia Pulp and Paper (APP) Sinar Mas mengatakan, langkah adendum ini mencerminkan upaya dan dukungan penuh APP Sinar Mas dalam program tanah obyek reforma agraria (Tora) yang tengah dicanangkan Pemerintah Indonesia.

Baca juga:   Mengupas Borok Agraria, Akankah Temukan Obatnya?

Dia memastikan, langkah pengurangan wilayah konsesi ini tak berpengaruh terhadap kinerja produksi. Ketika perusahaan mendapatkan konsesi dari pemerintah, katanya, terkadang sebagian dari wilayah sudah ditempati masyarakat setempat.

“Inilah salah satu faktor yang mendasari muncul konflik lahan, berupa ketidakpastian tata batas dan bukan bentrokan di lapangan, dalam wilayah konsesi,” katanya.

Wilayah yang keluar dari konsesi ini, katanya, akan diberikan kepada masyarakat yang memang berdiam di sana. Artinya, tak ada aktivitas produksi dapat dilakukan daerah itu.

Baca juga: Kementerian Agraria Mulai Distribusikan Lahan Bekas HGU

Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaharuan Agraria mengatakan, upaya sukarela perusahaan melepas konsesi tanpa harus dipaksa jadi terobosan dalam pendistribusian obyek reforma agraria.

”Seharusnya ini dilakukan sejak awal karena target 4,1 juta dri 9 juta dari pelepasan kawasan hutan atau perubahan tata bawas kawasan hutan kemudian dialokasikan kepada masayrakat,” katanya, katanya seraya bilang, perusahaan lain pun yang berkonflik dengan petani maupun masyarakat adat mesti segera melepaskan lahan.

 

Hamparan konsensi PT BMH yang terbakar yang diminta dijadikan cagar budaya Sriwijaya. Foto Taufik Wijaya/ Mongabay Indonesia

 

Aksi lanjutan

Dewi mengatakan, kalau tak ada upaya sukarela dari perusahaan dalam melepaskan areal berkonflik, target reforma agraria sulit tercapai. Dia menunggu, upaya serius pemerintah menyelesaikan konflik-konflik lahan yang lain.

Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria (TPPKA) Kantor Staf Presiden, telah menerima laporan konflik agraria 666 kasus, luasan 1.457.084 hektar melibatkan 176.132 keluarga. Dari 666 kasus, ada 413 ada informasi pendukung cukup hingga bisa ditindaklanjuti, 167 kasus selesai jangka pendek, 92 kasus jangka menengah, dan 154 kasus jangka panjang. Sedangkan, 253 kasus belum memiliki informasi pendukung lengkap hingga belum ditindaklanjuti.

KPA pun sedang menyesuaikan penyelesaian konflik itu apakah ada sesuai usulan 444 lokasi lokasi prioritas reforma agraria (LPRA) dari masyarakat tingkat bawah. ”Sejauh ini yang masuk lokasi dalam skema KSP dan segera diselesaikan, di Pemalang, Bogor, Banjarnegara.”

Bulan ini, kata Dewi, pemerintah hendak mengeksekusi eks lahan hak guna usaha (HGU) PT Mackenzie di Pemalang, Jawa Tengah, yang sudah kadaluarsa seluas 150 hektar. Lahan itu sudah jadi tambak bandeng, sawah, dan pemukiman masyarakat.

Sama dengan lahan di Banjarnegara, eks lahan PT Pakis Haji Banyumas yang sudah kadaluarsa, luas mencapai 79,3 hektar. Secara fisik, katanya, penguasaan dan penggunaan lahan oleh masyarakat. ”Di Bogor juga eks HGU swasta. Kami sedang menunggu eksekusi bulan ini,” katanya.

Dari 666 kasus akan diselesaikan melalui TPPKA. Dewi pesimis karena di lapangan seringkali tak sinergi antara pemerintah daerah dan pusat.

”Perlu terobosan politik, pada tingkatan menteri untuk mempercepat itu. Selama ini, yang menghambat lintas menteri.”

Dari 444 usulan LPRA, 103 konflik erat kaitan dengan perusahaan kehutanan negara, seperti PTPN maupun Perhutani.

Dewi bilang, kesadaran Kementerian BUMN dalam menyelesaikan konflik agraria sangat rendah dibandingkan perusahaan perkebunan swasta.

Adiosyafri, DIrektur Riset dan Kampanye Hutan Kita Institute yang mendampingi masyarakat di area konflik dengan PT Bumi Mekar Hijau (BMH) menyebutkan, inisiatif adendum dengan pengurangan luasan izin perusahaan hutan tanaman ini bagus.

”Ini sangat memungkinkan sebagai implementasi kebijakan Perpres Nomor 88/2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan.”

Meski demikian, masih belum mengetahui lokasi pasti usulan lahan dalam adendum BMH seluas 2.723 hektar. ”Ini hal baik untuk memberikan kepastian bagi para pihak dalam penguasaan tanah dan resolusi konflik tanah di kawasan hutan di Sumatera Selatan,” katanya.

Okto Yugo Setiyo, Wakil Koordinator Jikalahari meminta, proses pengurangan konsesi ini terbuka dengan melibatkan multi stakeholder, seperti masyarakat, lembaga adat dan lembaga swadaya masyarakat. “Wilayah mana yang akan dikeluarkan dari konsesi. Jangan sampai yang dikeluarkan malah punya cukong.”

Di Riau, katanya, banyak perusahaan berkonflik karena mencaplok lahan masyarakat. Sayangnya, perusahaan itu tak masuk dalam 13 yang mengajukan adendum kepada pemerintah.

”Banyak perusahaan berkonflik dan intensitas lebih tinggi tetapi tidak masuk dalam list perusahaan itu, bahkan konflik lebuh parah.”

Dia contohkan, konflik masyarakat Sakai dengan PT Arara Abadi di Bengkalis, dan PT Rimba Lazuardi di Indragiri Hulu.

 

Aksi warga Pungkat di Kantor Bupati, protes PT SAL. Konflik lahan antara masyarakat dan perusahaan masih banyak terjadi di Riau, dan berbagai daerah serta perlu penyelesaian. Foto: dokumen warga

 

Exit mobile version