Mongabay.co.id

Curug Dago, Jejak Keindahan Bandung Tempo Dulu

 

 

Mendung usai memayungi Kota Bandung, Jawa Barat. Sore itu, Elma Merdiana memulai tariannya. Tubuh lentur gadis 22 tahun tersebut, larut dalam alunan gamelan Sunda berpadu gemuruh air terjun.

Di tepian kota yang masih menyisakan keheningan, ia bertutur lewat gerakan. Tariannya seolah memberi tanda, alam dan manusia harus hidup berdampingan.

“Tarian ini menggambarkan keselarasan makrokosmos dan mikrokosmos. Mengingatkan harmonisasi manusia dan alam,” kata Gatot Gunawan [27], penggagas tarian di Curug Dago, Kota Bandung, Rabu [19/6/2019].

Ini kali ke lima tarian diadakan. Tujuannya, memperingati kunjungan Raja Thailand Chulalongkorn II ke Curug Dago, 123 tahun silam, pada 19 Juni 1896.

Namun, bukan itu saja tujuan digelarnya tarian tak berjudul. Gatot menaruh perhatian pada Curug Dago yang muram. Ia ingin menggugah kesadaran masyarakat, merawat lingkungan melalui tarian. Sebagaimana tersirat dalam lekuk gerakan yang memiliki makna keselarasan.

Baca: Menabung Sampah Agar Tidak Menggunung di Cikapundung

 

Curug Dago adalah jejak keindahan Bandung masa lalu. Abad ke-20, air terjun setinggi 15 meter ini terkenal akan keindahannya. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Curug Dago adalah jejak keindahan Bandung pada zaman Hindia Belanda. Abad ke-20, air terjun setinggi 15 meter ini kesohor akan kemolekan alamnya. Sebanding dengan indahnya nama Kota Kembang yang sedang mekar-mekarnya kala itu.

Dalam buku A Diary of The Last Journey to Java in 1901, dituliskan Raja Siam [Thailand] Chulalongkorn II atau Rama V datang dua kali ke Curug Dago. Kunjungan pertamanya tahun 1896. Selang lima tahun, ia datang kembali.

Baca: Kawasan Cekungan Bandung Terpuruk, Akibat Rencana Pembangunan Buruk?

 

Curug Dago merupakan warisan alam yang terbentuk dari aliran lava letusan Gunung Tangkuban Perahu. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Pesona Curug Dago meluluhkan hati sang raja. Sehingga, pada kunjungan keduanya dia menorehkan tanda tangan di guratan batu. Bertulis huruf Siam sebagai jejak. Batu itu sebagai prasasti.

“Terkadang, tak sembarang tempat ada prasasti. Saya pikir curug ini begitu indah sebelum banyak kerusakan yang terjadi hari ini,” ucap Gatot.

Baca juga: Perlahan, Air Bersih Menjauhi Masyarakat Bandung

 

Pesona Curug Dago menarik Raja Siam [Thailand] Chulalongkorn II atau Rama V datang berkunjung, dua kali, 1896 dan lima tahun berselang. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Prasasti ini juga menjadi agenda napak tilas sang cucu, Raja Rama VII, ke Curug Dago, 27 tahun kemudian. Hingga batu prasasti menjadi dua.

Kedatangan Rama V dapat dikatakan luar biasa. Ia adalah Raja terkenal. Wawasan serta pikirannya maju. Julukannya bapak moderenisasi Siam karena kegemarannya berpetualang menjelajah luar negeri, belajar beragam kebudayaan dan kemajuan teknologi. Bandung kala itu masih menjadi bagian Hindia Belanda, satu negara yang dikunjungi dalam lawatan kenegaraannya dan ke beberapa negara Eropa.

“Karena keistimewaan itu kami memperingati kunjungan Raja Siam ke Curug Dago sebagai sejarah perkembangan Bandung,” papar Gatot.

 

Curug Dago yang dulunya dikenal akan keindahan alamnya. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Warisan alam

Curug Dago merupakan warisan alam yang terbentuk dari aliran lava letusan Gunung Tangkuban Perahu pada 125 ribu dan 48 ribu tahun silam. Curug ini juga punya nilai penting bagi ahli geologi, bersama Curug Omas Maribaya, Curug Lalay, Curug Panganten Cimahi dan Curug Cindulang. Fokusnya sama, menyibak geologi Cekungan Bandung.

Dalam Buku Bandung Purba yang ditulis Anggota Masyarakat Geografi Indonesia, T. Bachtiar dan Dewi Syafriani menyebutkan, berdekatan dengan Curug Dago terdapat kaldera bekas letusan Gunung Sunda. Bekas letusan gunung api purba itu menjadikan Curug Dago dan sekitar sebagai sumber air bagi kawasan hilir Bandung. Lokasi curug di Desa Dago, Kecamatan Coblong, ini masuk dalam kawasan Taman Hutan Raya Ir. H Djuanda.

Curug yang berada pada alur Sungai Cikapundung ini, kini tak lepas dari masalah pencemaran. Berdasarkan penelitian Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah Jawa Barat [2007], dari 30 sampel air sumur warga di tepian Cikapundung, 75 persen tercemar bakteri Escherichia coli [E-coli]. Begitu juga catatan Balai Tahura, kadar keasaman air Sungai Cikapundung bisa mencapai kisaran pH 4.

Masalah bertambah ketika sampah dan limbah ikut mencemari air sungai. Ceuceu [50], juru pelihara Prasasti Curug Dago, masih ingat betapa nikmatnya mandi di Sungai Cikapundung pagi hari, tahun 70-an. “Kini, kisah itu hanya kenangan. Begitu juga dengan wisatanya, lambat laun juga mungkin ditinggalkan,” ujarnya.

 

Sejumlah anak bermain dan menari di Sungai Cikapundung, Jalan Baraga, Kecamatan Sumur Bandung, Kota Bandung, belum lama ini. Kegiatan ini bertujuan mengenalkan budaya Sunda sekaligus edukasi pentingnya menjaga air. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Kembalikan budaya

Kegusaran akan kondisi Sungai Cikapundung dirasakan pula Mas Nanu Munajar Dahlan [60]. Penggerak Budaya Sunda di Kota Bandung ini acapkali menggelar tradisi seni kaulinan baheula [permainan zaman dulu] untuk anak-anak.

“Saya sengaja mengajak dan mendidik mereka agar mengenal budaya berikut muatan lokalnya. Budaya kita erat kaitannya dengan sesama dan alam. Ini bentuk penyadartahuan sekaligus melestarikan kembali nilai-nilai yang hilang di masyarakat kita,” katanya.

Beberapa waktu lalu, Nanu mengajak anak-anak bermain dan menari di Sungai Cikapundung, yang membelah kawasan Bandung Utara dan Selatan ini. Melalui kesenian yang digagasnya, dia menyisipkan pesan moral berupa adi luhung ajaran leluhur.

 

Mengajarkan merawat alam dan sumber air harus diajarkan pada anak sejak dini. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Seperti halnya yang dilakukan masyarakat kampung adat Baduy di Banten, Ciptagelar di Sukabumi, serta Suku Naga di Tasikmalaya, Nanu ingin menanamkan kesadaran merawat alam. Khususnya, pemuliaan terhadap air.

Mengingat, menjaga hulu wotan [sumber air] maupun sungai sama dengan merawat kehidupan. Nanu meyakini, kearifan budaya menjadi solusi alternatif. Dia berpendapat, kerusakan alam berawal dari kemunduran budaya.

“Bandung yang dulu ternama sebagai Paris van Java, serta tersohor oleh Sungai Cikapundung berikut Curug Dagonya, kini tertatih-tatih menjalani nasibnya,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version