Mongabay.co.id

Penataan Kawasan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Terus Dikebut

 

Perencanaan tata ruang laut dan implementasinya hingga saat ini masih terus dilakukan oleh Indonesia melalui pengembangan yang dilaksanakan di tingkat daerah hingga nasional. Pengembangan yang dipimpin langsung Pemerintah Indonesia itu, bertujuan untuk menata ulang kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil (P3K).

Salah satu upaya untuk mempercepat pengembangan tersebut, adalah dengan menggelar simposium nasional tentang Implementasi Rencana Tata Ruang Laut (RTRL) yang dilaksanakan pada pekan lalu di Jakarta. Acara tersebut, membahas enam tema utama yang menjadi isu permasalahan pada penataan kawasan P3K selama ini.

Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Brahmantya Satyamurti Poerwadi menjelaskan, enam tema utama yang dibahas pada simposium di Jakarta, Senin (24/7/2019), adalah bagaimana tantangan implementasi, implementasi dan masyarakat adat, dukungan implementasi, perizinan, penegakan, dan pemantauan kolaboratif serta evaluasi.

“Perencanaan tata ruang luat dalam pengelolaan wilayah laut Indonesia dan sumber daya adalah hal yang penting,” ungkapnya.

baca : Ruang Hidup Masyarakat Pesisir Dirampas oleh Perda RZWP3K?

 

Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Brahmantya Satyamurti Poerwadi menjelaskan perencanaan tata ruang laut dan implementasinya untuk menata ulang kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil (P3K). Foto : USAID SEA/Mongabay Indonesia

 

Brahmantya mengatakan, salah satu masalah penting yang perlu ditangani oleh Indonesia sebagai negara kepulauan, adalah bagaimana mengembangkan dan mengelola sumber daya laut secara berkelanjutan, mencakup di dalamnya adalah ekonomi, lingkungan, dan juga sosial. Tetapi, dalam praktiknya, ketiga pilar tersebut sering sekali berkonflik dan berakhir tidak seimbang.

Dalam pandangan Brahmantya, untuk mencapai tujuan tiga pilar di atas, perlu dilakukan perencanaan tata ruang laut dengan mengacu pada proses pengalokasian beberapa aktivitas manusia ke dalam ruang laut. Menurut dia, manajemen sumber daya perairan (MSP) hingga saat ini masih dinilai sebagai alat yang efektif untuk meminimalkan konflik di antara pengguna sumber daya.

“Dan kemudian membawa pengelolaan laut yang lebih efektif,” tuturnya.

Bentuk lain dalam mempercepat pengembangan RTRL di Indonesia, menurut Brahmantya, adalah percepatan penyusunan dan penetapan rancangan peraturan daerah (Raperda) rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K). Hingga saat ini, sudah ada 21 provinsi dari total 34 provinsi yang sudah melengkapi dan mengesahkan dokumen RZWP3K menjadi peraturan daerah (Perda).

baca juga : Nasib Masyarakat Pesisir di Mata Negara

 

Aktivitas di tempat pelelangan ikan Beba Galesong Utara, Takalar. Diperkirakan 20 ribuan nelayan yang berprofesi sebagai nelayan di sepanjang pesisir Takalar dan menjual ikannya di TPI ini. sejumlah nelayan mengeluhkan mulai adanya penurunan tangkapan ikan sejak adanya penambangan pasir di perairan mereka. Foto Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Tantangan Penataan

Selain itu, Brahmantya menyebutkan, ada juga provinsi yang sudah melengkapi dan mengesahkan tiga dokumen RTRL untuk kawasan strategis nasional yang khusus untuk dijadikan peraturan menteri kelautan dan perikanan. Kemajuan tersebut, menjadi penanda bahwa Indonesia serius dalam menata ulang dan mengembangkan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecilnya.

“Meskipun target pengembangan rencana tata ruang laut di Indonesia cukup ambisius, ada beberapa tantangan dalam prosesnya,” ujarnya.

Lebih lanjut Brahmantya menuturkan, untuk mengatasi tantangan pengembangan RTRL, di masa yang akan datang harus ada pencarian solusi yang tepat dan bijak. Dengan demikian, perencanaan tata ruang laut di Indonesia tidak hanya bisa mencapai jumlah peraturan yang ditetapkan saja, melainkan juga bisa menghasilkan dokumen perencanaan berkualitas yang tinggi. Semua dokumen yang dihasilkan tersebut, bisa menjadi referensi untuk pengelolaan dan pengembangan laut beserta sumber daya alam di dalamnya.

Brahmantya menjelaskan, dalam Undang-Undang No.27/2007 jo UU No.1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, disebutkan bahwa pemerintah daerah wajib menyusun RZWP3K sesuai dengan kewenangan masing-masing. Selain itu, dalam UU No.23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, pada pasal 14 disebutkan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, serta energi dan sumber daya mineral dibagi antara Pemerintah Pusat dan Provinsi.

“Dengan adanya pembagian kerja, maka kewenangan pengelolaan perairan untuk 0 sampai 12 mil dari bibir pantai, itu juga akan terkena dampaknya. Untuk bentang tersebut, pengelolaan dilaksanakan oleh pemerintah provinsi,” ucapnya.

Dengan adanya UU di atas, menurut, provinsi seluruh Indonesia wajib untuk menyusun RZWP3K dan menetapkannya menjadi perda. Perda tersebut, menjadi instrumen yang sangat penting, karena menjadi dasar izin lokasi dan izin pengelolaan untuk investasi kegiatan pembangunan di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil.

menarik dibaca : Masyarakat Pesisir Semakin Tersisih karena Tata Ruang Laut Nasional?

 

Sebuah kapal nelayan melintas di perairan Teluk Jakarta, Muara Angke, Jakarta Utara. Teluk Jakarta mengalami tekanan lingkungan yang tinggi, salah satunya karena proyek reklamasi. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Menurut Brahmantya, tanpa adanya instrumen arah ataupun pengaturan pemanfaatan sumber daya yang jelas di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, maka konflik pemanfaatan sumber daya akan terus terjadi dan harus dihadapi oleh masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Tak hanya itu, dampak negatif yang lebih luas juga mengancam kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil jika tidak dilakukan pengaturan dan pengelolaan wilayahnya.

“Degradasi kualitas lingkungan, ketidakpastian lokasi investasi, dan konflik antar pemangku kepentingan akan sulit untuk kita atasi,” jelasnya.

Selain amanat UU di atas, Brahmantya menyebutkan, dalam UU No.1/2014 pasal 16 ayat 1 juga dijelaskan bahwa pemanfaatan ruang dari sebagian perairan pesisir dan pulau-pulau kecil secara menetap wajib memiliki izin lokasi. Lalu, pada pasal17 dijelaskan bahwa izin lokasi sebagaimana dimaksud diberikan berdasarkan RZWP3K yang telah ditetapkan.

 

Pemulihan Laut

Selanjutnya,pada UU No.23/2014 tentang Pemerintahan Daerah pasal 14, disebutkan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, serta energi dan sumber daya mineral dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi dengan cakupan 0 sampai 12 mil laut. Ketetapan tersebut berimplikasi pada kewajiban pemerintah provinsi untuk menetapkan Perda RZWP3K.

Terakhir, kata Brahmantya, Peraturan Presiden No.16/2017 tentang Kebijakan Kelautan Indonesia Lampiran II menyebutkan bahwa pembangunan poros maritim meliputi 7 (tujuh) pilar, yang salah satunya adalah pengelolaan ruang laut dan perlindungan lingkungan laut.

perlu dibaca : Kawasan Strategis Nasional Harus Selaras dengan Perencanaan Laut, Kenapa?

 

Seorang nelayan dengan perahunya di perairan Pulau Siau, Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro (Sitaro), Sulawesi Utara. Foto : Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Sementara, Direktur Lingkungan United States Agency for International Development IUSAID) Indonesia Matthew Burton pada saat simposium mengatakan, sumber daya kelautan dan perikanan Indonesia selama ini dikenal banyak dan bahkan berlimpah. Namun, kekayaan tersebut kemudian dimanfaatkan secara berlebih oleh pihak tidak bertanggung jawab yang akhirnya menimbulkan konflik di antara penggunanya.

Menurut Matthew, konflik yang muncul tersebut dilatarbelakangi penggunaan sumber daya secara berlebihan dan tidak direncanakan, atau juga saat eksploitasi tersebut dilakukan di saat daya dukung wilayah sudah terlampaui. Untuk itu, agar persoalan seperti itu bisa diatasi dan tidak muncul di kemudian hari, solusi yang bisa diterapkan adalah dengan membuat zonasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Dorongan untuk melaksanakan zonasi, kata Matthew, sudah termaktub dalam UU No. 27/2007 Jo UU. No.1/ 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Dalam UU tersebut, Pemerintah Pusat mendorong Pemerintah Daerah untuk mengembangkan dan mengimplementasikan perda RZWP3K sebagai mekanisme pengelolaan darat dan laut.

Diketahui, KKP bersama dengan proyek lanjutan USAID Sustainable Ecosystems Advanced (SEA) ikut mengawal Provinsi Maluku Utara dan Maluku dalam melaksanakan finalisasi, pengesahan, dan pemberlakuan RZWP3K melalui Perda No.2/2018 di Maluku Utara dan Perda No.1/2018 di Maluku.

“Selain dua provinsi tersebut, dukungan penuh juga terus dialirkan untuk proses penyusunan raperda RZWP3K di Papua Barat dan saat ini hampir selesai prosesnya,” ungkap Matthew.

Selain itu, Matthew menambahkan, USAID SEA dan KKP saat ini juga sedang mengembangkan database geoportal laut yang disebut SEANODE dan berfungsi sebagai portal data spasial dan non-spasial untuk RTRL dan zonasi, dan juga memberikan informasi tentang kemajuan rencana tata ruang laut di Indonesia.

“Sistem SEANODE adalah platform resmi dari sistem geoportal perencanaan kelautan untuk mendukung One Map Policy Geoportal atau “Kebijakan Geoportal Satu Peta” yang telah disahkan oleh Presiden Indonesia Joko Widodo,” pungkasnya.

 

Exit mobile version