Mongabay.co.id

Mengajak Orang Kota Kenal Hutan

Sungai Utik dengan pepohonan hijau mengapitnya begitu dijaga oleh masyarakat Dayak Iban. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

 

 

 

 

 

 

“Jakarta makin panas saja!” keluh pemuda Aditya Agusta. Keringat membasahi tubuh. Sesaat setelah tiba di kamar kontrakan di Pasar Minggu, lelaki yang berprofesi sebagai master of ceremony ini langsung menekan tombol remot pendingin ruangan.

Kagak kuat deh kalau gak pakai AC (air conditioner-red),” katanya.

Akhir-akhir ini, katanya, cuaca Jakarta makin tak menentu. Panas dan udara makin kotor. Polusi asap kendaraan makin mengganggu aktivitas sehari-hari. Tak heran, dia mengaku tak kuat kalau harus beraktivitas siang hari di luar ruangan selama berjam-jam.

“Ini mungkin karena ruang terbuka hijau makin berkurang. Yang bertambah malah bangunan perkantoran, mal, dan apartemen. Harusnya, ruang terbuka hijau ditambah, pohon-pohon lebih dirawat, kalau bisa diperbanyak!” katanya.

Keluhan Aditya bukan tanpa alasan. Saat ini, ruang terbuka hijau di Jakarta, hanya 14,9%. Untuk situasi ideal, sebuah perkotaan seharusnya memiliki ruang terbuka hijau, minimal 30% dari total luas wilayah.

Dean Yuliandra Affandi, Peneliti World Resources Institute (WRI) dalam acara di Jakarta, Kamis (27/6/19) mengatakan, ruang terbuka hijau di perkotaan memiliki manfaat signifikan. Ia mampu menyerap polusi, air, penghasil oksigen sekaligus memberikan semacam tempat rekreasi bagi warga.

“Kalau ada hutan dalam kota, itu bisa menyerap karbon dioksida di udara sekaligus menyebarkan oksigen. Di Jakarta, paling simpel hutan di DAS Ciliwung sepanjang 120 kilometer dari Bogor hingga Jakarta seharusnya dijaga baik,” katanya.

Kalau hutan terjaga, seharusnya bisa menyerap air. Sayangnya, pembangunan ekonomi, banyak pabrik dan pemukiman, hingga hutan di DAS Ciliwung, tak lagi mampu menyerap air. “Akibatnya, banjir. Polusi juga makin parah,” kata Dean.

 

Wisatawan menikmati hutan mangrove di Pulau Mangare, Gresik, Jatim. Salah satu jenis tumbuhan mangrove itu adalah api-api (Avicennia sp.). Foto : Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Selama ini, katanya, kalau warga kota mendengar kata hutan, ingatan hanya satwa. Sebenarnya tidak begitu. Hutan itu banyak korelasi dengan kehidupan manusia.

“Tanaman itu tak bisa hanya dipandang sebagai tanaman yang berdiri sendiri. Juga ada manfaat kesehatan dan iklim.

“Iklim sudah tak stabil lagi. Cara paling efektif dan tak mengeluarkan dana banyak kita bisa menjaga hutan dan tumbuhan sekitar. Atau mengikuti program adopsi pohon.”

Data terbaru menunjukkan, deforestasi Indonesia turun 40% tetapi, katanya, tak lantas tak perlu melakukan apapun untuk melindungi hutan.

Mayoritas penduduk Indonesia, tinggal di perkotaan terutama di Jakarta. Makin banyak meninggalkan pedesaan, makin banyak pula terasing dari hutan. Meski begitu, seharusnya tak lantas meninggalkan hutan. Pepohonan di jalanan kota dan taman, katanya, tak hanya menaikkan nilai properti, juga menyediakan peneduh yang mengurangi biaya energi dan membantu menahan air setelah badai. Mereka juga baik untuk jiwa dan raga. Hutan kota membantu membersihkan polutan di udara, dan mengurangi penyakit pernapasan.

Sebuah penelitian di Toronto menyebut, setiap 10 pohon dalam satu blok kota, bisa meningkatkan kesehatan warga. Sekaligus membuat masyarakat sekitar tujuh tahun lebih muda. Tak heran, kalau kota-kota besar seperti Bogota, New York dan Singapur, investasi perlindungan daerah aliran sungai (DAS) berhutan. Kondisi ini, katanya, untuk memastikan pasokan air bersih dan sanitasi tetap terjaga. Daerah tangkapan hutan juga mengisi waduk bagi bendungan hidroelektrik yang jadi sumber energi lampu kota.

 

Perusahaan yang membuka kebun sawit dan berkonflik lahan dengan masyarakat adat Laman Kinipan di Kalteng. Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo

 

Kampanye menyenangkan

Kesadaran masyarakat perkotaan soal hutan boleh dibilang masih rendah. Kondisi inilah yang membuat organisasi nirlaba Hutan Itu Indonesia, kampanye penyadartahuan mengenai hutan bagi warga di perkotaan.

Cara yang mereka lakukan untuk menggalang kesadaran masyarakat perkotaan, dikemas sedemikian rupa hingga lebih menarik, seperti konser musik bertajuk “Muskika Foresta” yang menggandeng beberapa musisi ternama untuk menyanyikan lagu-lagu bertema hutan, kemah pemuda, hingga mengajak berwisata ke hutan.

Salah satu cara kampanye peduli hutan, dengan mengadakan gelaran “Kulari ke Hutan.” Ia ajakan lari bersama-sama. Menariknya, setiap jarak 5 kilometer siapapun peserta, akan dikonversi jadi satu pohon adopsi.

Rinawati Eko, Co-Founder Hutan Itu Indonesia mengatakan, gelaran ini sudah dua kali, pada 2016 dan 2017. Tahun ini, Kulari ke Hutan diselenggarakan Minggu, (30/6/19) di Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta dengan sekitar 600 peserta.

Selama dua kali acara, menghasilkan 2.211 pohon adopsi. Pohon-pohon itu tersebar di berbagai daerah seperti Jambi, Sumatera Barat, Gunung Palung (Kalimantan Barat) dan lain-lain. Untuk adopsi pohon, mereka bekerjasama dengan WWF Indonesia, KKI Warsi dan Yayasan Asri.

“Kita adopsi pohon, kita menjaga yang sudah tumbuh. Dijaga komunitas sekitar. Sampai kini, pohon-pohon adopsi dari Kulari ke Hutan, masih tumbuh baik,” kata Rina.

Dengan gelaran ini, dia berharap, warga Jakarta dan Indonesia, bisa mencintai hutan.

“Pelari kan suka tantangan. Lewat kegiatan ini, kita menantang mereka lari sejauh-jauhnya. Nanti, setiap jarak 5 kilometer, bisa adopsi satu pohon.”

“Kenapa kampanye peduli hutan melalui kegiatan lari? Karena lari itu sesuatu yang gampang dilakukan semua orang, mau anak-anak maupun dewasa. Bisa di jalan raya, lapangan, komplek perumahan dan lain-lain.”

Musisi muda, Kafin Sulthan, tertarik mengikuti kegiatan ini. Sebelumnya, dia pernah ke hutan di Danau Sentarum, Kalimantan Barat. Dari sana, dia mendapatkan banyak inspirasi membuat musik. Untuk Kulari Ke Hutan, dia targetkan bisa menempuh 10 kilometer.

 

Keterangan foto utama:  Sungai Utik dengan pepohonan hijau mengapitnya begitu dijaga oleh masyarakat Dayak Iban. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Exit mobile version