Mongabay.co.id

Cinta Rahim Asyik untuk Sungai Cikapundung

 

 

Sungai Cikapundung. Sungai sepanjang 28 kilometer yang melintasi Gedung Merdeka tempat berlangsungnya Konferensi Asia Afrika itu, kondisinya tak lebih baik dari 12 sungai di Kota Bandung. Kotor dan tercemar.

Padahal, Cikapundung memiliki sejarah erat perkembangan kota berjuluk Paris Van Java ini. Fungsinya juga vital sebagai sumber air baku PDAM Tirtawening, yang setiap hari dikonsumsi dua juta lebih warga Kota Bandung.

Rahim Asyik Budi Santoso [52], menaruh perhatian pada kondisi Cikapundung. Terlebih, sejak ia aktif bersama kelompok Cikapundung Rehabilitation Program [CRP], memetakan sekaligus mengevaluasi kualitas lingkungan di sana pada 2009.

Baca: Curug Dago, Jejak Keindahan Bandung Tempo Dulu

 

Instalasi pengolahan air limbah (IPAL) komunal yang mengolah limbah kotoran sapi dibangun Rahim Asik untuk menjernihkan air tersebut. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Semula, niatnya hanya ingin membeli sebidang tanah di hulu Cikapundung, untuk dijadikan penghijauan atau green belt. Langkah yang dilakukan Rahim memang masuk akal. Mengingat kala itu, tanah yang masuk Kawasan Bandung Utara [KBU] ini menjadi komoditas panas investor.

Banyak bukit dipapras, lembah ditimbun. Tujuannya, mendirikan resort yang perlahan memadati kawasan tersebut.

Betonisasinya membuat kawasan resapan air berkurang, situasi yang memicu banjir saat hujan dan kekeringan kala kemarau di Cekungan Bandung. Keberadaan bangunan-bangunan yang menjamur tak teratur di KBU, juga membawa dampak lingkungan yang tak baik.

Pada 2010, pegiat lingkungan yang pernah terlibat dalam program Citarum Terpadu ini memutuskan membeli tanah seluas satu setengah hektar, di kawasan Batuloceng, Desa Suntenjaya, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Di pinggiran Sungai Cikapundung.

“Ketika itu, saya berpikir paling tidak tanah yang dibeli bisa digunakan untuk penghijauan,” terang Kang Bohim, biasa dipanggil, beberapa waktu lalu.

Baca: Menabung Sampah Agar Tidak Menggunung di Cikapundung

 

Air limbah yang telah diolah dimaksudkan agar tidak mencemari lingkungan. Hasilnya jernih dan tidak bau. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Tak jauh dari tanah yang dibelinya, terdapat puluhan peternak sapi perah. Rahim bersama warga pun membincang pencemaran Cikapundung, mulai dari hulu. Kesimpulannya, warga tahu bahaya membuang limbah langsung ke sungai. Namun, mereka belum punya tempat pengolahan, menjadikan sesuatu yang berguna.

“Saya ingin bantu warga,” kata Rahim, mengisahkan awal kesertaannya dalam pengolahan limbah kotoran sapi di hulu Cikapundung.

Dia bersama warga membikin tempat instalasi pengolahan air limbah [IPAL] komunal kotoran sapi, pengkomposan, budidaya cacing, hingga menjaga hulu Cikapundung bebas pencemaran.

Baca: Kawasan Cekungan Bandung Terpuruk, Akibat Rencana Pembangunan Buruk?

 

Air yang telah diolah dari IPAL komunal itu dipastikan tidak mencemari lingkungan yang selanjutnya dialirkan ke Sungai Cikapundung. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Memberdayakan masyarakat

Deru mesin motor roda tiga pengangakut kotoran sapi menghela perbincangan kami. Sore itu, Cece Royadi [36] warga setempat, yang telah delapan tahun didampingi Rahim baru saja mengambil kotoran ternak dari kandang warga.

Kang, kumaha damang? [Kang, bagaimana sehat?],” kata Cece sembari bersalaman.

“Kehadiran Kang Rahim membuat kami lebih paham pentingnya menjaga Cikapundung,” ungkapnya.

Tiap hari Cece berkeliling. Kotoran yang diambil berasal dari puluhan peternak sapi.

 

Proses pengelolaan limbah ternak sapi di hulu Sungai Cikapundung Desa Sutenjaya, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, merupakan bentuk kepedulian menjaga lingkungan. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

IPAL Komunal yang mereka bangun susah payah itu digunakan untuk menyaring air seni dan air sisa pemandian sapi. Air kotor yang mengandung bakteri tersebut, disaring tiga tahapan sebelum dilimpahkan ke aliran Sungai Cikapundung.

IPAL ini sanggup menampung air hasil buangan 400 ekor sapi. Dalam sehari, rata-rata 1-2 kuintal diproduksi. Proses pengolahannya hingga menjadi pupuk siap pakai makan waktu sekitar satu bulan. Semuanya laku dijual.

“Kompos laku Rp15.000 per 3 kilogram. Kascing [pupuk organik kotoran cacing dikeringkan] yang ideal untuk pembibitan tanaman dihargai Rp25.000 per 3 kilogram. Sedangkan budidaya cacing, diminati industri obat dan kosmetik Rp20.000 per kilogram,” ujar dia. Kini, anggota Kelompok Tani Ternak Batuloceng mencapai 20 orang.

Selain pupuk, Kelompok Tani Ternak Batuloceng juga memproduksi batu bata dari lumpur bekas sapi. Dalam waktu dekat, mereka hendak memproduksi briket pengganti kayu bakar. Hasil pelbagai produk ini mendatangkan keuntungan ekonomi bagi para peternak.

 

Budidaya cacing juga dilakukan masyarakat setempat sebagai bentuk pemberdayaan ekonomi. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Hak lingkungan

Sampai pada titik ini, Rahim telah mengalokasikan tenaga dan waktu tak sedikit untuk membuka cakrawala pemahaman para peternak. Untungnya, ada Rupiah di balik limbah. Peluang ini cukup membuat banyak orang tertarik mengembangkan langkah serupa.

Tidak hanya warga setempat, masyarakat kampung tetangga di sekitar Batuloceng, seperti Gandok, Sukamanah, Cikapundung hingga Pasirangling ikut melakukan kreativitas yang sama.

Namun bagi Rahim, keuntungan ekonomi yang diperoleh dari aktivitas kontinyu bersama warga bukan tujuan utama. Dia tidak ingin mencari uang dari semua kegiatan ini. Baginya, tak elok mengambil untung dari alam yang sudah memberi kehidupan bagi manusia.

 

Budidaya cacing telah diminati industri obat dan kosmetik dengan harga Rp20.000 per kilogram. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Hal terpenting, menurut Rahim, adalah konsistensi perjuangan penegakkan hak-hak lingkungan yang telah menubuh bersama. “Dari kacamata saya bukan soal berapa uang yang didapat, tapi konsistensi masyarakat yang mau mengerjakannya,” ujarnya.

Senda dengan Rahim, Cece menuturkan pandangan serupa. Menurutnya, keuntungan ekonomi yang didapat para peternak belum sebanding dengan hasil usaha ternak sapi yang mereka jalani. Namun, semangat dan rasa cinta terhadap lingkungan di hulu Sungai Cikapundung yang tumbuh menjadi penawar segala lelah. “Kita hidup di alam, sudah sewajarnya kalau kita mah, mulang tarima ka alam [berterima kasih pada alam],” ujar Cece.

 

Gambaran kawasan Batuloceng, Desa Suntenjaya, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Pengolahan limbah cair

Rahim dan warga Batuloceng kini mengusahakan perlindungan air. Pengolahan limbah cair sasarannya. Kotoran 100 ekor sapi perah diolah jadi air lebih bersih. Metodenya menggunakan sistem kolam lumpur dan IPAL anaerob hasil kerja sama dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air. Di dalam kolam IPAL itu, ada bambu dan ijuk, media pertumbuhan bakteri yang membantu menetralkan kualitas air.

Hasil penyaringannya cukup memuaskan. Limbah jernih, tak berbau. Airnya lalu dialirkan ke Cikapundung. Rahim dan rekan-rekannya meyakini, metode ini solusi penyelamatan lingkungan.

 

Rahim Asyik Budi Santoso yang menaruh perhatian pada kondisi Cikapundung. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

“Persoalan finansial masih jadi hal krusial. Ongkos berbagai aktivitas para peternak memang harus diperhatikan, karena tidak ada yang sifatnya relawan tahunan. Jasa, orang yang bekerja, dan waktu yang dihabiskan harus diperhatikan,” ujarnya.

Terhadap berbagai hambatan, Rahim selalu optimis. Ada harapan besar, ketika ia bisa membantu menghidupkan ekonomi warga setempat. “Kesejahteraan hidup berawal dari lingkungan bersih. Semoga dapat menginspirasi banyak orang,” tegasnya.

 

 

Exit mobile version