Mongabay.co.id

Cuaca Dingin sampai Embun Es di Musim Kemarau, Fenomena Apa?

 

 

 

 

 

Minggu subuh (30/6/19), sekitar pukul 05.00, suhu di pemukiman Dieng Pass, Banjanegara, Jawa Tengah, sekitar 6 derajat celcius, hasil mengecek di kondisi cuaca via Google.

Kami menuju Komplek Candi Arjuna. Cuaca lebih dingin di sini. Wisatawan sudah ramai memenuhi tempat parkir mobil. Rumput di belakang mobil jadi memutih, berlapis embun es. Hamparan rumput di lapangan komplek candi pun membeku. Begitu pula daun-daun bunga liar yang ada di sana. Petani kentang tampak sibuk menyirami tanaman mereka agar tak mati terkena embun beku.

“Subuh ini minus tujuh,” kata Aryadi Darwanto, Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pengelola Obyek Wisata Dieng, Aryadi Darwanto, kepada Mongabay.

Dia bilang, embun beku mulai muncul Mei lalu. Sejak 17 Juni ini, setiap hari terjadi embun beku dengan suhu minus berfluktuasi, dari minus satu sampai minus sembilan.

Baca juga : Embun Beku Dieng Sudah Mulai Turun, Mungkinkah Skalanya Meluas Saat Puncak Kemarau?

 

Sebagian besar, rerumputan di lapangan, pada komplek Candi Arjuna itu menguning, sebagian masih bertahan, berwarna hijau dan memutih terlapisi embun yang membeku.

Cuaca lebih dingin dan embun beku di Dieng, datang lebih awal. Tahun sebelumnya, mulai Agustus, pada 2019 ini, Mei pun sudah mulai ada embun salju. Fenomena cuaca lebih dingin kala kemarau tak hanya di Dieng, juga terjadi di berbagai wilayah.

Yehezkiel Cyndo, pemuda 30 tahun yang tinggal di Yogyakarta ini sejak awal Juni merasakan suhu dingin tak biasa di Yogyakarta. ”Dingin Yogya, seperti di dataran tinggi di kaki gunung,” katanya. Dia membandingkan, suhu dingin bak kondisi biasa di Parakan, Wonosobo, Temanggung, yang terletak di kaki Gunung Sumbing dan Sindoro.

Baca juga : Embun Beku Bisa Terjadi Lagi di Dieng, Petani Kentang Rugi. Kenapa?

Dia menggigil saat bekendara pada malam hari, padahal biasa jarang pakai jaket. Suhu rendah, katanya, biasa dirasakan sejak pukul 19.00 hingga subuh, kira-kira 18 derajat celcius.

Senada dikatakan Fatimah Zahrah, warga Purwokerto. Sejak awal Juni lalu, dia merasa cuaca di Purwokerto, lebih dingin dari biasanya. Biasa, siang dan malam hari kepanasan, sekarang malah kedinginan. “Sejak ada hawa dingin ini, aku tidur pake selimut tebel,” katanya.

Saat ini, dia merasakan dingin tak hanya kala di luar rumah, juga di dalam rumah, bahkan dalam kamar kalau pintu terbuka. “Gak perlu keluar rumah sudah dingin.”

 

Embun membeku di Dieng, tepatnya di kawasan Candi Arjuna, pada Minggu, 30 Juni 2019, pagi, dengan suhu minus 7 derajat Celcius. Foto: Sapariah Saturi

 

Cuaca lebih dingin inipun, menyebabkan Fatimah, rentan terserang sakit seperti radang tenggorokan, demam dan lain-lain. “Jadi, banyak yang sakit, termasuk aku, karena sensitif hawa dingin. Sakitnya agak lama sembuh, misal udah agak mendingan, keluar [rumah], kena dingin, drop lagi,” katanya, seraya bilang hawa dingin sepanjang hari, dari pagi, siang, sore maupun malam.

Meskipun begitu, kata Fatimah, tak lantas mengurangi aktivitasnya di luar rumah. Dia dan keluarga, tetap beraktivitas seperti hiasa, hanya mengantisipasi dengan menggunakan pakaian atau jaket lebih tebal.

Sebelum fenomena hawa dingin, kata Fatimah, kalau pagi hari sampai pukul 9.00, cuaca masih nyaman buat berjemur. Saat ini, dari pagi matahari sudah terik tetapi cuaca dingin. “Belakangan ini, pagi, siang, matahari terik, tapi angin dingin. Ke kulit muka juga bikin kering.”

 

 

Fenomena apa?

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyatakan, fenomena ini tak hanya terjadi di Yogyakarta, mulai sebagian wilayah Jawa, hingga pelosok nusantara. Siang hari, dengan panas menyengat dan malam dengan udara dingin. Bahkan, cuaca ekstrem ini diprediksi hingga awal September.

Mulyono R. Prabowo, Deputi Bidang Meteorologi BMKG mengatakan, suhu dingin ini terjadi sebagai akibat dari aliran massa udara dingin dan kering dari Benua Australia, yang dikenal dengan aliran monsoon dingin Australia.

”Kondisi udara relatif dingin, terutama pada malam hari dapat dirasakan lebih signifikan di dataran tinggi atau pegunungan,” katanya. Terutama, suhu udara di sebagian wilayah Indonesia selatan ekuator, seperti, Jawa hingga Nusa Tenggara.

Secara Klimatologis, monsoon dingin Australia ini aktif pada periode Juni hingga Agustus. Tiga bulan itu, merupakan periode puncak kemarau. Dia bilang, fenomena ini rutin dan normal terjadi di musim kemarau.

Pada Juli tahun lalu, katanya, cuaca dingin hinggap di wilayah sama, seperti Yogyakarta (10-15 derajat Celcius); Nusa Tenggara Timur, Wamena dan Tretes, Jawa Timur (12-15 derajat Celcius); Dieng, sampai minus sembilan derajat Celcius dan terjadi embun es atau embun membeku). Bandung juga 16,4 derajat Celcius. Kini, Gunung Gede Pangrango juga alami embun es hingga tutup sementara untuk pendakian.

 

Wisatawan menikmati embun salju di Kawasan Candi Arjuna. Rerumputan pun mulai menguning terkena embun beku. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Pada musim kemarau, cuaca cerah dan atmosfer dengan tutupan awan sangat sedikit di wilayah itu hingga memaksimalkan pancaran panas bumi ke atmosfer pada malam hari, dan suhu permukaan bumi akan lebih rendah dan lebih dingin dari biasa.

Berbeda dengan musim penghujan atau peralihan, katanya, kandungan uap air di atmosfer cukup banyak karena banyak pertumbuhan awan. Hingga, atmosfer jadi semacam “reservoir panas” dan suhu udara permukaan bumi lebih hangat.

Pada musim kemarau bulan ini, BMKG mencatat suhu udara lebih rendah dari 15 derajat Celcius tercatat di beberapa wilayah seperti di Frans Sales Lega (NTT) dan Tretes (Pasuruan). Suhu udara rendah terukur di Frans Sales Lega (NTT) hingga 9.2 derajat Celcius pada 15 Juni 2019.

“Kondisi suhu dingin akan lebih terasa dampaknya seperti di dataran tinggi Dieng (Jawa Tengah) ataupun daerah pegunungan lain, di mana kondisi ekstrem dapat menyebabkan terbentuknya embun beku atau frost.”

BMKG pun mengimbau, masyarakat waspada potensi peningkatan penyakit pernapasan karena virus atau bakteri, kulit dan bibir jadi kering. Juga mimisan dan paparan udara dingin terus berlangsung akan terjadi penurunan suhu tubuh (hipotermia).

 

Embun beku datang lebih awal di Dieng. Kalau tahun lalu, mulai Agustus, pada 2019, sejak Mei sudah muncul embun salju. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

 

Dampak perubahan iklim

Dodo Gunawan, Kepala Pusat Informasi Iklim BMKG mengatakan, periode Juli-September, sebagian besar wilayah memiliki curah hujan rendah dengan rata-rata di bawah nol, seperti beberapa wilayah di Jawa Timur, sudah 60 hari tanpa hujan sejak awal Juni.

Dia bilang, kondisi iklim kemarau di Jawa Timur, sudah parah, sama seperti Jawa Tengah, 30 hari tanpa hujan.

”Menandakan dampak perubahan iklim, di mana rentang ekstrem makin besar. Panas sekali pada suang hari dan dingin malam hari,” katanya.

Kondisi ini, katanya, dampak dari suhu melebihi keadaan biasa. Ia proses radiasi balik panas bumi ke angkasa yang tak terhalang awan karena awan sedikit di musim kemarau. Awan sedikit ini, katanya, terjadi karena tahun ini diperngaruhi El-Nino, meski level masih kecil.

”Tahun ini, puncak kemarau lebih parah dibandingkan 2018. Ya, karena ada El Nino. Tahun lalu, El Nino tidak tak muncul.”

Untuk itu, katanya, perlu mengantisipasi dampak El-Nino, seperti di Sumatera, sudah memasuki kemarau meski belum ada tanda titik kebakaran hutan dan lahan dan kekeringan di wilayah lain seperti Jawa dan NTT.

 

Suhu di Kawasan Candi Arjuna, Dieng, Jawa Tengah, minus tujuh derakat Celcius, pada 30 Juni 2019. Foto: Indra

 

 

Potensi kekeringan

Berdasarkan hasil pemantauan curah hujan sejak 20 Juni 2019, perkiraan perluang curah hujan sangat rendah, kurang dari 20 mm dalam 10 hari. Dengan begitu, terjadi hari tanpa hujan secara berturut-turutan pada beberapa wilayah terdampak potensi kekeringan meteorologis dengan status siaga hingga awas.

Herizal, Deputi Bidang Klimatologi, BMKG, mengatakan, berdasarkan luasan, 35% wilayah Indonesia memasuki musim kemarau dan wilayah lain masih penghujan. Seperti, pesisir utara dan timur Aceh, Sumatera Utara bagian utara, Sumatera bagian selatan, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB). Juga, NTT, Kalimantan bagian tenggara, pesisir barat Sulawesi Selatan, pesisir utara Sulawesi Utara, pesisir dalam perairan Sulawesi Tengah, sebagian Maluku dan Papua, bagian selatan.

”Sedangkan untuk status awas, yang mengalami hari tanpa hujan lebih 61 hari dan prospek memiliki peluang hujan rendah kurang 20 mm per dasarian pada 20 hari dengan prediksi diatas 80%.”

Juga, sebagian besar Yogyakarta, Jawa Timur, (Sampang dan Malang), NTT, Jawa Barat (Indramayu), dan Bali (Buleleng). Untuk status siaga dengan hari tanpa hujan lebih 31 hari dengan peluang curah hujan rendah, antara lain, Jakarta Utara, Banten (Lebak dan Tangerang), NTT, dan sebagian besar Jawa Tengah.

BMKG mengimbau, masyarakat waspada dan berhati-hati terhadap kekeringan yang bisa berdampak pada sektor pertanian dengan sistem tadah hujan, pengurangan ketersediaan air tanah (kelangkaan air bersih), dan peningkatan potensi kebakaran.

 

Tanaman berlapis embun beku di Dieng, Jawa Tengah, pada 30 Juni 2019. Embun beku di Dieng, datang lebih awal dari tahun sebelumnya. Kalau 2018, embun es mulai Agustus, tahun ini pada Mei sudah ada embun salju. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version