Mongabay.co.id

Perdagangan Hiu : Ambiguitas Perlindungan di Indonesia (1)

Salah satu penjual hiu menunggu pembeli di TPI Brondong, Lamongan, Jawa Timur. Hampir setiap hari ada aktifitas jual beli hiu di TPI yang berada di pesisir Lamongan tersebut. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Juni 2013, dua maskapai penerbangan asal Korea Selatan (Korsel); Korean Air dan Asiana, ogah mengangkut produk sirip hiu di pesawatnya.

Korean Air telah bergabung dalam kampanye melindungi ekologi dan secara total menolak membawa sirip hiu dalam penerbangannya,” demikian pernyataan Korean Air, seperti dikutip The Sydney Morning Herald (SMH).

“Maskapai kami (Asiana) juga tidak lagi membawa sirip hiu,” kata juru bicara Asiana.

4 bulan kemudian, maskapai penerbangan nasional, Garuda Indonesia juga tak lagi angkut sirip hiu dengan armada mereka. Kebijakan itu rupanya sama dengan Korean Air dan Asiana.

“Ini merupakan wujud dari komitmen Garuda Indonesia untuk mendukung kampanye antiperdagangan hiu,” kata Direktur Utama Garuda Indonesia Emirsyah Satar, dilansir Mongabay.co.id.

Di tahun-tahun sebelumnya, Garuda Indonesia membantu rantai dagang hiu tetap tumbuh lewat jasa kargonya. Per tahun, Garuda menerbangkan 36 ton sirip hiu ke berbagai tujuan.

Negara asal kultur K-Pop itu, jadi salah satu tujuan ekspor produk ikan bertulang rawan ini (elasmobranchii). Di sana, banyak restoran Cina menyajikan semangkuk sup hisit atau olahan hiu lainnya.

Hidangan sup hisit itu berasal dari mana saja, termasuk dari jeripayah Linus (42), nelayan penangkap hiu di Pulau Ambo, Kecamatan Kepulauan Bala-balakang, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat (Sulbar).

baca : Mematahkan Mitos Menu Hiu Pembawa Kemakmuran Saat Imlek

 

Hiu Martil hasil tangkapan bycatch nelayan yang didaratkan di TPI Paotere Makassar, Sulsel. Foto : BPSL Makassar/Mongabay Indonesia

 

Indonesia, masuk kawasan Coral Triangle, kawasan dengan tingkat keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia. Dengan potensi ini pula, Indonesia jadi tempat subur bagi industri hiu.

International Union for Conservation of Nature (IUCN) menduga ada 127 jenis hiu yang hidup di perairan Indonesia. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) hanya menyebut 114 jenis, tertinggi dari beberapa negara asia lainnya. Namun, hingga 2018, 220 spesies hiu telah teridentifikasi hidup di perairan Indonesia (Fami dan Ebert).

Dengan keanekaragaman itu, spot penangkapan hiu bermunculan. Satu di antaranya di perairan Selat Makassar—Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP 713).

Di Selat Makassar, banyak pula nelayan yang memanfaatkan potensi ini, baik nelayan umum (bycatch) maupun nelayan yang khusus tangkap hiu (bytarget). Umumnya, hiu yang didaratkan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Paotere Makassar, adalah hasil tangkap bycatch.

baca juga : Bagaimana Cara Hentikan Eksploitasi Hiu dan Pari di Indonesia?

 

Tumpukan hiu tangkapan bycath nelayan di mesin freezer pengumpul lokal TPI Paotere Makassar, Sulsel. Foto : Agus Mawan/Mongabay Indonesia

 

Saat saya ke TPI Paoetere, seorang enumerator Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL) Makassar, Andi Annisar Dzati Iffah (22) mengatakan, per hari ada kisaran 60 ekor didaratkan.

Kurun tahun 2018, 382 ekor telah didaratkan di TPI Paotere, turun dari sebelumnya yang mencapai 581 ekor di tahun 2015.

“Yang tangkap ini dari nelayan bycatch,” kata dia.

Di pulau Sulawesi, ada tiga daerah pendaratan hiu kata Annisar. Di antaranya, Gorontalo, Makassar Sulawesi Selatan (Sulsel), dan Pulau Ambo, Mamuju Sulbar.

Dari kota Makassar, saya ke Lamungan, sebuah kelurahan di kecamatan Malunda, Kabupaten Majene, Sulbar, ditemani Hamdana, enumerator BPSPL Makassar.

Di kampung yang menghadap titik koordinat jatuhnya pesawat Adam Air itu, saya bertemu dengan Linus, nelayan penangkap hiu di Pulau Ambo sejak tamat bangku Sekolah Dasar (SD).

“Saya masih bujangan sudah tangkap memang hiu. Saya punya istri tahun 2000. Lebih 20 tahun sudah saya tangkap hiu,” kata dia.

Di rumahnya, kami bercerita aktivitas penangkapan hiu. Dia bilang, profesi yang kini ia geluti hingga dikaruniai 4 anak merupakan sumber nafkah untuk keluarganya.

Ketika Bulan Ramadan, Linus dan nelayan lainnya menghabiskan waktu di rumah hingga musim tangkap.

“Iya, fokus puasa saja. Kalau itu habis lebaran lagi,” selanya.

perlu dibaca : Perdagangan Hiu Marak di TPI Brondong, Berikut Foto-fotonya

 

Linus (42), nelayan penangkap hiu Pulau Ambo, Majene, Sulawesi Barat. Foto : Agus Mawan/Mongabay Indonesia

 

Tahun 1997, titik awal Linus memburu hiu di perairan Pulau Ambo, setelah menadah tongkat estafet dari Ayahnya. Kini, dia mengoperasikan empat kapal miliknya dengan mempekerjakan enam awak per kapal.

Awal dan penghujung tahun jadi musim tangkap hiu. Kala Linus memburu, berbulan-bulan pula ia jauh dari rumah dan keluarga. Pulau Ambo adalah pulau terluar dari Kabupaten Mamuju, dengan waktu tempuh setengah hari dari rumah Linus.

Hari-harinya di Pulau Ambo, Linus hanya menangkap hiu. Jumlah tangkapannya bervariasi, kadang mencapai 28 ekor, kadang cuma 10, bahkan kadang tidak ada bila arus laut memburuk, “Arus ke arah selatan Pulau,” menurutnya.

“Dua kali ji dapat lebih 30 (ekor). Teman-teman begitu juga,” ulasnya.

Kata Linus, sedikitnya ada 10 kapal bertugas menangkap hiu. Per kapal sambung dia, sehari dapat menangkap 10 ekor. Artinya, ada sekitar 100 ekor didaratkan satu malam.

Linus sendiri, bisa mendaratkan 500 ekor hiu saat musim penangkapan. Tangkapan itu sekejap mata laris, dibeli pengumpul lokal asal Desa Sumare, Kecamatan Simboro, Mamuju Sulbar dan Kalimantan.

“Kalau kita cuma tangkap ikan hiu. Pokoknya kalau sudah ditinggalkan di pasir (bibir pantai0, diambil mereka (pengumpul),” ujar Linus.

Ada tiga spesies hiu yang banyak ditangkap Linus. Di antaranya; Hiu Lanjaman (Carcharhinus Falciformis), Hiu Macan (Galeocerdo cuvier), dan Hiu Biru (Prionace Glauca), dikenal para nelayan dengan sebutan Hiu Korea I.

Hiu Lanjaman selain dalam Apendiks II CITES, daftar merah IUCN, mengategorikannya tidak segera terancam punah (least concern/LC), sementara Hiu Macan dan Biru berada dalam kategori hampir terancam punah (near threatened/NT).

Satu waktu kata Linus, rawai miliknya menjerat Hiu Tikus atau Hiu Korea II (Alopias Sp) dan hiu jenis Sphyrma atau Martil, dua jenis hiu yang tidak boleh lagi ditangkap, sesuai Resolusi 10/12 Indian Ocean Tuna Commision (IOTC) dan Kepmen KP No.26/2013, disamping Apendiks II CITES.

“Tapi sudah tidak diambil lagi, karena sudah dilarang. Jadi kita lepas saja, biar mati kita lepas juga,” peluhnya.

Di desa Sumare, terdapat dua pengumpul lokal; Sahabuddin (42) dan Amir (45). Untuk menuju ke sana, saya mesti melewati ibu kota Provinsi Sulbar, berjarak 64 kilometer dari Linus.

menarik dibaca : Menjaga Hiu Lanjaman dari Ancaman Kepunahan

 

Gudang pengolahan daging hiu milik Risno di Desa Sumare, Kecamatan Simboro, Mamuju, Sulbar. Foto : Agus Mawan/Mongabay Indonesia

 

Halaman rumah Sahabuddin jadi tempat kami berbincang berkenaan bisnisnya. Di depan, tampak gudang seluas 12 meter persegi tertancap di pasir pantai. Di situ lah, ia mengolah produk daging hiu.

Risno sapaannya, baru genap 3 bulan menjajaki bisnis daging hiu. Ia sebelumnya berbisnis hasil olahan laut sejak 2004. Namun alasan modal, Risno enggan menggarap bisnis sirip.

“Bukan modal sedikit kalau sirip,” kata dia.

Kata Risno, butuh 2 atau 3 hari bagi anak buahnya untuk mengumpul 3-4 ton daging hiu, tangkapan para nelayan di Pulau Ambo.

“Anggota ji saya suruh. (Ada) lima kapal. Tidak berangkat ke sini kalau tidak full (penuh). Paling banyak bisa 5 ton satu kapal,” ujar Risno.

Dibanding keuntungan Linus yang hanya Rp60 juta, Risno bisa lebih dari itu. Per kilonya, ia bandrol dengan harga Rp12.000. Maka cukup 3 ton saja, Risno bisa mendapat duit Rp300 juta—diluar ongkos.

“Paling sedikit itu 2 ton. Paling banyak 5 ton,” ujarnya.

Amir, juga tetangga Risno. Dialah pengumpul lokal sirip hiu sejak Februari 2018. Per lembar sirip punya varian harga, “Ada size-nya (tergantung ukuran),” katanya.

“Yang paling murah 15 cm Rp300 ribu per kg, yang 35 cm Rp700 ribu per kg, ukuran besar 40 cm Rp1,3 juta per kg. Ada juga 40 centimeter, tapi ndak terlalu banyak,” ujar Amir.

Proses olah sirip berbeda dengan daging hiu. Umumnya memakan waktu hingga empat bulan penjemuran.

“Dikeringkan dulu sama nelayan, baru diambil,” katanya.

Selain Amir, Linus juga menyambi sebagai pengumpul sirip, tetapi jumlahnya tidak seberapa dibanding Amir. “Kadang ada 100 kg, kadang 200 kg,” kata Linus.

 

Sirip hiu milik Linus. Foto : Agus Mawan/Mongabay Indonesia

 

Amir, sekali produksi bisa capai 1-2 ton, mengikuti musim. Jika sekali jual untuk ukuran 35 dan 40 centimeter dalam 1 ton, omset Amir diklaim mencapai Rp1 miliar, diluar ongkos produksi.

“Ini siripnya kalau mau dikirim, sudah diolah,” sahutnya sambil menunjukkan beberapa foto hasil jepretannya.

***

*Agus Mawan, jurnalis Sulselekspres.com. Artikel ini didukung oleh Mongabay Indonesia          

        ***

Keterangan foto utama : Ilustrasi. Salah satu penjual hiu menunggu pembeli di TPI Brondong, Lamongan, Jawa Timur. Hampir setiap hari ada aktifitas jual beli hiu di TPI yang berada di pesisir Lamongan tersebut. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version