Mongabay.co.id

Rantai Dagang Hiu: Dari Pembantaian Hingga Jadi Sup (2)

Jual beli hiu di TPI Brondong, Lamongan, Jawa Timur. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Indonesia, masuk kawasan Coral Triangle, kawasan dengan tingkat keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia. Dengan potensi ini pula, Indonesia jadi tempat subur bagi industri hiu.

Berbagai spot penangkapan hiu bermunculan. Satu di antaranya di perairan Selat Makassar—Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP 713). Di Selat Makassar, banyak  nelayan yang memanfaatkan potensi ini, baik nelayan umum (bycatch) maupun nelayan yang khusus tangkap hiu (bytarget).

Pembeli hiu kebanyakan untuk memasok restoran Cina yang menyajikan semangkuk sup hisit atau olahan hiu lainnya.

Hidangan istimewa sup hisit di Cina dan Indonesia berasal dari proses berdarah, dengan melewati alur dagang yang panjang dan tak mudah dilacak.

Sepotong sirip itu berawal dari tangkapan nelayan, lalu dibeli pengumpul lokal dan kembali dijual pengumpul besar ke pengusaha dan, voila jadilah sup hisit di meja restoran.

Di Makassar, restoran yang menjadikan sup hisit sebagai menu istimewa menolak untuk diwawancarai.

Alur panjang itu sebagiannya berasal dari Linus, seorang nelayan penangkap hiu di Pulau Ambo berasal dari Kelurahan Lamungan, kecamatan Malunda, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat. Hasil jerih payahnya membentangkan rawai sepanjang lima mil di laut.

baca : Perdagangan Hiu : Ambiguitas Perlindungan di Indonesia (1)

 

Jaring rawai milik Linus yang digunakan untuk menangkap hiu. Foto : Agus Mawan/Mongabay Indonesia

 

Rawai itu dilengkapi 150 mata pancing. Rata-rata mata pancing menjuntai sedalam 16 depa (satu depa: dua jengkal) ke dalam laut, kolom laut yang diperkirakan hiu ‘bermain’ bebas.

Kata dia, alat pancing miliknya bekas pakai nelayan tuna Bali. Ia hanya menambah kawat dan kili-kili (penyambung tali berbahan stainless steel) sebagai pembatas dan penguat mata pancing.

Rawai milik Linus, digunakan untuk menangkap hiu lanjaman, hiu macan, dan hiu korea I.

Kala senja, Linus dan nelayan lainnya memasang rawai, umpannya daging ikan per mata pancing. Setelah terbentang, Linus cukup menanti hingga dini hari.

 

Mata pancing untuk menangkap hiu milik Linus. Foto : Agus Mawan/Mongabay Indonesia

 

Tiba waktunya, Linus dibantu Anak Buah Kapal (ABK) menarik rawai perlahan. Saat hiu mulai nampak, para ABK lalu menjerat kepala hiu agar mudah dikapalkan.

Bila hiu masih hidup saat dijerat, Linus akan menghujamkan tongkat kayu tepat di kepala hingga mati. “Dipukul pakai kayu ulin. Kayu ukuran satu meter panjangnya,” terangnya.

Setelah tangkapannya sudah di kapal. Linus kembali ke Pulau Ambo. Di sana, sudah ada para suruhan pengumpul menanti kedatangan mereka.

Saat bersandar, muatan dari kapal mulanya ditongkang, dipilah satu per satu, lalu dijagal: seluruh sirip—bagian punggung, sayap, dan ekor—dipisah dari tubuh setelah diukur oleh Hamdana.

baca juga : Bagaimana Cara Hentikan Eksploitasi Hiu dan Pari di Indonesia?

 

Hiu Lanjaman kecil yang dikepul pengumpul Lokal di TPI Paotere Makassar. Foto : Agus Mawan/Mongabay Indonesia

 

Di tahap ini, giliran para pengumpul lokal berbagi peran. Untuk daging adalah jatah Risno dan sirip jadi milik Amir.

“(Ambilnya) kering. Diolah di pulau. Nanti keringnya baru dibeli pak Rian (perantara). Dikeringkan dulu sama nelayan, baru diambil,” kata dia.

Setelah sirip ditangannya, Amir hanya berkabar ke pengumpul besar di kota Makassar. Amir mengaku banyak mengenal para pengumpul di kota anging mammiri ini.

“Dari saya (dijual) ke Makassar. Yang mana yang cocok harga, di situ lagi menjual. Ndak ada utang saya di Makassar. Malahan bos yang utang di Makassar,” katanya.

Adendum: Kami merahasiakan nama-nama pengusaha di kota Makassar, atas harapan agar pengusaha tersebut tak jadi incaran para pengumpul dan menekan rantai dagang hiu.

Amir menjual sirip berkulit kering ke seorang pengumpul besar, Riski (bukan nama asli), pengusaha asal Cina Selatan. Namun, dia bilang sirip yang dikumpul di gudang Riski tak diolah di Makassar, melainkan di Cina.

menarik dibaca : Saat Hiu-Hiu itu Didaratkan di Pelabuhan Tanjung Luar

 

Sirip hiu yang dikeringkan di Pulau Ambo, Majene, Sulbar. Foto : Amir/Mongabay Indonesia

 

Selain Riski, banyak nama pengumpul besar yang disebut Amir. Gudang mereka kebanyakan di Kota Makassar. Hanya beberapa saja yang terletak di Kabupaten Maros dan Kabupaten Gowa, Sulsel.

Di gudang Riski yang di Makassar—selain Surabaya dan Jakarta, sirip dari Amir sekadar dikemas. Setelahnya, oleh Riski, sirip yang telah sesuai ukuran ekspor (35 centimeter lebih) lalu didepak ke Cina untuk diolah dan kembali diedar secara domestic hingga ke Korea Selatan.

Di negara konsumen itu, sirip hiu tersebut sulit terlacak lagi, produk itu bisa memencar ke mana saja.

***

Di rumahnya, Risno menadah daging hiu. Gunungan daging itu kemudian ia kirim ke gudang pendingin (cold storage) yang terletak di Kawasan Industri Makassar (KIMA).

“Di Makassar itu penanggung jawab. Bukan pabrik. (Hanya) packing di Makassar, masukkan cold storage, baru di Jakarta diekspor,” kata Risno.

 

Risno, pengumpul lokal daging hiu Mamuju, Sulbar. Foto : Agus Mawan/Mongabay Indonesia

 

Dalam bisnis ini, Risno berurusan dengan sebuah CV, perusahaan perdagangan eceran hasil perikanan, perdagangan eceran daging dan ikan olahan, yang terdaftar di Lembaga Pengelola dan Penyelenggara OSS.

Perusahaan itu bertempat di Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman Jakarta Utara.

baca juga : Perdagangan Hiu Marak di TPI Brondong, Berikut Foto-fotonya

Berdasarkan peta pengiriman milik BPSPL Makassar, di Pulau Sulawesi, terdapat lima pintu keluarnya produk hiu, yaitu Gorontalo, Toli-toli, Baubau untuk perdagangan domestik, sementara Makassar dan Manado untuk tujuan ekspor.

Di pasar ekspor, Hongkong dan Arab Saudi jadi tujuan. Dan Manokwari, Bitung, Banyuwangi, Denpasar, Surabaya, dan Jakarta jadi tujuan pasar domestik.

Hiu yang dikeluarkan itu berasal dari Jayapura, Papua, Dobo, Kepulauan Aru, Sorong, Ambon, Maluku, Pulau Bacan, Kupang, Talaud, Sangihe, Minahasa Tenggara, Bolaang Mongondow, Tomini, Bone, Kolaka, Buton Selatan, Perairan Sulteng, Pulau Ambo, Majene, Pangkep, dan Pulau Tanakeke.

***

*Agus Mawan, jurnalis Sulselekspres.com. Artikel ini didukung oleh Mongabay Indonesia          

***

Keterangan foto utama : Ilustrasi. Jual beli hiu di TPI Brondong, Lamongan, Jawa Timur. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version