Mongabay.co.id

Tidak Hanya Ganggu Kesehatan, Sampah Juga Merusak Lingkungan

 

 

Baca: Jawa Timur Pastikan Tangani Masalah Sampah Impor

 

Sampah tidak hanya merusak kelestarian lingkungan, tapi juga mengganggu kesehatan masyarakat. Pencemarannya yang bisa melalui udara, air, tanah, maupun kontak dengan organisme lain dapat menimbulkan penyakit.

Dosen Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Jember, Anita Dewi Moelyaningrum, S.KM., M.Kes., mengatakan, sampah dapat dikelompokkan tiga jenis. Ada organik, anorganik, serta bahan berbahaya dan beracun [B3].

Sampah organik yang tidak terkelola, selain menimbulkan bau tidak sedap dan mengganggu estetika, juga menjadi media perkembangbiakan vektor dan hewan pengerat.

“Dampak langsungnya menurunkan kualitas lingkungan. Ini dapat menimbulkan efek pada biota maupun kesehatan manusia,” kata Anita kepada Mongabay Indonesia, Minggu [30/6/2019].

Baca: Urusan Sampah, Butuh Cara Efektif Penanganannya

 

Andreas Agus Kristanto Nugroho dari Ecoton, menunjukkan sample air yang terdapat mikroplastik, dari saluran pembuangan sejumlah pabrik di Sidoarjo, Gresik dan Mojokerto, Jawa Timur. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Efek tidak langsung sampah organik, mengakibatkan meningkatnya penyakit yang dibawa vektor nyamuk [vektor borne disease] dan tikus [rondent borne disease].

Sementara, sampah anorgaik, seperti mikroplastik, terutama diapers atau popok sekali pakai yang bahan mayoritasnya limbah impor, mengandung super adsorbent polymer [SAP]. Memiliki efek perusak hormon pada biota perairan.

“Melalui rantai makanan, SAP masuk ke tubuh manusia serta berpotensi mempengaruhi keseimbangan hormone. Akibatnya, muncul berbagai penyakit gangguan hormon, infertility, dan sebagainya,” terang Anita.

Limbah plastik, sangat mungkin terjadi reaksi kimia pada suhu tinggi yang mengakibatkan senyawa mikroplastik lebih mudah terlepas ke lingkungan atau alam. Selanjutnya, masuk ke tubuh makhluk hidup, termasuk sangat mungkin terakumulasi dalam tubuh manusia.

“Jika terkena suhu tinggi, termasuk selama perjalanan di kontainer untuk waktu lama, bakteri sangat mungkin berkembang biak. Terutama, bila ada limbah organik yang merupakan kesukaan mikroba. Efeknya dapat mengganggu kesehatan,” terang Anita.

Sedangkan limbah bahan berbahaya dan beracun [B3], sesungguhnya tidak boleh sama sekali ada di lingkungan bebas, karena sifatnya beracun. “Harus diisolasi.”

Baca juga: Ramadhan dan Sampah di Kota Gorontalo yang Meningkat Pesat

 

Penampakan mikroplastik dari pengamatan mikroskop. Foto Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Penanganan

Penanganan sampah maupun limbah perlu kehati-hatian. Jika limbah langsung mengenai tanah, dapat meningkatkan risiko soil borne disease, soil transmited disease berupa kecacingan. Bila kena air, dapat meningkatkan water borne disease seperti diare, hepatitis, keracunan logam berat, serta alergi. Sedangkan dengan udara, meningkatkan air borne disease seperti sesak nafas, asma, kerusakan paru, dan sebagainya.

“Limbah jika dibakar dapat menyebabkan polusi, menurunnya kualitas udara karena mengandung karbondioksida [CO2], metan, polycyclik aromatik hidrocarbin, yang ini dapat menyebabkan berbagai penyakit infeksi saluran napas, gangguan syaraf, jantung, dan kanker,” terang Anita.

Beberapa hasil penelitian di tempat pembuangan akhir sampah di Indonesia, menunjukkan adanya penurunan kualitas lingkungan, baik udara, air, dan tanah. Perluk penanganam segera terhadap kondisi lingkungan tercemar, agar tidak terjadi dampak negatif bagi lingkungan dan masyarakat.

“Tidak hanya berdampak akut [saat itu juga], tapi kronis [beberapa tahun kemudian), seperti kanker dan gangguan syaraf. Toksisitas limbah bisa masuk ke tubuh lewat oral [makanan], saluran pernapasan, dan kontak kulit. Bila terakumulasi, merusak sistem tubuh manusia,” papar Anita.

 

Sampah plastik yang diimpor dari luar negeri. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Staf dokter di Puskesmas Petang 1 dan Dinas Kesehatan Badung, Bali, dr. I Nyoman Adi Suparta, M.Bio.Med., Sp.PD., mengatakan bahwa pembuangan sampah secara terbuka dapat memunculkan berbagai penyakit dan mengancam kesehatan masyarakat.

Menurut Nyoman, manusia yang kulitnya terpapar limbah atau sampah secara langsung, dapat berpotensi menimbulkan reaksi berupa alergi, dan menjadi pintu masuk kuman. Terlebih, bila tidak terlindung sarung tangan khusus.

“Infeksi beragam, sesuai jenis kumannya. Bisa dermatitis atau infeksi kulit lainnya,” katanya.

Sedangkan sampah yang dibakar, selain menimbulkan bau dan polusi udara, hasil bakarannya dapat menyebabkan iritasi di saluran napas. Dalam waktu lama, menyebabkan gangguan saluran napas.

“Penanganan penyakit akibat paparan langsung limbah atau sampah, dapat dilakukan di rumah sakit atau dokter,” ujarnya.

 

Warga tampak memilah sampah plastik yang dampaknya terhadap kesehatan harus diperhatikan. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Mikropastik dimakan Ikan

Bahaya sampah plastik bagi lingkungan, terutama di perairan sudah menjadi ancaman nyata. Peneliti Ecoton, Andreas Agus Kristanto Nugroho menjelaskan, sampah plastik berbentuk mikroplastik, yang tidak terlihat secara kasat mata selain melalui mikroskop, sangat berbahaya bagi biota air.

Sampel air buangan yang diambil dari 11 titik saluran pembuangan limbah cair pabrik kertas dan pengolahan plastik yang ada di sepanjang Sungai Surabaya, menunjukkan partikel itu.

“Kami mengambilnya saat mengamati beberapa outlet limbah perusahaan di sepanjang Sungai Surabaya. Salah satunya di Desa Jeruk Legi, Sidoarjo, Jawa Timur, yaitu pabrik daur ulang plastik. Hasilnya, banyak ditemukan mikroplastik,” ungkapnya.

Serpihan itu rata-rata di bawah lima millimeter dan sangat berbahaya bagi pencernaan. “Plastik itu tidak akan hancur ketika dicerna, tapi mengikat bahan-bahan lain seperti limbah dari racun yang ada di perairan.”

 

Foto udara yang menunjukkan lokasi pembuangan limbah cair ke Sungai Brantas. Foto: Ecoton

 

Dari penelitian yang dilakukan Ecoton, dengan membedah lambung 168 ikan yang ditangkap di Sungai Surabaya, ditemukan mikroplastik pada semua ikan tersebut. Dikatakan Andreas, sekitar 80 persen ikan yang ditangkap jenis pemakan tanaman air dan lumut-lumutan. Mikroplastik yang terperangkap di tanaman, secara tidak sengaja termakan ikan.

“Bentuknya dilihat dari mikroskop bermacam. Ada seperti fiber, plat, atau putih bening layaknya filament,” ujarnya.

Bersama Aliansi Zerro Waste Indonesia [AZWI], Universitas Hasanuddin, Sulawesi Selatan, dan LIPI, Ecoton melakukan kajian dan penelitian potensi-potensi mikroplastik yang sudah berbentuk chemical dalam tubuh ikan. Penelitian dilakukan dengan mengambil contoh dari lima 5 tempat pelelangan ikan [TPI] di Indonesia. Tujuannya, melihat kandungan kimia mikroplastik dalam perut ikan.

“Zat chemical apa yang terbawa, itu masih butuh penelitian lebih lanjut,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version