Mongabay.co.id

Perdagangan Hiu : Mitos Pembawa Rezeki dan Konservasi (4)

Petugas di lelang mengukur panjang sirip hiu. 1 kg sirip hiu bisa dijual dengan harga Rp 2.5 juta. Sebagian besar dikirim ke Surabaya. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

“Aih ndak (takut) kita kalau dapat hiu, karena keyakinan kita itu rezeki kan. Kalau besar hiunya makin banyak rezeki. Perhitungan ta itu jadi tidak takut ki,” kata Linus kepada saya.

Namun, yang hendak disampaikan Linus adalah petuah, yang selama 2 dekade ia yakini kala memburu hiu kecuali hiu paus.

“Kalau ini (hiu paus), nenek moyang kita memang larang bunuh itu,” lugas nelayan penangkap hiu asal Kelurahan Lamungan, kecamatan Malunda, Majene, Sulbar itu.

Linus mengaku, kendati pun pemerintah tidak melindungi hiu paus, dia dan para kerabat nelayannya mengaku tak ingin mengambil resiko, mengingkari petuah ini.

“Mulai dari nenek-nenek kita tidak pernah bunuh hiu begini. Biar tidak dilarang ini, kita tidak bunuh. Memang kita jarang ketemu di laut. Tapi kalau ketemu, pasti ada saja rezekimu. Kita pastikan memang,” tegasnya bersemangat.

Namun, sebagian masyarakat lainnya justru meyakini beberapa hiu—selain hiu paus—patut dibunuh, sebab disangka jadi rival manusia di laut.

Hiu, mereka duga bakal menghabisi ikan kecil yang ekonomis bagi masyarakat umum. Padahal, menurut Pakar Sumber Daya Hayati (SDH) Laut Universitas Hasanuddin (Unhas), Ahmad Bahar, kesaksian demikian belum tentu benar, masih ada pemicu lainnya. Salah satunya kerusakan ekosistem laut.

“Itulah kalau sudah tidak seimbang ekosistem. Jadi mungkin kan rantai makan yang diterumbu karang itu sudah rapuh sekali,” kata Ahmad.

baca: Perdagangan Hiu : Ambiguitas Perlindungan di Indonesia (1)

 

Puluhan hiu yang disita dari Kapal Layar Motor (KLM) Sumber Laut oleh Direktorat Polisi Air (Ditpolair) Polda Jawa Timur. Foto: Ditpolair Poda Jatim/Mongabay Indonesia

 

Menjelang Kepunahan

Bila di film, hiu cuma tahunya memangsa manusia dan kapal. Di dunia nyata, hiu jadi santapan manusia. Di lautan, hiu tak lebih sebagai predator bagi ikan karnivora pemangsa ikan herbivora pemukim terumbu karang.

Sebagai predator puncak, hiu adalah pengendali ekosistem laut. Bila punah, pasokan pangan laut bagi manusia akan terancam, sebab ikan level kedua tentu tak lagi terkendali populasinya. “Akan mengganggu kestabilan ekosistem, pemangsaan tidak stabil, karena mereka berkembang besar, jadi ikan kecil ini mungkin habis,” kata Ahmad.

Menipisnya kesediaan pangan perikanan, diprediksi merupakan efek dari kerusakan ekosistem di laut—dalam ukuran besar—akibat pengambilan berlebihan, seperti yang tengah dilakukan terhadap hiu.

“Kalau terjadi misalnya seperti ini, pengambilan besar-besaran, pengendali (hiu) dalam ekosistem itu akan hilang. Bisa menimbulkan ketidakstabilan ekosistem di perairan. Sangat membahayakan sebetulnya,” ujar Ahmad.

Padahal, kelestarian ekosistem laut telah jadi tujuan bersama negara-negara di PBB yang tercatut di tujuan nomor 14 dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) soal ekosistem laut.

baca juga : Rantai Dagang Hiu: Dari Pembantaian Hingga Jadi Sup (2)

 

Hiu ditangkap nelayan untuk diambil sirip nya dan dijual di dermaga Tanjung Luar di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Foto : Wahyu Mulyono/Mongabay Indonesia

 

Perlahan-lahan, efek kerusakan itu diprediksi akan berimbas pada mahalnya harga ikan yang sebelumnya murah di pasar, akibat kelangkaannya di laut. Pendapatan nelayan pun tentu berkurang.

“Jadi keberadaan hiu di dalam perairan itu mesti dijaga, karena (hiu) menjaga kestabilan ekosistem,” terang Ahmad.

Rakhmad Armus, pakar kimia lingkungan melihat, dampak menurunnya populasi hiu bisa memicu perubahan ekosistem laut dan akan mengalami ketidakseimbangan. Bayangan terburuknya, adalah bencana.

“Tentu akibatnya, ikan kecil dan ganggang laut yang berada pada tingkatan di bawahnya akan mengalami ledakan populasi. (Ledakan populasi ganggang laut) yang menyebabkan, naiknya senyawa sulfur dan akan menyebabkan hujan awan atau populasi hujan asam akan semakin meningkat,” kata dia.

baca : Perdagangan Hiu : Pasar Memicu Kepunahan (3)

 

 

Tanpa hiu, ikan level kedua akan menggantikan perannya sebagai predator puncak. Karena tak lagi dimangsa, populasi ikan level kedua pun kian meningkat, dan akan memangsa ikan kecil tanpa kendali.

Populasi ikan terkecil pun kian menipis, akibatnya, ganggang laut yang jadi santapan ikan herbivora akan mengalami ledakan populasi, menutupi permukaan laut dan memicu kerusakan ekosistem.

Tak hanya itu, berlebihnya populasi ganggang laut, menurut Rakhmad akan memicu hujan asam dan mempercepat pembentukan awan di langit.

“Kalau populasi ganggang laut meningkat, maka akan terjadi peningkatan senyawa-senyawa kimia yang ada di laut,” kata Rakhmad.

Peningkatan senyawa kimia di laut bukan harapan baik bagi kehidupan manusia. Akibat ini, pemanasan global justru makin menggelegar.

Di dalam laut, pemanasan global juga memicu pemutihan karang, di mana keanekaragaman hayati laut hidup.

“Berarti akan terjadi, ekosistem karang akan rusak,” kata Rakhmad.

baca juga : Bagaimana Cara Hentikan Eksploitasi Hiu dan Pari di Indonesia?

 

Di Pulau Tinabo, Taman Nasional Laut (TNL) Takabonerate, tidak hanya keindahan daratan dan bawah laut yang memukau, Pengunjung bisa bercengkrama dengan anakan hiu yang jinak dengan memberi mereka makanan dar potongan ikan yang masih segar. Foto : Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Kerusakan laut dipercaya jadi pemicu terjadinya pemanasan global, yang akan berimbas pada naiknya permukaan laut karena menampung lelehan es di kutub utara.

Namun, selain itu, Rakhmad bilang, dampak besar pemanasan global, yakni meningkatnya populasi serangga pembawa penyakit di bumi, akibat masa pembuahan telurnya makin singkat.

“Sehingga, mengakibatkan tingginya tingkat penyakit terhadap masyarakat. Contoh misalnya Malaria, akan meningkat,” tukasnya.

Memang, bayangan ini bagi sebagian kalangan hanya ungkapan racau. Namun, ini akan terjadi bila pengendalian pemanfaatan sumber hayati laut tidak baik.

Karenanya, beberapa upaya kampanye perlindungan terhadap hiu bermunculan, macam tagar #stopsharkfinsoup, #stopfinning, #SOsharks dan ragam lainnya di Instagram dan Twitter. Lewat tagar ini, partisipasi publik jadi luas dan tidak hanya jadi gawean pemerintah.

 

 

Di tagar itu, publik akan melihat penderitaan yang dialami hiu dan kisah inspiratif hubungan harmonis manusia dan hiu. Kampanye macam ini tentu jadi kabar baik untuk menekan pembantaian hiu.

Sejalan dengan itu, Brahmantya menilai, upaya perlindungan hiu juga tak mesti dari pemerintah dengan setumpuk regulasinya. Masyarakat konsumen juga bisa berpartisipasi untuk itu; “When you stop eating, you will stop catching,” katanya.

LSM Lingkungan WWF Indonesia, adalah salah satu penggagas kampanye #SOSharks, singkatan dari Save Our Sharks.

 

Dwi Ariyoga Gautama, Koordinator Bycatch dan Konservasi Hiu WWF Indonesia, menganggap upaya tersebut merupakan cara bagaimana membawa isu perlindungan hiu ke tengah masyarakat via digital.

Dia bilang, sejak #SOSharks diluncurkan pada tahun 2013, isu tersebut jadi topik utama di media massa, yang sebelumnya justru mempublikasikan perdagangan hiu secara ekonominya saja.

“Sekarang (media) menyoroti kalau ada yang jual,” kata dia.

Ariyoga berharap, lewat tagar ini konsumsi hiu dan permintaan domestik berkurang, “Sehingga, tekanan terhadap populasi juga berkurang,” ucapnya.

“Yang diharapkan, jumlah yang jual juga berkurang, dan ada kebijakan daerah yang mengatur perdagangan ini,” katanya.

Menurut dia, kampanye daring ataupun laring yang pihaknya lakukan, sudah dinilai berhasil. Ini ditunjukkan dengan penjualan olahan hiu di restoran maupun hotel mengalami penurunan.

“Bahan baku yang di-order dari restoran dari 15 ribu ton sirip kering, menjadi 12 ribu ton dalam setahun,” ujar dia.

Tak hanya itu, penyedia jasa maskapai kargo seperti Garuda Indonesia, dan otoritas bandar udara Angkasa Pura juga ikut berpatisipasi tak lagi mengangkut produk hiu.

 

Seorang pengunjung bermain dengan anakan hiu di perairan TN Taka Bonerate, Sulsel. Foto : Asri/TN Takabonerate/Mongabay Indonesia

 

Dalam hasil prosiding hiu dan pari ke dua tahun 2018, WWF Indonesia mendorong terbentuknya kawasan konservasi perairan untuk perlindungan dan pemulihan populasi hiu, hingga mengidentifikasi habitat yang digunakan semasa musim kawin dan asuhannya.

“Nah itu ekspetasinya,” kata Ariyoga.

Ariyoga bilang, kawasan tersebut nantinya mengupayakan implementasi pengendalian atas penangkapan hiu, terutama hiu berukuran kecil dan hiu hamil.

Selain itu, pemanfaatan hiu juga bisa dilakukan melalui pariwisata bahari, seperti snorkling dan menyelam. Namun, kata Ariyoga, skema demikian mesti dibarengi kajian daya dukung wisata.

“Sehingga, kenyamanan dalam berwisata tidak hanya bisa didapatkan oleh wisatawan, namun terutama kepada biota-biota itu sendiri,” tambahnya.

Sampai tulisan ini diturunkan, perdagangan hiu terus berlanjut, demi melayani permintaan pasar. Per detik, diperkirakan, ada tiga ekor hiu dibunuh manusia. Dan manusia yang mati karena diserang hiu pertahun, kemungkinan hanya satu.

***

*Agus Mawan, jurnalis Sulselekspres.com. Artikel ini didukung oleh Mongabay Indonesia

***         

Keterangan foto utama : Petugas di lelang mengukur panjang sirip hiu. 1 kg sirip hiu bisa dijual dengan harga Rp 2.5 juta. Sebagian besar dikirim ke Surabaya. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version