Mongabay.co.id

Aturan Baku Mutu Emisi, ‘Karpet Merah’ PLTU Batubara Cemari Udara

Pelabuhan Ikan Desa Menganti yang berdekatan dengan lokasi PLTU Cilacap. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengundangkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 15/2019 tentang Baku Mutu Emisi Pembangkit Listrik Tenaga Termal pada 23 April 2019. Peraturan ini memberikan ‘karpet merah’ bagi pembangkit-pembangkit listrik berbahan bakar batubara mencemari udara.

Peraturan ini menetapkan dua kriteria baku mutu emisi (BME) untuk PLTU batubara. Pertama, PLTU batubara yang dibangun atau beroperasi sebelum peraturan berlaku. Kedua, PLTU batubara yang dibangun setelah peraturan berlaku. (lihat tabel).

Baca juga: Aturan Terbaru Baku Mutu Emisi Pembangkit Termal Masih Lemah

Peraturan Menteri LHK No. 15/2019, ini tak mencantumkan penjelasan mengenai makna dari istilah “dibangun” dalam dua kriteria BME. Istilah “dibangun” setidaknya dapat menimbulkan multitafsir. Mulai dari makna “dibangun” sebagai PLTU batubara yang masuk dalam perencanaan ketenagalistrikan, atau mengantongi perjanjian jual beli listrik, atau memiliki Izin lingkungan. Atau sudah memulai konstruksi fisik.

 

Aksi warga Winong menuntut perusahaan dan pemkab tanggung jawab atas limbah dan polusi PLTU di kampung mereka. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Lebih longgar

Dua kriteria BME PLTU batubara dalam Peraturan Menteri LHK No. 15/2019, dapat dimaknai sebagai pengecualian pemberlakuan BME paling ketat bagi PLTU batubara yang sudah dibangun atau beroperasi sebelum peraturan berlaku. Dengan kata lain, PLTU-PLTU yang sudah terbangun atau beroperasi mendapatkan keistimewaan berupa kewajiban penaatan BME lebih longgar dibandingkan PLTU-PLTU baru.

Model pengaturan BME dikenal dengan istilah grandfathering. Franck Ackerman dkk., dalam artikelnya berjudul “Grandfathering and coal plant emissions: the cost of cleaning up the Clean Air Act menjelaskan, makna dari grandfathering sebagai pihak yang sudah berkegiatan sebelum ada suatu aturan, diberikan kelonggaran atau pengecualian terhadap suatu aturan baru.

Richard L. Revesz dan Jack Lienke dalam bukunya yang berjudul Struggling for Air: The War on Coal mengatakan, beberapa alasan yang mendukung penggunaan grandfathering. Salah satu yang terkemuka adalah alasan keadilan. Pelaku usaha atau kegiatan mendasarkan pada aturan berlaku pada saat memutuskan berinvestasi hingga harus dilindungi. Atau mereka mendapatkan kompensasi atas perubahan aturan yang akan menurunkan nilai dari investasi.

Dalam konteks PLTU batubara di Indonesia, para pelaku usaha atau kegiatan PLTU batubara yang kini sudah beroperasi atau sedang konstruksi mendasarkan keputusan berinvestasi pada aturan BME terdahulu, antara BME berlaku pada 2008 atau 1995.

Para pelaku usaha atau kegiatan PLTU batubara yang sudah beroperasi atau sedang konstruksi menanggung beban lebih berat kalau harus taat pada BME lebih ketat yang berlaku untuk PLTU batubara baru.

Terdapat bantahan juga terhadap alasan keadilan di balik penggunaan grandfathering. Richard L. Revesz dan Jack Lienke, masih dalam buku sama, menyampaikan, tak masuk akal kalau pelaku usaha atau kegiatan menganggap aturan untuk usaha yang ia jalani tak akan berubah seiring waktu.

Dalam konteks BME PLTU batubara, pelaku usaha atau kegiatan sewajarnya memahami bahwa perubahan BME merupakan hal niscaya karena ilmu pengetahuan dan teknologi terus berkembang seiring berjalannya waktu.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menurut Pasal 8 Ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 41/1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, mendapatkan kewenangan meninjau BME setiap lima tahun sekali.

Richard L. Revesz dan Jack Lienke juga berpendapat, ada grandfathering dalam BME PLTU batubara bisa dilihat juga sebagai upaya politik pragmatis dari penyusun BME PLTU batubara.

Bisa jadi, penyusun BME PLTU batubara berpikir, bahwa ketentuan grandfathering perlu agar penyusunan BME PLTU batubara segera sah. Dengan kata lain, grandfathering merupakan kompromi agar penyusunan BME PLTU batubara selesai.

 

Batubara ciptakan masalah dari hulu ke hilir., dari tambang hingga penggunaan seperti buat pembangkit listrik Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Batas waktu

Ketentuan grandfathering diperparah oleh luputnya penyusun BME PLTU batubara dalam menentukan batas waktu pemberlakuan ketentuan grandfathering. Artinya, PLTU-PLTU yang terbangun dan beroperasi cukup menaati BME lebih longgar tanpa batas waktu.

Masalah apa yang bakal timbul kalau PLTU-PLTU tua wajib taat BME longgar tanpa batas waktu? Lauri Myllyvirta, dalam presentasi, berjudul “BME PLTU Batubara pada PermenLHK 15/2019: Dampaknya terhadap Wilayah Jabodetabek” menjelaskan, dampak kesehatan akibat emisi PLTU batubara di sekitar Jakarta, dengan BME PLTU batubara seperti itu.

Ribuan kematian dini setiap tahun akan tetap terjadi di Jakarta, karena emisi PLTU-PLTU batubara yang sudah beroperasi di sekitar Jakarta. Ribuan kematian dini ini terus terjadi tanpa batas waktu.

Mungkin ribuan kematian dini dapat berkurang ketika muncul niat dari penyusun BME PLTU batubara bisa meninjau kembali BME PLTU batubara.

Revisi BME PLTU batubara bisa memakan waktu satu dekade lebih, sebagaimana terjadi pada revisi BME PLTU batubara versi 1995, 2008, terakhir 2019. Berarti, harapan itu jauh terletak setelah 2030.

Bayangkan, peluang menjaga kesehatan yang terbuang karena ketentuan grandfathering berlaku tanpa batas waktu.

Untuk itu, penyusun BME PLTU batubara perlu segera menambahkan ketentuan batas waktu berlaku grandfathering (sunset provision). Artinya, pada suatu waktu tertentu, ketentuan grandfathering dicabut dari Peraturan Menteri LHK No 15/2019. Dengan kata lain, pada suatu waktu tertentu, PLTU-PLTU batubara yang sudah beroperasi atau sudah memiliki perjanjian jual beli listrik (PJBL) harus mematuhi kriteria BME sama dengan PLTU baru.

Batas waktu grandfathering, seperti ini tercantum dalam BME PLTU batubara versi 1995, sebagaimana disebutkan Pasal 2 Ayat (2) Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 13/1995 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak.

Penentuan batas waktu pencabutan ketentuan grandfathering ini bervariasi di antara masing-masing PLTU batubara sesuai umur operasi.

Penyusun BME PLTU batubara harus mewajibkan dan memandu penyusunan peta jalan bagi masing-masing PLTU batubara untuk mematuhi BME yang kuat dalam waktu masuk akal. Penutupan PLTU batubara tua, tak efisien dan sulit mematuhi BME yang kuat perlu jadi pertimbangan.

Selain itu, perlu digarisbawahi, PLTU-PLTU batubara yang sudah beroperasi sangat memungkinkan mematuhi BME yang lebih kuat secara ekonomi.

Bruce C. Buckheit dan Justin Guay, dalam artikel berjudul A Penny a Day to Help Clean Indonesia’s Air from Coal Power is a Bargain that Can’t be Beat, memperkirakan, hanya perlu biaya US$2.70 per penduduk per warga negara agar seluruh PLTU batubara beroperasi di Jawa dan Bali, dapat memasang alat pengendali pencemaran udara modern.

Artinya, penghapusan ketentuan grandfathering dalam BME PLTU batubara memungkinkan secara ekonomi.

Kini, penyusun BME PLTU batubara perlu tak membuang-buang waktu dalam memperbaiki BME yang sudah terlanjur diundangkan.

 

Keterangan foto utama:    Pelabuhan Ikan Desa Menganti yang berdekatan dengan lokasi PLTU Cilacap. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

Batubara baru dipindahkan dari kapal ke tongkang kemudian dikirim ke PLTU Pangkalan Susu. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version