Mongabay.co.id

Hiu Masih Saja Diburu, Mengapa?

 

 

Perburuan hiu masih dilakukan nelayan Aceh. Mengapa?

Sulaiman, nelayan asal Lampulo, Kota Banda Aceh, mengatakan, hiu memang diburu terutama ketika cuaca bersahabat. Hampir semua pelabuhan di Aceh ada pasokan hiu.

“Kami menangkap hiu menggunakan pancing, bukan pakai jaring atau lainnya. Jumlahnya juga terbatas karena kapal yang kami gunakan di bawah 20 GT,” ujarnya, baru-baru ini.

Sulaiman dan kawan-kawan mengaku mengenal jenis hiu yang dilindungi. Namun kalau mendapatkan jenis itu, tetap dibawa pulang. “Kami tidak tahu saat pancing diturunkan jenis apa yang menyambarnya.”

Berburu hiu di Samudra Hindia dan Selat Malaka tergantung kondisi angin. Sekali melaut, hingga seminggu, dia mendapat hiu dalam jumlah yang tidak pasti. “Kadang lima atau lebih,” ungkapnya.

Baca: Di Aceh, Hiu merupakan Buruan Primadona

 

Hiu yang diperdagangkan di pelabuhan Lampulo, Banda Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Hal senada diceritakan Hamdan, nelayan Aceh Barat. Dia bersama tiga rekannya memancing hiu dengan perahu yang panjangnya 10 meter dan lebar tiga meter di Samudra Hindia. Malang, mereka tidak sadar memasuki wilayah Myanmar.

“Saya ditangkap dan dipenjara satu tahun. Kejadian itu pada 2004 silam.”

Hamdan mengatakan, sirip hiu hasil tangkapannya dijual ke penampung di Meulaboh, Aceh Barat. Penampung kemudian menjual lagi ke Medan, Sumatera Utara. “Katanya untuk ekspor, atau siripnya dibuat sup. Tapi kami, tidak mengkonsumsinya.”

Rahmad, penampung sirip hiu di Pelabuhan Lampulo, Aceh, mengatakan sirip hasil tangkapan umumnya di jual ke Medan. Dari sini dijual ke luar negeri. “Kami hanya mengeringkan, kemudian kami jual. Harganya mulai Rp700 ribu hingga Rp1 juta per kilogram,” jelasnya.

Baca: Perdagangan Hiu Marak di TPI Brondong, Berikut Foto-fotonya

 

Perburuan hiu dilakukan karena sudah turun temurun, ditambah ada pemodal yang menyediakan perahu. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Masih favorit

Daging hiu menjadi makan favorit dan umum disediakan di banyak warung nasi di Aceh, termasuk di Kota Banda Aceh. Harganya tidak jauh berbeda dengan ikan laut lain, antara 10 hingga 20 ribu Rupiah, untuk satu porsi.

“Andai masak sendiri, tersedia di pasar ikan, ada yang jual,” jelas Muhammad Ilyas, warga Banda Aceh.

Ilyas mengaku ada beberapa warung nasi langganannya di Banda Aceh yang menyediakan masakan hiu. “Saya tahu beberapa jenis dilindungi, tapi karena masih disediakan dan dijual bebas, apa salahnya dimakan,” kilahnya.

Krisna, pegiat lingkungan di Aceh yang juga fokus di kelautan mengatakan, perburuan hiu oleh nelayan dilakukan karena sudah turun temurun. “Mereka belajar mancing hiu dari kakeknya, ditambah ada pemodal yang menyediakan perahu. Harga jual yang tinggi menjadi pilihan utama,” ujarnya.

Baca: Memperingati Hari Nelayan, Apakah Nelayan Makin Sejahtera?

 

Nelayan di Aceh masih berburu hiu, menggunakan pancing, bukan jaring. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Krisna berpendapat, selama ini pemerintah tidak tegas melarang nelayan menangkap ikan yang dilindungi. Bahkan masih dijual bebas di pelabuhan Aceh.

“Selain melarang, pemerintah harus melakukan pendekatan personal kepada kelompok nelayan. Ajak mereka beralih memancing ikan lain dan ganti alat tangkap mereka.”

Faktor lain, perburuan hiu terjadi karena adanya permintaan sirip dipasar nasional maupun internasional. “Agar tidak lagi diburu, putuskan hubungan pengekspor dengan penampung dan nelaya. Ketika hiu sudah tidak laku atau murah, nelayan dengan sendirinya akan beralih menangkap ikan lain,” ungkapnya.

Baca juga: Perdagangan Hiu : Ambiguitas Perlindungan di Indonesia (1)

 

Faktor ekonomi juga menentukan terjadinya perburuan hiu. Harga sirip tergolong tinggi, selain itu seluruh bagian tubuh hiu dapat dimanfaatkan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Muhammad Ichsan, Sharks and Rays Officer WCS Indonesia menyebutkan, perburuan hiu oleh nelayan Aceh didasari masalah ekonomi. Saat ini, harga sirip hiu tergolong tinggi. Selain itu, seluruh bagian tubuh hiu juga dapat dimanfaatkan.

“Misalnya daging hiu masih dijadikan kuliner di Aceh. Bahkan, banyak warung makan menyediakan menu dari hiu,” paparnya.

Ichsan menjelaskan, nelayan Aceh memahami jenis hiu yang dilindungi secara penuh seperti hiu paus, pari gergaji, dan pari manta. Sebagian besar nelayan Aceh juga menghindari menangkap jenis ini.

“Yang jadi masalah, masih banyak jenis hiu yang diburu karena statusnya belum dilindungi. Hanya perlindungan terbatas misalnya hiu martil, hiu sutra, hiu tikus dan hiu koboi, sedangkan sebagian besar belum mendapat perlindungan pemerintah. Beberapa jenis hiu masih boleh diperjualbelikan di pasar lokal, sehingga nelayan Aceh masih memburu,” sebutnya.

 

Sirip hiu yang dikeringkan, untuk selanjutnya dijual. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Ichsan mengatakan, meskipun nelayan di beberapa daerah sudah menjadikan hiu sebagai tangkapan sampingan atau tangkapan tidak sengaja. Namun, ada yang masih menjadikan hiu sebagai tangkapan utama.

“Umumnya, yang masih menjadikan hiu sebagai tangkapan utama adalah nelayan di pesisir barat selatan Aceh seperti Kabupaten Aceh Barat, Aceh Selatan, dan Aceh Barat Daya,” tegasnya.

 

 

Exit mobile version