Mongabay.co.id

Peraturan Zonasi Pesisir Hadir untuk Pinggirkan Masyarakat Pesisir

 

Percepatan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K) yang dilakukan Pemerintah Pusat di semua provinsi, seperti dua sisi mata uang. Di satu sisi, percepatan yang diwujudkan dalam sebuah peraturan daerah (Perda) tersebut akan menata kehidupan di kawasan P3K. Namun, di sisi lain, kehadiran perda akan merampas kehidupan masyarakat pesisir yang menjadi penguasa penuh selama ini.

Kekhawatiran tersebut kembali diungkapkan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) di Jakarta, pekan lalu. Fokus perhatian KIARA saat ini, adalah bagaimana peran dan hak masyarakat pesisir bisa tetap ada dan terjaga, walau peraturan RZWP3K sudah terbit dan diterapkan. Itu ditegaskan Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati saat menanggapi hal tersebut.

Menurut Susan, hingga sekarang sudah 21 provinsi yang diketahui berhasil merampungkan pembahasan perda tentang RZWP3K. Keberhasilan tersebut tak lepas dari desakan dari Pemerintah Pusat agar Pemerintah Provinsi bisa segera merampungkan peraturan RZWP3K secepat mungkin. Bahkan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pernah memberi batas waktu hingga akhir 2018 lalu.

baca : Demi Keberlanjutan Pesisir, Setiap Provinsi Wajib Selesaikan Perda RZPW3K

 

PLTU Pangkalan Susu. Tampak kapal-kapal nelayan aksi di depan pembangkit. Mereka protes energi batubara dan mendesak beralih ke terbarukan. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Kehadiran perda RZWP3K, kata Susan, menjadi mandat dari Undang-Undang No.1/2014 junto UU No.27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Tetapi, mandat tersebut dalam kenyataannya tidak melibatkan masyarakat pesisir sebagai tokoh utama di kawasan P3K. Bahkan, kalau pun ada peran, porsinya sangat tidak memadai.

“Masyarakat pesisir adalah pemegang hak (righ holder) utama sebagaimana diamanahkan konstitusi. Tapi, mereka tidak mendapatkan hak tersebut dengan memadai,” ucapnya.

Susan menuturkan, dengan selesainya pembahasan perda RZWP3K di 21 provinsi, maka tinggal 13 provinsi saja yang masih belum menuntaskannya. Tetapi, dari semua provinsi yang sudah menyelesaikan pembahasan, tak satupun yang menetapkan masyarakat pesisir sebagai bagian utama dari peraturan tersebut. Yang ada, justru menempatkan proyek investasi sebagai bagian utama.

 

Peran Nelayan

Menurut Susan, dari 21 perda yang sudah rampung, pembahasan tentang proyek infrastruktur skala besar masih mendominasi di kawasan P3K. Dengan demikian, peran industri masih mendapat porsi yang besar dan itu berbanding terbalik dengan peran nelayan kecil yang porsinya semakin mengecil. Fakta tersebut, bertentangan dengan konstitusi yang seharusnya menempatkan nelayan sebagai subjek utama.

Dengan peran yang luas, kata Susan, peraturan RZWP3K memberi ruang bebas bagi industri untuk melaksanakan proyek pembangunan infrastruktur dengan cara reklamasi, pertambangan, industri pariwisata pesisir dan pulau-pulau kecil, pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara, konservasi, dan sejumlah proyek lainnya. Peran tersebut akan terus membesar, jika 13 provinsi berhasil merampungkan pembahasan perda.

baca juga : Ruang Hidup Masyarakat Pesisir Dirampas oleh Perda RZWP3K?

 

Kapal penangkap ikan tradisional milik nelayan Wuring kelurahan Wolomarang kecamatan Alok Barat kabupaten Sikka. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Lebih jauh Susan memaparkan, salah satu contoh peran besar diberikan untuk industri, ada dalam Perda Provinsi Lampung No.1/2018 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Lampung Tahun 2018-2038. Dalam perda tersebut, KIARA mencatat luasan zona wisata alam bentang laut mencapai 23.911,12 hektare, zona wisata alam bawah laut seluas 680,32 ha, zona wisata alam pantai/pesisir dan pulau- pulau kecil seluas 347,87 ha, dan wisata olah raga air seluas 912,50 ha.

“Untuk zona pertambangan, Perda ini mengalokasi ruang seluas 12.585,53 hektare, untuk zona industri seluas 2.549,10 hektare. Namun untuk permukiman nelayan hanya dialokasikan seluas 11,66 hektare saja,” ujarnya.

Fakta tentang luasan untuk permukiman nelayan tersebut, menurut Susan sangatlah tidak masuk akal. Mengingat, dari catatan yang dimiliki KIARA, jumlah nelayan di Provinsi Lampung saat ini sebanyak 16.592 kepala keluarga (KK). Semua KK tersebut, diketahui tidak mendapat prioritas kebijakan kesejahteraan dalam perda RZWP3K Lampung.

Bukan hanya di Lampung, hal serupa juga ditemukan di Provinsi Kalimantan Selatan. Di dalam Perda No.13/2018 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2018 – 2038, KIARA mencatat zona pariwisata luasnya mencapai 10.094 ha, zona pelabuhan seluas 188.495 ha, zona pertambangan seluas 100.086 ha, dan zona Kawasan Strategis Nasional latihan militer seluas 187.946 ha.

“Sementara itu, zona pemukiman nelayan hanya dialokasikan seluas 37 hektare untuk 9715 keluarga nelayan,” sebutnya.

Selain di Lampung dan Kalsel, Susan juga menyebutkan hal serupa ditemukan pada Perda No.4/2018 tentang Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Kalimantan Utara Tahun 2018-2038. Pada perda, zona pertambangan dialokasikan seluas 8.909,70 ha, zona pariwisata seluas 4.971,51 ha, zona pelabuhan seluas 36.049,28 ha, dan zona konservasi seluas 29.918,80 ha.

“Sementara itu alokasi untuk pemukiman nelayan seluas 106 hektare bagi 7.096 keluarga nelayan,” tandasnya.

perlu dibaca : Kenapa Pembangunan Pesisir Terus Berdampak Negatif?

 

Panorama laut dari Dermaga Ketapang menuju ke Pulau Pahawang, Lampung. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Orientasi Pembangunan

Dari tiga perda yang sudah diterbitkan di atas, Susan mengungkapkan, itu menggambarkan bahwa masyarakat pesisir, khususnya nelayan, tidak mendapatkan ruang hidup dan bahkan sengaja dipinggirkan oleh Negara melalui Perda. Fakta tersebut menunjukkan bahwa orientasi pembangunan yang digagas Pemerintah Pusat atau Daerah masih belum mendukung kesejahteraan nelayan secara berkelanjutan.

“Perampasan ruang hidup nelayan kecil sangat nyata dan terang-terangan,” tuturnya.

Dari berbagai kajian yang dilakukan KIARA selama ini, menurut Susan, penataan ruang laut melalui peraturan zonasi tidak diperuntukkan bagi masa depan kehidupan nelayan dan ekosistem pesisir serta laut. Sebaliknya, itu diperuntukkan bagi kepentingan modal yang ingin merebut, melakukan komodifikasi, dan komersialisasi sumberdaya pesisir, kelautan, dan perikanan.

Susan memaparkan, sesuai mandat putusan Mahkamah Konstitusi No.3/2010, masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki hak mendasar, seperti:

  1. Hak untuk melintas dan mengakses laut;
  2. Hak untuk mendapatkan perairan yang bersih dan sehat;
  3. Hak untuk mendapatkan manfaat dari sumberdaya kelautan dan perikanan; dan
  4. Hak untuk mempraktikkan adat istiadat dalam mengelola laut yang telah dilakukan secara turun temurun.

Akan tetapi, Susan menyebutkan, walau putusan MK sudah sejak sembilan tahun lalu. Namun tanda-tanda perbaikan kebijakan yang berpihak terhadap masyarakat pesisir sekaligus ruang hidupnya tidak juga terlihat. Fakta- fakta di lapangan membuktikan, perampasan ruang hidup masyarakat pesisir terus terjadi dengan cepat.

baca juga : Pentingnya Pengelolaan Zonasi Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

 

Sebuah kapal nelayan melintas di perairan Teluk Jakarta, Muara Angke, Jakarta Utara. Teluk Jakarta mengalami tekanan lingkungan yang tinggi, salah satunya karena proyek reklamasi. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Sebelumnya, Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Brahmantya Satyamurti Poerwadi menyatakan, hingga sekarang sudah ada 21 provinsi yang sudah melengkapi dan mengesahkan dokumen RZWP3K menjadi peraturan daerah (Perda). Sementara, 13 provinsi tersisa hingga sekarang masih berjuang untuk merampungkannya.

“Perencanaan tata ruang luat dalam pengelolaan wilayah laut Indonesia dan sumber daya adalah hal yang penting,” ungkapnya.

Brahmantya mengatakan, salah satu masalah penting yang perlu ditangani oleh Indonesia sebagai negara kepulauan, adalah bagaimana mengembangkan dan mengelola sumber daya laut secara berkelanjutan, mencakup di dalamnya adalah ekonomi, lingkungan, dan juga sosial. Tetapi, dalam praktiknya, ketiga pilar tersebut sering sekali berkonflik dan berakhir tidak seimbang.

Dalam pandangan Brahmantya, untuk mencapai tujuan tiga pilar di atas, perlu dilakukan perencanaan tata ruang laut dengan mengacu pada proses pengalokasian beberapa aktivitas manusia ke dalam ruang laut. Menurut dia, manajemen sumber daya perairan (MSP) hingga saat ini masih dinilai sebagai alat yang efektif untuk meminimalkan konflik di antara pengguna sumber daya.

“Dan kemudian membawa pengelolaan laut yang lebih efektif,” tuturnya.

 

Exit mobile version