Mongabay.co.id

Chairil Anwar, Dosen UNM yang Larang Penggunaan Plastik di Kampus

 

Limbah, khususnya dari bahan plastik, menjadi salah satu isu global saat ini. Isu ini semakin menguat seiring dengan banyaknya kasus-kasus dampak limbah plastik ini bagi bumi, termasuk di lautan. Seperti misalnya, ditemukannya 5,9 kg sampah plastik di perut sebuah paus mati di Wakatobi, Sulawesi Tenggara, akhir 2018 lalu.

Chairil Anwar Korompot (47) termasuk orang yang prihatin dengan semakin gandrungnya kita pada penggunaan plastik. Dosen Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Makassar (UNM) ini menempuh cara yang cukup unik di kampusnya dalam mengurangi penggunaan plastik dalam keseharian. Ia melarang penyajian makanan dan minuman menggunakan wadah plastik di setiap acara ujian skripsi atau tesis.

“Saya melarang penyajian minuman dalam bentuk botol plastik mineral atau kue-kue yang diberi kemasan plastik. Saya minta disajikan di bosara, tanpa bungkusan plastik. Minumannya tidak perlu dipikirkan, karena saya selalu membawa tumblr ke mana-mana, termasuk ke kampus,” katanya dalam sebuah diskusi Nol Plastik di Makassar, akhir Mei 2019 lalu.

Ia juga melarang mahasiswa, terutama mahasiswa bimbingan skripsi dan tesis, memberikan draf proposal skripsi atau tesis dalam bentuk hardcopy, cukup dalam bentuk softcopy PDF.

baca : Benarkah Produksi Sampah Plastik Indonesia Terbanyak Kedua di Dunia?

 

Chairil Anwar Korompot (47), Dosen Universitas Negeri Makassar (UNM) yang melarang penggunaan plastik dalam penyajian acara sidang skripsi dan tesis di kampusnya. Ia berharap bisa memberi keteladanan kepada mahasiswa. Foto: Wahyu Chandra/ Mongabay Indonesia

 

Menurutnya, penting memberi keteladanan dalam menjaga lingkungan, apalagi dengan situasi saat ini hampir setiap aktivitas akan terkait dengan penggunaan plastik sekali pakai.

“Ini sebenarnya trennya baru-baru saja, mungkin karena dianggap lebih praktis.”

Chairil menyatakan sangat bersyukur ketika upayanya ini mendapatkan respons positif dari pihak kampus, meski diakuinya tindakannya ini dilakukan secara spontan, bukan sebagai sebuah gerakan.

“Ini bukan sebuah gerakan tapi sekedar kesadaran pribadi, yang dilandasi oleh kepedulian dan sebuah prinsip untuk melakukan kecil dalam rangka membalas jasa kepada bumi. Sekaligus untuk menjamin kedua anak saya akan mendapatkan masa depan yang lebih baik nantinya,” tambahnya.

Chairil sendiri menolak dianggap sebagai aktivis lingkungan yang serius dalam melakukan aksinya selama ini. Ia hanya berharap apa bisa berkontribusi terhadap gerakan Zero Waste yang kini sudah menjadi gerakan global.

“Saya berharap ini akan menjalar kepada khalayak yang lebih luas, karena yang saya didik di UNM adalah calon guru, yang pada suatu saat akan mendidik generasi muda. Mereka akan mengajar SD, SMP, SMA atau menjadi dosen. Mudah-mudahan ini juga ditularkan kepada anak-anak didik mereka kelak. Dan anak didik mereka akan melakukan hal yang sama di lingkungan masing-masing.”

Menurutnya, sangat penting memberi edukasi kepada anak-anak karena sebagian besar sampah plastik dihasilkan oleh mereka. Misalnya pembungkus permen, pembungkus kerupuk atau kemasan-kemasan penganan lainnya, yang berasal dari plastik.

“Saya berharap mahasiswa saya nantinya, ketika telah menjadi guru, bisa mempengaruhi anak didik mereka untuk mengurangi penggunaan plastik ini.”

baca juga : Bukan Sulap, Dimas Bagus Ubah Sampah Plastik Menjadi Bahan Bakar Minyak

 

Limbah plastik juga menjadi masalah utama di laut. Pesisir Pantai Losari setiap harinya dipenuhi limbah plastik yang berasal dari pengunjung dan sejumlah kanal pembuangan yang salurannya langsung menuju pantai. Foto: Wahyu Chandra/ Mongabay Indonesia

 

Chairil juga menyoroti penggunaan plastik skala masif yang terjadi di bulan puasa seiring dengan maraknya jualan takjil di pinggir jalan, yang sebagian besar menggunakan bahan dari plastik sebagai wadah.

“Baru-baru ini ketika mengakhiri sesi terakhir perkuliahan di kampus menjelang ramadan, saya berpesan ke mahasiswa bahwa bulan ramadan adalah bulan penuh ampunan, penuh rahmat jangan jadikan sebagai bulan penuh plastik.”

Di kelas yang diampunya, Chairil masih sering menyuruh mahasiswanya untuk berdiri dan membersihkan kelas sebelum kuliah dimulai. Dan itu berkali-kali dilakukannya. Ia menyayangkan karena itu terjadi bukan hanya di kelas D1, tetapi di kelas Pascasarjana.

“Saya tidak percaya bahwa harus meminta mahasiswa pascasarjana melakukan itu. Ini pasti ada yang salah dengan mindset kita. Saya sering menyindir ini di kelas tapi hampir tidak ada perubahan sama sekali.”

Pengalaman ini membuatnya skeptis dengan berbagai aksi pengurangan plastik yang spanduknya banyak ia temukan di kampus-kampus. “Hanya sekedar jargon tanpa tindakan,” tambahnya.

perlu dibaca : Boy Candra Sulap Sampah Plastik jadi Pipa Berharga

 

Total sampah yang dikumpulkan dari aksi bersih pantai dan laut sekitar 8,81 ton, didominasi oleh sampah plastik 5,6 ton, sampah pecahan kaca sebanyak 117 kg, sampah logam 90 kg, sampah styrofoam 263 kg, dan sampah lainnya sebanyak 1,9 ton. Foto: Sapril Akhmady/Yayasan Makassar Skalia/ Mongabay Indonesia

 

Pengalaman di masa kecil

Chairil bercerita bahwa masa remajanya dilewati nyaris tanpa plastik, terutama plastik sekali pakai.

“Saya merasakan apa-apa ditaruh di piring, minuman juga masih dituang dari teko, bukan dari botol kemasan. Saya berasal dari Bolaan Mongondow Sulawesi Utara di mana masih banyak makanan dikemas di daun pisang atau daun lain.”

Menurutnya, perubahan mulai terjadi di tahun 1980-an, ketika orang-orang mulai beralih ke plastik. Paling awal yang ia amati adalah penggunaan kantong plastik atau kresek.

“Di kampung saya dinamai tas cecak, mungkin berasal dari nama penyanyi Cicha Koeswoyo. Perubahan itu mulai terjadi ketika perlahan-lahan peralatan di rumah seperti kursi, meja, dan lainnya terbuat dari plastik. Saya bisa membandingkan apa yang terjadi di zaman pra-plastik dengan zaman plastik ini, yang luar biasa perbedaannya.”

Terkait kepeduliannya terhadap lingkungan, Chairil mengaku sejak kecil telah dididik untuk selalu menjaga kebersihan.

“Saya dibesarkan di kampung, rumah saya di tengah-tengah pasar. Orang tua saya punya rumah makan dengan produksi sampah yang luar biasanya. Di sekitar lingkungan kami hanya beliau yang membersihkan sampah dan saya diajar untuk membuang sampah dengan benar, tidak membuang sampah di selokan,” ungkapnya.

menarik dibaca : Foto: Beruang Kutub yang Kelaparan ini Memakan Sampah Plastik

 

Sejumlah warga terlihat memulung di tempat pembuangan sampah (TPA) Kaliori, Banyumas, Jateng, yang kembali dibuka pada pekan lalu. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Kesadaran itu semakin besar ketika ia mendapat kesempatan studi S2 dan S3 di Australia, di mana ia tinggal di daerah yang masyarakatnya memiliki kepedulian terhadap lingkungan.

“Saya lebih bisa melihat secara kasat mata perbedaan antara kita dengan mereka terkait perilaku kebersihan. Kampung-kampung ditata dengan bersih, kontras dengan kampung saya yang sangat kotor.”

Menurutnya, masyarakat Indonesia sebenarnya memiliki berbagai kearifan dalam menjaga lingkungan, ini bisa menjadi modal sosial. Sayangnya kearifan ini tidak menjadi gerakan yang meluas.

Sebaliknya, di Australia, kesadaran atas lingkungan itu justru lahir dari sebuah movement, di mana ada kesadaran bersama untuk mewariskan bumi yang lebih baik kepada anak cucu.

“Mereka melakukannya di mana-mana termasuk di sekolah-sekolah. Saya beberapa kali melihat bagaimana anak-anak diantar oleh orang tuanya ke sebuah supermarket bukan untuk belanja, tetapi untuk mengembalikan kantong-kantong plastik yang telah mereka gunakan.”

Aktivitas mengembalikan kantong plastik ini, menurutnya, memang telah menjadi program untuk anak-anak sekolah di salah satu kota di Australia di mana Chairil sempat menetap.

“Mereka mengembalikan kantong plastik ke supermarket dan itu kemudian digunakan kembali. Kantong plastik digunakan berulang-ulang. Di rumah, mereka juga memiliki wadah untuk mengumpulkan kantong plastik.”

 

Penggunaan plastik sebagai bungkus makanan seperti jajanan di pasar-pasar tradisional di Denpasar, Bali. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Meski demikian, Chairil menyadari tidak bisa sepenuhnya menghindari penggunaan plastik karena telah menjadi bagi kehidupan.

“Kita tidak bisa menolak semua plastik, karena itu tidak realistis. Bagaimana pun produk plastik itu ada yang bermanfaat dan sulit digantikan bahan lain. Yang harus ditolak adalah plastik sekali pakai.”

Chairil sendiri berharap ada kebijakan kampus secara lebih luas dalam mengurangi konsumsi plastik ini, bukan hanya bukan hanya di kampusnya, tetapi juga di universitas lain.

“Ini mungkin bisa masuk dalam program pengabdian masyarakat untuk dosen-dosen dari guru besar di kampus. Kebetulan saya baru terpilih sebagai ketua jurusan, saya nantinya akan menerapkan kebijakan ini untuk lingkup jurusan saya.”

 

Exit mobile version