Mongabay.co.id

Cukai Rp200, Akankah Efektif Tekan Penggunaan Kantong Plastik?

 

 

Kementerian Keuangan berencana mengenakan cukai untuk kantong plastik. Dalam pembahasan minggu lalu dengan Komisi XI DPR, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, optimistis penerapan cukai kantong plastik bisa berjalan tahun ini. Dalam rencana itu, pemerintah akan menarik Rp200 cukai untuk tiap kantong plastik atau Rp30.000 per kilogram.

Pemerintah juga berencana plastik ‘ramah lingkungan’ diberi keringanan berupa bebas cukai atau tarif lebih rendah dari plastik konvensional. Pemerintah segera menyiapkan payung hukum penerapan cukai plastik dalam peraturan pemerintah (PP) dan tata cara pemungutan dalam peraturan menteri keuangan (PMK). Kalau aturan ini berjalan, setelah kena cukai, harga jual kantong plastik jadi Rp450-Rp500 per lembar.

Akankah kebijakan ini efektif mengurangi sampah plastik di Indonesia?

“Menurut kita, nggak,” kata Tiza Mafira, Direktur Eksekutif Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik (GDIKP) saat menerima donasi program Envirochallenge dari konsumen sebuah perusahaan kecantikan dan perawatan, The Body Shop, di Jakarta.

Envirochallenge adalah program pendidikan yang mendorong siswa SMA sederajat untuk menemukan masalah lingkungan, terutama kebijakan plastik di sekolah dan menemukan solusi sendiri atas masalah itu.Program ini diinisasi GIDKP sejak 2016 dan diikuti 40 sekolah, melibatkan 900 siswa siswi di Jabodetabek, Bandung Raya dan Bali.

Dengan donasi Rp447 juta dari konsumen The Body Shop, tahun ini Envirochallenge akan menyasar 35 sekolah dan melibatkan 800 siswa siswi di Bandung dan Jabodetabek.

 

Petugas DLHK Denpasar saat melakukan operasi kantong plastik di Pasar Kreneng, Denpasar, Bali, Rabu (8/1/2018). Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

GDIKP, katanya, mendukung pemberlakukan cukai untuk kantong plastik kalau bertujuan mengubah perilaku masyarakat agar mengurangi penggunaan kantong plastik sekali pakai.

“Kalau tujuan untuk mengeruk pendapatan negara sebesar-besarnya dari kantong plastik, kami tidak setuju,” katanya yang sudah memulai kampanye diet kantong plastik sejak 2010.

Dia menilai, Rp500 untuk selembar kantong plastik tak cukup mahal untuk membuat masyarakat urung membeli kantong plastik. Pemerintah, katanya, perlu menaikkan harga cukai hingga harga jual benar-benar membuat masyarakat merasa keberatan membeli kantong plastik.

 

Plastik ‘mudah mengurai’ juga bahaya

Hal lain yang menjadi sorotan GIDKP, yakni usulan memberi keringanan cukai pada kantong plastik oxo-biodegradable yang diklaim dapat terurai lebih cepat.

Plastik oxo-biodegradable sudah dilarang di Eropa oleh UN Environmental Assembly karena termasuk dalam bahan beracun dan berbahaya yang tak boleh diimpor.

Mengapa? Sederhananya, karena plastik jenis ini seakan terurai lebih cepat, dalam dua atau tiga tahun. Saat ‘terurai’, plastik ini tetap meninggalkan mikroplastik yang masuk ke dalam air dan tanah.

“Terurai itu mestinya kembali ke alam, compostable menjadi unsur hara,” kata Tiza.

Plastik oxo-biodegradable, katanya, tak memenuhi syarat untuk disebut terurai. Bahayanya, mikroplastik yang terintegrasi ke dalam tanah dan air kemudian mencemari air dan tanah. Buktinya, saat ini ditemukan mikroplastik dalam ikan, air minum dalam kemasan, bahkan feses manusia di Indonesia.

Dengan kondisi ini, katanya, plastik oxo-biodegradable justru lebih berbahaya dari plastik konvensional yang perlu ratusan tahun terurai.

“Tidak setuju jika kena tarif lebih rendah, harusnya dilarang sama sekali.”

 

The Body Shop, memberikan dukungan kepada Gerakan Diet Kantong Plastik. The Body Shop, salah satu produsen kosmetik, yang sudah menjalankan praktik tanggung jawab perusahaan terhadap sampah mereka. Mereka meminta, konsumen kembalikan kemasan bekas pakai untuk didaur ulang. Konsumen pun dapat poin dari aksi kembalikan kemasan ini. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

Gaya hidup

Indonesia disebut sebagai negara pencemar kedua sampah plastik ke lautan setelah Tiongkok, oleh Jenna Jambeck , seorang peneliti dari Universitas Georgia, Amerika. Meskipun Kementerian Kelautan dan Perikanan, membantah hasil studi ini namun produksi plastik tetap target tumbuh 15% pada 2019.

Terlepas dari itu semua, GIDKP menyerukan perubahan gaya hidup ramah lingkungan untuk mengurangi bahkan tak lagi menggunakan kantong plastik sekali pakai.

Lifestyle ramah lingkungan, you have to buy less,” kata Tiza.

Saat berbelanja, gunakan tas belanja pakai berulang kali. Masyarakat, katanya, juga harus waspada dengan label eco friendly maupun label ramah lingkungan lain yang belum tentu ramah.

Pemerintah, juga harus berhati-hati memberikan endorse untuk produk yang diklaim ramah lingkungan, seperti plastik oxo-biodegradable.

Data menunjukkan, daerah yang punya aturan pelarangan kantong plastik sekali pakai, seperti Makassar dan Balikpapan, jumlah sampah plastik ikut menurun.

 

Dorong tanggung jawab perusahaan

Sisi lain, pemerintah juga harus segera menyelesaikan pembahasan mengenai Extended Producer Resposibility (EPR) yang mengatur soal bagaimana industri harus ikut bertanggungjawab dalam pengelolaan sampah kemasan produk mereka.

Meski sudah diatur dalam UU No 18/2008 tentang pengelolaan sampah, namun peta jalan EPR masih belum punya payung hukum hingga kini.

“Harusnya ini sudah jadi aturan tersendiri.”

Meski demikian, sudah ada produsen sukarela melakukan EPR, seperti The Body Shop, dengan program bring back our bottles yang mengajak semua konsumen mengembalikan botol kosong produk mereka ke toko manapun di Indonesia. Mereka lalu mendaur ulang oleh perusahaan daur ulang yang bertanggungjawab.

“Ini best practice yang harusnya sudah dilakukan sejak lama.”

 

 

 

 

 

Exit mobile version