Mongabay.co.id

Kala Kualitas Udara Jakarta Buruk, Warga Gugat Pemerintah ke Pengadilan

Pegiat lingkungan yang aksi dengan bersepeda dan pakai masker di Bundaran HI Jakarta. Foto: Indra Nugraha/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Udara di Jakarta, buruk. Sekitar 10 juta penduduk Jakarta menghirup udara tak sehat hampir setiap hari. Kelompok masyarakat sipil menuntut pemerintah serius mengatasi persoalan iini. Pada 4 Juli, warga Jakarta, mengajukan gugatan warga negara atau citizen law suit (CLS) atas kualitas udara buruk di Jakarta.

Secara resmi, gugatan yang tergabung dalam Tim Advokasi Gerakan Ibu Kota (Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta Terdiri atas Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Greenpeace Indonesia, Walhi dan Indonesian Center Environmental Law (ICEL) bersama dengan masyarakat Jakarta mendaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 4 Juli 2019.

Mulai dari pengemudi ojek online, mahasiswa, pengacara, dosen, karyawan swasta, pegawai negeri sipil dan lain-lain turut andil dalam gugatan bernomor perkara 374/Pdt.G/LH/2019/PNJkt.Pst.

Baca juga: Laporan Ungkap Polusi Udara Jakarta Terburuk di Asia Tenggara

Gugatan warga negara ini menuntut hak mendapatkan udara bersih. Mereka menggugat tujuh tergugat, yakni, Presiden RI, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Dalam Negeri, Gubernur Jakarta, Gubernur Jawa Barat dan Gubernur Banten.

Sebelumnya, Tim Advokasi Ibu Kota telah membuka Pos Pengaduan Online Calon Penggugat untuk mengajak masyarakat yang merasakan dirugikan akibat pencemaran udara untuk turut menjadi calon penggugat, pada 14 Maret hingga 14 April.

Awalnya, ada 57 warga yang mendaftar jadi calon penggugat, dengan proses administrasi dan komitmen individu yang resmi pengugat berjumlah 31 orang. Jadi penggugat, perlu ada komitmen meluangkan waktu, misal, untuk hadir saat proses persidangan.

”Sebenarnya poin utama atas abai sebagai pemangku kepentingan pengambil kebijakan untuk mengumumkan kualitas udara sedang tidak sehat,” kata Bondan Andriyanu, Juru Kampanye Energi Greenpeace Indonesia, saat ditemui di PN Jakarta Pusat, Kamis (5/7/19).

Peringatan kepada masyarakat, kondisi udara yang tidak sehat adalah hak warga negara. Kemudian, dengan penelitian yang mengkaji sumber polusi berlanjut dengan menghasilkan kebijakan.

”Kebijakan diambil dengan melihat scientific evidence berdasarkan sumber-sumber pencemaran apa saja, dan mengukur keberhasilan pengambilan kebijakan,” katanya. Idealnya, inventarisasi sumber pencemaran berkala setiap tahun.

Selama ini, persoalan polusi udara tak ditanggapi serius negara dengan memberikan secara terbuka sumber pencemar dan kondisi udara saat ini secara berkala dan konsisten kepada masyarakat.

Jakarta, kata Bondan menjadi ibukota negara Indonesia yang memiliki stasiun pantau udara paling banyak di Indonesia. Meski, jumlah masih sangat kurang dari ideal.

Hingga kini, alat pantau kualitas udara hanya tujuh saja di Jakarta, yakni, di Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Barat; satu milik KLHK di Gelora Bung Karno dan satu milik BMKG.

Adapun, satu stasiun hanya bisa melingkupi lima kilometer persegi wilayah sekitarnya. Padahal, luas Jakarta mencapai 660 kilometer persegi. Idealnya, alat itu ada dalam sekitar lima kilometer atau sekitar 132 alat pemantau.

Jadi, untuk mengumumkan kualitas udara tak sehat belum cukup mewakili se-Jakarta. ”Itu baru Jakarta saja. Kita juga turut menggugat wilayah sekitar, Jawa Barat dan Banten, karena sampai saat ini tidak ada data, kenapa itu tidak pernah diangkat. ”

Bondan mendorong, masyarakat beralih gunakan transportasi massal, dan mendesak pemerintah menambah alat pengukur kualitas udara agar dapat melacak sumber polusi. Selain itu, mereka meminta, pemerintah memperketat regulasi tekait kebijakan Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU).

”Pemerintah harus belajar dari Jambi yang waktu itu kebakaran hutan, sebulan dan dua bulan, kebakaran. Kebakaran makin parah, asma ribuan dicatat tapi alat pemantau mencatat sedang. Ya, itu bisa jadi alat bukti bahwa baku mutu yang saat ini longgar dan belum bisa melindungi masyarakat dari polusi udara,” katanya.

Bondan pun mendorong pemantauan ISPU real time dan bisa diakses masyarakat online dan pemerintah perlu mengeluarkan peringatan dini jika kondisi udara sudah menunjukkan tidak sehat. ”Kalau kualitas udara sedang tidak sehat, seharusnya ada peringatan dini kepada masyarakat karena menghirup udara sehat adalah hak kita semua.”

Peringatan dini, katanya, sangat perlu bagi mereka kelompok rentan, seperti orang sakit, lansia, bayi, anak-anak dan ibu hamil.

Selain 31 penggugat resmi, masyarakat pun mendukung upaya mengurangi polusi udara di Jakarta yang sudah mengkhawatirkan melalui petisi online aku dan polusi. Hingga 6 Juli 2019 pukul 09.00 sudah ada 1.429 orang menandatangani.

Dukungan ini diharapkan menghasilkan kebijakan berdasarkan kajian ilmuah dan bisa dirasakan dampaknya pada masyarakat.

”Saya berharap gugatan ini ditindaklanjuti karena selama ini pemerintah selalu ngeyel soal polusi udara, gak percaya sama data, metod, aku ingin benar-benar ditindaklanjuti,” kata Ni Komang Ayu Leona, warga Jakarta, juga salah satu penggugat.

Dia contohkan, dengan mengganti kendaraan bahan bakar gas dan listrik, serta insentif bagi industri ramah lingkungan agar masyarakat mau beralih.

Dia menyebutkan, pemerintah kurang bergerak cepat memberikan solusi tepat melindungi warganya. ”(Pemerintah) ngeyel, ga ada tindakan, mereka tidak mencari tahu benar-benar sumber (pencemar) apa, kadang-kadang cuma nyalahin kendaraan padahal kan sumber polusi tidak cuma satu.”

 

Rasio volume kendaraan dengan panjang jalan di Jakarta yang sudah tidak lagi seimbang, membuat kemacetan menjadi keseharian. Jumlah kendaraan pribadi dan kemacetan menjadi faktor boronya konsumsi BBM di Indonesia. Foto : Jay Fajar / Mongabay Indonesia

 

***

Di sosial media,  Twitter pun ramai #SetorFotoPolusi dengan angle foto sama namun kontras warna langit yang berbeda, berwarna biru dan abu-abu. Langit berwarna biru menjadi sebuah kemewahan bagi masyarakat Jakarta.

Keresahan ini pun dirasakan oleh Leona yang rentan karena memiliki penyakit pernapasan, asma sejak lahir. ”Kalau aku merasa kualitas udara memang kotor, hidung suka gatal, sering gangguan THT.”.

Perempuan yang baru tiga tahun tinggal di Jakarta ini merasakan, sudah setahun terakhir langit Jakarta sering berkabut dan udara makin kotor. Bahkan, dia harus merogoh kocek lebih untuk bisa merasa nyaman.

”Saya harus siap sedia centolin dan masker N95. Selain berat karena perasaan tidak nyaman yang timbul saat penyakit kambuh, tapi juga dari segi biaya.”

“Saya bukan orang berpenghasilan tapi harus rela keluar uang lebih buat nebulizer karena tidak ditanggung BPJS, juga untuk membeli masker N95 yang terbilang mahal,” katanya. Kondisi ini berbeda saat dia tinggal di Bali.

Sama dengan Istu Prayogi, sudah tinggal 30 tahun di Jakarta. Tahun 2010, dia divonis paru-paru sensitif udara kotor. ”Dokter menyuruh saya untuk selalu memakai masker karena saya sensitif terhadap udara kotor. Itu sangat tidak nyaman dan mengganggu aktifitas dan kerja saya,” katanya.

Hak masyarakat mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan amanat dari UUD 1945, termasuk pada udara yang bersih.

 

 

Tak buruk?

Tim Advokasi Ibu Kota pun menyebutkan dalam gugatan, yakni dalam dua pekan terakhir, di antara 19-27 Juni, Jakarta beberapa kali menempati kota dengan kualitas udara terburuk di dunia dengan indeks kualitas udara kategori tidak sehat dan melebihi baku mutu ambien harian, yakni, konsentrasi 2,5 melebihi 65 mikrogram/m2.

Adapun, data ini terpantau melalui aplikasi Air Visual, yang merekap data dari dua stasiun pemantau milik Kedutaan Besar Amerika Serikat, satu stasiun milik BMKG, serta empat alat Air Visual (di Pejaten, Rawamangun, Mangga Dua dan Pegadungan).

Saat dibandingkan dengan data konsentrasi PM2,5 Januari-Juni 2019 di Stasiun GBK milik GBK, MR Karliansyah, Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK mengakui kurang bagus namun perlu dilihat secara menyeluruh. Pada grafik melihatkan, sempat melebihi baku mutu 65 μg/m3.

”Data betul jelek (pada tanggal sama), tapi rata-rata harian PM 2,5 kita sebesar 31,49 mikrogram per meter kubik,” katanya.

Kalau dibandingkan dengan baku mutu udara ambien nasional, yakni, 65 μg/m3, artinya kualitas udara di Jakarta masih bagus dan sehat. Sedangkan, kalau mengacu standar WHO angka 25 μg/m3, menyebutkan kualitas udara di Jakarta, masuk kategori sedang.

”Di Jakarta selama Juni, 15 hari kondisi udara baik, 10 hari sedang dan 5 hari tidak memiliki data,” katanya.

Karliansyah menyebutkan, nilai konsentrasi parameter PM 2,5, harus disampaikan dalam bentuk rata-rata harian atau tahunan. Adapun ketentuan ini tercantum sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41/1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.

”Saya khawatir, yang disampaikan itu data sesaat, bukan rata-rata. Kami akui, betul itu, tetapi dirata-ratakan.”

KLHK terus berupaya mengembangkan air quality monitoring makin lengkap dan realtime serta mudah untuk diakses siapa saja.

Karliansyah mengatakan, sedang merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 41/1999, di mana baku mutu kualitas udara ambien nasional akan revisi dari 65 μg/m3 menjadi 35 μg/m3. ”Diusahakan masuk prolegnas (program legislasi nasional) tahun ini.”

 

Keterangan foto utama:    Pegiat lingkungan yang aksi dengan bersepeda dan pakai masker di Bundaran HI Jakarta. Foto: Indra Nugraha/ Mongabay Indonesia

 

Warga Jakarta, usai menyerahkan gugatan ke pengadilan. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version