Mongabay.co.id

Alasan Listrik, PLTA akan Dibangun di Sungai Alas-Singkil

 

 

Sungai Alas-Singkil akan dibendung, demi meningkatkan pasokan listrik. Pembangkit Listrik Tenaga Air [PLTA] berkapasitas 126 mega watt, berlokasi di Desa Pasir Belo, Kecamatan Sultan Daulat, Kota Subulussalam, Aceh, rencananya dibangun oleh gabungan PT. Atmo Daya Energi [Adein], PT. Hyundai Engineering, dan Saman Corporation guna mewujudkan keinginan tersebut.

Perusahaan telah memaparkan rancangannya ke pejabat Satuan Kerja Pemerintah Kota [SKPK] dan Dewan Perwakilan Rakyat Kota Subulussalam, pada 28 Juni 2019.

Terhadap rencana tersebut, Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan [KPH] Wilayah VI, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh, Irwandi mengatakan, proyek jelas berada di kawasan hutan lindung. Berbatasan langsung dengan Taman Nasional Gunung Leuser [TNGL].

“Jika dilihat dari rencana, posisi PLTA ada di hutan yang berfungsi lindung, bukan di zona pemanfaatan. Sesuai aturan hukum, di zona ini tidak boleh ada kegiatan,” ujarnya.

Irwandi berharap, pelaksana proyek mematuhi aturan terkait kawasan hutan. “Sebelum status hutan tersebut direvisi, tidak boleh ada aktivitas,” jelasnya.

Komisaris PT. Atmo Daya Energi, Mukmin Widyanto dalam pertemuan mengatakan, pihaknya akan mengusulkan perubahan zonasi dari lindung ke pemanfaatan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK]. “Kami tidak akan melanggar aturan, akan mengusulkan perubahan status kawasan hutan,” terangnya.

Baca: Foto: Sisi Lain Leuser dari Sungai Alas-Singkil

 

Sungai Alas-Singkil termasuk sungai terpanjang di Aceh. Alirannya juga menuju Samudera Hindia. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Penolakan

Ketua Komunitas Pemuda Pencinta Alam [Komppas] Subulussalam menyebutkan, pihaknya memiliki data dampak negatif pembangunan PLTA tersebut. Selain berisiko merusak lingkungan, juga akan memutus jalur transportasi sungai masyarakat Kota Subulussalam, Kabupaten Aceh Singkil, Aceh Tenggara, dan Aceh Selatan.

“Kegiatan ini sangat bertentangan dengan arah kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah [RTRW] Aceh 2013-2033. Sejatinya, sungai ini akan digunakan untuk jalur transportasi antara empat daerah tersebut. Belum lagi kesenjangan ekonomi yang bakal terjadi, mengingat sebagian besar masyarakat yang tinggal di sekitar proyek hidupnya miskin,” ujar Amri Purnama.

Rudi Putra, Direktur Forum Konservasi Leuser [FKL] menjelaskan, pembangunan PLTA masih tahap perencanaan, tapi jika benar dilaksanakan akan mengancam hutan dan kehidupan masyarakat yang selama ini menggantungkan hidup dari sungai.

“Sungai Alas-Singkil dimanfaatkan masyarakat mulai dari Kabupaten Gayo Lues, Aceh Tenggara, Aceh Selatan, Aceh Singkil, dan Kota Subulussalam sebagai tempat mencari nafkah,” ujarnya.

Baca: Sisi Menawan Rawa Singkil yang Luput Perhatian

 

Sungai Alas-Singkil memiliki potensi air dan curah hujan tinggi. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Rudi menyebutkan, di Sungai Alas-Singkil, ribuan masyarakat menggantung hidup dengan mencari ikan, atau di anak-anak sungai yang hulunya ke Sungai Soraya, seperti sungai Bengkung.

“Ini harus jadi perhatian pemerintah, jangan sampai mengganggu kehidupan masyarakat.”

Keberadaan PLTA juga akan mengganggu Stasiun Riset Soraya yang telah didirikan sejak 1994. Selama ini, jalur transportasi ke stasiun melalui sungai. Selain itu, hutan lindung Soraya sangat penting sebagai hutan dataran rendah dan juga jalur perpindahan satwa dari hutan Leuser di bagian tenggara dan tengah ke selatan atau ke Suaka Margasatwa Rawa Singkil dan sebaliknya.

“Curah hujan yang tinggi di Gayo Lues dan Aceh Tenggara, menyebabkan sungai ini sering meluap bahkan banjir bandang. Hal ini juga dikhawatirkan akan menghancurkan bendungan,” paparnya.

Baca: Soraya, Stasiun Penelitian yang Penuh Tantangan

 

Sungai Alas-Singkil yang begitu memantang untuk ditelusuri. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Direktur Walhi Aceh Muhammad Nur berpendapat, upaya perubahan zonasi lindung ke pemanfaatan untuk pembangunan PLTA harus ditolak. Kondisi ini akan mengurangi kawasan hutan yang penting bagi kehidupan masyarakat Aceh Tenggara, Subulussalam, Aceh Singkil dan beberapa daerah lain.

“Hasil kajian Walhi Aceh menunjukkan, pembangunan ini tidak masuk dalam 24 rencana pengembangan pembangkit listrik tenaga air di Aceh. Dasarnya, sebagaimana tercantum dalam pasal 23 ayat 3 poin d Qanun Aceh Nomor 19 Tahun 2018 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh 2013-2033,” ujarnya.

Muhammad Nur juga mengatakan, PLTA di Sungai Alas-Singkil tidak masuk dalam rekomendasi daftar potensi proyek PLTA berdasarkan Masterplan of Hydro Power Development, sebagaimana termaktub pada hal III–19 Rencana Usaha Penyediaan Listrik [RUPTL]–PT PLN tahun 2019-2028.

“Proyek ini harus dibatalkan. Pemerintah di Aceh maupun pusat diharapkan tidak menerbitkan izin. Kajian mendalam terhadap dampak buruk pembangunan PLTA harus dilakukan,” tegasnya.

Baca juga: Tidak Hanya Mengancam Kelestarian Leuser, Peneliti: PLTA Tampur Berada di Wilayah Rawan Gempa

 

Sungai Alas-Singkil akan dibendung, demi alasan listrik. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Sungai panjang 

Sungai Alas-Singkil termasuk sungai terpanjang di Aceh. Bentangannya melewati Kabupaten Gayo Lues, Aceh Tenggara, Aceh Singkil, dan Kota Subulussalam hingga ke wilayah Sumatera Utara. Alirannya juga menuju Samudera Hindia.

Berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 12 Tahun 2012 tentang Penetapan Wilayah Sungai, Aceh memiliki sembilan wilayah sungai besar. Salah satunya adalah Sungai Alas-Singkil yang luasnya mencapai 10.090,13 kilometer persegi.

Sungai ini memiliki potensi air dan curah hujan tinggi. Rata-rata mencapai 17-18 lt/dt/kilometer persegi dengan curah hujan mencapai 3.000 hingga 4.500 mm.

Melewati tiga kabupaten dan satu kota di Aceh, sungai ini memiliki sejumlah nama. Di Gayo Lues, masyarakat menyebut Aih Agusen atau Aih Betong. Di Aceh Tenggara, sungai ini bernama Lawe Alas. Di Aceh Singkil dinamakan Sungai Singkil. Sementara di Kota Subulussalam masyarakat menyebutnya Lae Soraya.

 

 

Exit mobile version