Mongabay.co.id

Perda RZWP3K, Dinanti untuk Ketertiban Pembangunan di Kawasan Pesisir

 

Kritikan tajam dari sejumlah pegiat lingkungan berkaitan dengan rencana peraturan zonasi pesisir di seluruh provinsi, tak menyurutkan tekad Pemerintah Indonesia untuk mewujudkan peraturan daerah (Perda) tentang rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K) di 34 provinsi. Bahkan, Pemerintah terus mendorong setiap provinsi bisa menyelesaikan pembahasan rancangan perda dengan segera.

Asisten Deputi Bidang Lingkungan dan Kebencanaan Maritim Kementerian Koordinator Kemaritiman Sahat M Panggabean dua pekan lalu di Jakarta mengatakan, Pemerintah terus mendorong agar seluruh provinsi bisa merampungkan pembahasan raperda untuk menjadi perangkat hukum dalam penataan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil.

Menurut Sahat, saat ini terdapat provinsi yang masih berproses untuk merampungkan proses pembahasan dan masing-masing memiliki proses yang berbeda. Termasuk, Provinsi Aceh yang hingga sekarang prosesnya masih tertahan di DPR Aceh, Provinsi Kepulauan Riau yang masih dalam proses melengkapi data reklamasi Kota Batam, dan Bali yang masih terhambat karena rencana reklamasi di kawasan Teluk Benoa.

Selain itu, provinsi yang masih melaksanakan proses, adalah Provinsi Banten yang masih menunggu penyelesaian proyek perluasan Bandara Soekarno-Hatta di Tangerang, Provinsi Papua yang masih harus melengkapi dokumen awal, Provinsi Jambi dan Kalimantan Timur yang masih berproses di tingkat Pemerintah Provinsi, dan Provinsi Bangka Belitung yang harus menyelesaikan proses berkaitan dengan wilayah tambang milik PT Timah.

“Sementara, ada juga sekitar empat provinsi yang prosesnya masih tertahan di KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan),” ungkapnya.

Khusus untuk Bali, Sahat mengaku hingga saat ini prosesnya masih panjang karena masih harus menunggu surat dari Presiden RI. Namun, Gubernur Bali diketahui sudah mengirim surat kepada Presiden RI untuk meminta bantuan penyelesaian di Teluk Benoa. Kabar tersebut didapat dari Kepala Subdit Zonasi Daerah KKP Krishna Samudera.

baca : Peraturan Zonasi Pesisir Hadir untuk Pinggirkan Masyarakat Pesisir

 

Siluet aktivitas warga nelayan disenja hari saat di bibir pantai Kondang Merak, Malang, Jatim. Foto : Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Teluk Benoa

Menurut Sahat, upaya yang sudah dilakukan oleh Gubernur Bali, harus diapresiasi oleh Pemerintah Indonesia. Namun, upaya tersebut harus mendapat dukungan dari kementerian terkait untuk bisa memproses permohonan bantuan tersebut. Dalam hal itu, ada tiga kementerian yang berwenang yang ditugaskan untuk bisa membalas surat tersebut.

Adapun, tiga kementerian tersebut, adalah Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), KKP, dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Ketiga kementerian tersebut diharapkan bisa segera membalas surat permohonan bantuan dari Gubernur Bali terkait reklamasi di Teluk Benoa.

“Kita minta kepada Sekretariat Kabinet untuk menyurati ketiga Kementerian yang diminta Presiden untuk saling berkoordinasi untuk melakukan kajian terkait surat dari Gubernur Bali,” tuturnya.

Menurut Sahat, dalam menyelesaikan permasalahan seperti di Teluk Benoa, memang diperlukan pendekatan keberlanjutan untuk lingkungan sekitar. Dengan demikian, bagaimana setiap isu seperti di Teluk Benoa bisa diselesaikan dengan baik dengan tetap menyerap aspirasi warga lokal. Agar bisa selesai lebih cepat, Kemenko Maritim akan berkoordinasi dengan KLHK berkaitan dengan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).

Sahat mengatakan, walau KLHK tidak berada di bawah koordinasi Kemenko Kemaritiman, namun pihaknya bisa tetap melakukan koordinasi. Dengan demikian, proses penyelesaian pembahasan raperda RZWP3K bisa terus berlanjut di seluruh provinsi tersisa. Tanpa Perda RZWP3K, dia menyebut kalau segala proses perizinan untuk kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil tidak akan pernah bisa keluar.

“Itu berarti juga tidak ada pembangunan di sana,” ucapnya tegas.

baca juga : Demi Keberlanjutan Pesisir, Setiap Provinsi Wajib Selesaikan Perda RZPW3K

 

Kondisi di Pesisir Pantai Marosi di Sumba Barat, ketika dilakukan pengukuran lahan untuk industri pariwisata. Foto: dokumen Walhi NTT

 

Pentingnya penyelesaian raperda RZWP3K, menurut Sahat, karena sampai sekarang sudah banyak investor yang ingin menanamkan modal di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, namun masih terhambat dengan peraturan. Penyebabnya, sampai sekarang kawasan tersebut peruntukannya masih tumpang tindih.

Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Alam dan Jasa Kemenko Bidang Kemaritiman Agung Kuswandono belum lama juga mengatakan Pemerintah Indonesia terus bekerja keras untuk bisa mendorong seluruh provinsi bisa menyelesaikan pembahasan raperda dan mengesahkannya menjadi perda. Upaya percepatan terus dilakukan, karena Pemerintah ingin penataan yang tertib di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil.

Menurut Agung, Perda RZWP3K penting untuk segera diselesaikan, karena bisa menyelesaikan persoalan peraturan yang banyak tumpang tindih di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Dengan perda tersebut, peraturan akan bisa disederhanakan menjadi satu dan lebih memudahkan dalam proses penerbitan perizinan untuk segala kegiatan yang ada di kawasan pesisir.

“Perizinan harus terpadu, ada imigrasi di Kementerian Hukum dan HAM, ada karantina di KKP, karantina di Kementerian Pertanian juga, ada KLHK, di bawahnya juga ada koordinasi dengan Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, ada dengan Kementerian/Lembaga terkait lainnya, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), makanya itu yang bikin kita ruwet,” paparnya.

perlu dibaca : Ruang Hidup Masyarakat Pesisir Dirampas oleh Perda RZWP3K?

 

Nelayan pulang dari melaut di pesisir pantai Pelabuhan Ratu, Jawa Barat. Foto : Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Tumpang Tindih

Agung menambahkan, dalam menerbitkan dokumen perizinan, Pemerintah menginginkan itu dilakukan secara terpadu dengan mengedepankan kepentingan nasional. Jika itu sudah bisa dilakukan dalam setiap penerbitan dokumen perizinan di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, maka keuntungan akan didapat oleh masyarakat dan pihak terkait lainnya.

Sebelumnya, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) memberikan kritik kepada Pemerintah Indonesia terkait peraturan RZWP3K. Bagi KIARA, kehadiran perda akan merampas kehidupan masyarakat pesisir yang menjadi penguasa penuh selama ini. Oleh itu, yang menjadi perhatian KIARA saat ini, adalah bagaimana peran dan hak masyarakat pesisir bisa tetap ada dan terjaga, walau peraturan RZWP3K sudah terbit dan diterapkan.

Menurut Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati, hingga sekarang sudah 21 provinsi dari total 34 provinsi yang diketahui berhasil merampungkan pembahasan perda tentang RZWP3K. Keberhasilan tersebut tak lepas dari desakan dari Pemerintah Pusat agar Pemerintah Provinsi bisa segera merampungkan peraturan RZWP3K secepat mungkin. Bahkan, KKP pernah memberi batas waktu hingga akhir 2018 lalu.

Kehadiran perda RZWP3K, kata Susan, menjadi mandat dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 junto UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Tetapi, mandat tersebut dalam kenyataannya tidak melibatkan masyarakat pesisir sebagai tokoh utama di kawasan P3K. Bahkan, kalau pun ada peran, porsinya sangat tidak memadai.

“Masyarakat pesisir adalah pemegang hak (right holder) utama sebagaimana diamanahkan konstitusi. Tapi, mereka tidak mendapatkan hak tersebut dengan memadai,” ucap dia.

baca juga : Kenapa Pembangunan Pesisir Terus Berdampak Negatif?

 

Nelayan berangkat melaut di pesisir pantai Pelabuhan Ratu, Jawa Barat. Foto : Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Menurut Susan, dari 21 perda yang sudah rampung, pembahasan tentang proyek infrastruktur skala besar masih mendominasi di kawasan P3K. Dengan demikian, peran industri masih mendapat porsi yang besar dan itu berbanding terbalik dengan peran nelayan kecil yang porsinya semakin mengecil. Fakta tersebut, bertentangan dengan konstitusi yang seharusnya menempatkan nelayan sebagai subjek utama.

Dengan peran yang luas, kata Susan, peraturan RZWP3K memberi ruang bebas bagi industri untuk melaksanakan proyek pembangunan infrastruktur dengan cara reklamasi, pertambangan, industri pariwisata pesisir dan pulau-pulau kecil, pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara, konservasi, dan sejumlah proyek lainnya. Peran tersebut akan terus membesar, jika 13 provinsi berhasil merampungkan pembahasan perda.

Susan memaparkan, salah satu contoh peran besar diberikan untuk industri, ada dalam Perda Nomor 1 Provinsi Lampung Tahun 2018 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Lampung Tahun 2018-2038. Dalam perda tersebut, KIARA mencatat luasan zona wisata alam bentang laut mencapai 23.911,12 hektare, zona wisata alam bawah laut seluas 680,32 ha, zona wisata alam pantai/pesisir dan pulau- pulau kecil seluas 347,87 ha, dan wisata olah raga air seluas 912,50 ha.

“Untuk zona pertambangan, Perda ini mengalokasi ruang seluas 12.585,53 hektare, untuk zona industri seluas 2.549,10 hektare. Namun untuk permukiman nelayan hanya dialokasikan seluas 11,66 hektare saja,” ujar dia.

 

Exit mobile version