Mongabay.co.id

RUU Pertanahan Target Selesai 2019, Berbagai Kalangan Minta Tunda, Mengapa?

Sengketa antara warga dengan PTPN XIV di Maroangin, Maiwa, Enrekang, Sulsel. Lahan ini telah dikelola warga selama 15 tahun terakhir yang diklaim PTPN sebagai bagian dari konsesi HGU mereka. Foto: Safar/Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Pertanahan masih berlangsung di DPR. Targetnya, tahun ini RUU ini sah jadi Undang-undang. Bagaimana respon dari pelaku usaha, masyarakat sipil sampai para akademisi?

Sofyan Djalil, Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala BPN mengatakan, RUU Pertanahan sangat penting untuk memperkuat UU Nomor 5/1960 tentang Pokok Agraria. RUU Pertanahan dianggap solusi menjawab kondisi, keperluan dan dinamika masyarakat yang banyak berubah. UU Pokok Agraria, dinilai perlu aturan lebih spesialis dan spesifik mengenai pertanahan.

“RUU Pertanahan ini memperkenalkan apa yang disebut dengan single land admistration system, tidak berarti dengan ada RUU ini mengambil kewenangan kementerian teknis lain yang terkait kehutanan, pertambangan, kelautan dan lain-lain. Cuma disinkronkan dalam single land administration system hingga kalau nanti bikin peta standar sama,” katanya dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (10/7/19).

Baca juga: RUU Pertanahan, Sudahkan Menjawab Persoalan Agraria

Selama ini, katanya, obyek pendaftaran tanah tak meliputi kawasan hutan, pesisir, pulau-pulau kecil, waduk, pertambangan, cagar alam, situs purbakala, kawasan lindung dan konservasi, serta wilayah strategis pertahanan. Pemetaan pun tak terintegrasi dalam satu sistem informasi pertanahan.

“Dengan sistem informasi pertanahan terintegrasi akan memudahkan pengambil keputusan, pembuat kebijakan, pelaku usaha, masyarakat, serta pemangku kepentingan lain dalam pemanfaatan dan penggunaan tanah secara optimal,” katanya.

Saat ini, katanya, sangat perlu rinci dan pembahasan mendalam mengenai RUU Pertanahan dari berbagai kalangan. “Supaya bisa menjawab seluruh persoalan dan kekhawatiran masyarakat mengenai agraria, pertanahan dan tata ruang. Itu berguna untuk meminimalisasi masalah di masa mendatang.”

Beberapa poin penting diatur dalam RUU Pertanahan, katanya, untuk menjawab berbagai persoalan bidang pertanahan, seperti pengaturan hak atas tanah untuk keadilan dan kemakmuran, modernisasi pengelolaan dan pelayanan pertanahan menuju era digital. Juga, penyediaan tanah untuk pembangunan, percepatan penyelesaian sengketa, konflik dan perkara pertanahan, kebijakan fiskal pertanahan dan tata ruang. Kemudian soal, kewenangan pengelolaan kawasan oleh kementerian atau lembaga sesuai tugas dan fungsi, serta penghapusan hak-hak atas tanah yang bersifat kolonial.

Baca juga: RUU Pertanahan, Bagaiman Perkembangannya?

Herman Khaeron, Ketua Panja RUU Pertanahan mengatakan, perkembangan zaman begitu pesat menuntut kehadiran UU spesialis yang mengatur pertanahan. Untuk itu, katanya, RUU Pertanahan, harus segera tuntas untuk menjawab banyak pertanyaan soal pertanahan.

RUU Pertanahan, katanya, dibuat untuk merancang sistem yang bermanfaat bagi semua pihak. Ia bukan hanya milik Kementerian ATR/BPN, tetapi kewenangan akan terbagi ke sektor lain.

“Kewenangan kehutanan, perikanan dan lain-lain tetap ada. Bahwasannya, tanah harus teradministrasi, di seluruh dunia pun, ya namanya tanah harus teradministrasi. Ini untuk mengeliminasi konflik. Selama ini, konflik banyak karena tanah tidak teradministrasi,” kata Herman.

 

Lahan ulayat masyarakat di Sorong Selatan, yang berkonflik dengan perusahaan. Kalau RUU Pertanahan, sah, konflik macam ini bakal selesai, atau malah tambah runyam? Foto: Pemuda Mahasiswa Iwaro/ Mongabay Indonesia

 

Dia berharap, dengan pengesahan RUU Pertanahan, akan jadi payung hukum mengadministrasikan seluruh tanah di Indonesia, baik dikuasai negara dan pihak lain.

Dalam RUU Pertanahan juga diatur mengenai pembentukan bank tanah. Herman bilang, bank tanah untuk menahan laju inflasi sektor pertanahan dan mengurangi para spekulan. Juga untuk menghimpun cadangan tanah untuk perkebunan, pertanian, infrastruktur dan lain-lain.

“Terkait dengan bank tanah, ini hanya nomenklatur dalam RUU. Perwujudannya seperti apa, itu diserahkan kepada pemerintah,” katanya.

Nantinya, bank tanah lebih agresif menjamin produktivitas. Lahan terlantar, orang menguasai tanah, lantas tidak jelas juntrungan, katanya, akan diselesaikan melalui bank tanah.

“Termasuk memberikan kepastian tanah negara seperti eks HGU (hak guna usaha-red), eks HGB (hak guna bangunan-red) yang biasa jadi sumber konflik. Dengan RUU ini bisa lebih tertata dan memberikan kepastian hukum dan alas hak atas tanah milik negara,” katanya.

RUU ini juga mengatur refroma agraria. Agenda reforma agraria, katanya,  memang sudah berjalan tetapi kepastian reforma agraria dari mana lahan, dan untuk siapa, banyak tantangan dan rintangan. Persoalan-persoalan ini, katanya, coba dijawab lewat RUU Pertanahan.

“Soal hak ulayat dan masyarakat adat, juga sudah diatur dalam RUU ini. Meski memang tidak rigid tetapi substansi sudah kita atur, misal bagaimana proses penetapan masyarakat hukum adat, kami sinkronkan dengan peraturan Kemendagri. Hak yang diberikan adalah hak komunal. Kami menghormati terhadap masyarakat hukum adat.”

Saat ini, katanya, sudah tidak ada perdebatan substansial lagi terkait draf RUU Pertanahan, tinggal penyesuaian.

“Misal, soal HGU, hak pakai dan HGB, itu kami tinggal menetapkan kuantitatif luasan seperti apa yang diberikan? Per satuan perusahaan memiliki HGU dan HGB berapa? Ini sedang kami lakukan public hearing dengan berbagai pihak supaya menetapkan angka yang tepat. Atau kami berikan kewenangan itu kepada pemerintah. Hanya itu saja persoalannya.”

Herman menyebut, RUU Pertanahan juga memberikan jaminan terhadap keberlangsungan penyediaan pangan. Dalam RUU ini memberikan titik berat bahwa pertanahan prioritas untuk sektor penyedia pangan.

“Di UU Lahan Pangan Berkelanjutan pada akhirnya tidak ada yang bisa memberikan kepastian jika dalam satu daerah lahan makin berkurang dan produksi makin turun. Dalam RUU Pertanahan ini diamanatkan kementerian terkait untuk menyediakan tanah untuk pertanian, perkebunan, peternakan,” katanya, seraya bilang, kalau kawasan konservasi termasuk harus dijaga sesuai kaidah-kaidah dalam UU Tata Ruang.

Dia menjamin, RUU Pertanahan tak akan bertabrakan dengan aturan sektoral lain. Dalam pembahasan ini, harmonisasi dengan aturan lain sudah dilakukan.

“Terhadap pasal-pasal tanah terlantar juga akan kita sinkronkan. Supaya juga membuat iklim usaha kondusif, tetapi rasa keadilan tanah untuk masyarakat seluruh Indonesia juga terwujud.”

 

Hutan hujan tua di sepanjang Sungai Utik di hutan adat Sungai Utik di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, Indonesia. Akankah hutan seperti ini bakal terancam dengan kehadiran UU Pertanahan? Foto: Rhett A. Butler

 

Forum Dekan Kehutanan minta tunda

Forum Pimpinan Lembaga Pendidikan Tinggi Kehutanan Indonesia (FOReTIKA) merupakan dekan-dekan Fakultas Kehutanan se-Indonesia, mengusulkan penundaan pengesahan RUU Pertanahan.

Mereka meminta, pembahasan lanjutan melibatkan para pihak agar dapat menyampaikan masukan secara komperhensif, termasuk akademisi bidang kehutanan.

Apalagi, RUU Pertanahan ini dinilai menyangkut kepentingan banyak sektor, termasuk sektor kehutanan dan tak hanya berbicara tanah dan penguasaan lahan. Kalau RUU Pertanahan dipaksakan sah pada akhir periode DPR 2014-2019, khawatir tidak mampun menjadi solusi permasalahan pertanahan.

FOReTIKA menyebutkan, penataan ruang harus memenuhi azas kemakmuran, yakni, berkeadilan, memberikan keamanan, kenyamanan, produktif dan berkelanjutan, terhindar dari bencana alam atau lingkungan. Juga tak ada kesenjangan antar daerah dan menghasilkan nilai tambah.

Kemudian, perlu ada harmonisasi dan sinkronisasi dengan berbagai peraturan perundang-undangan lain, hingga dapat lebih memastikan tak terjadi konflik, kontradiksi, tumpang tindih, inkonsistensi, kesenjangan hukum dan kesulitan atau kendala implementasi.

Gusti Hardiansyah, Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura menilai, RUU Pertanahan ini menyimpang dari tujuan dan prinsip-prinsip dari UU Nomor 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Dia contohkan, Pasal 37 ayat (2) menyebutkan, kawasan hutan yang belum ditetapkan sebagai hak pengelolaan, pemberian hak guna bangunan dilakukan setelah pelepasan kawasan hutan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan. ”Kawasan hutan ditetapkan sebagai hak pengelolaan, hingga dapat di-HGB-kan, ini bertentangan dengan UU 41 Tahun 1999.”

Kemudian, Pasal 154 berbunyi dalam hal pemegang HGU telah menguasai fisik tanah melebihi luasan pemberian HGU dan atau tanah yang diusahakan belum memperoleh hak atas tanah, status HGU ditetapkan oleh menteri khawatir menyebabkan pemutihan perkebunan dalam kawasan hutan berskala besar.

 

Pelaku usaha kehutanan dan organisasi masyarakat sipil khawatir

Kekhawatiran juga datang dari kalangan pelaku usaha kehutanan. Purwadi Soeprihanto, Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) mengatakan, dalam UU 41/1999 tentang Kehutanan, dinyatakan hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungan. Yang satu dengan lain, tidak dapat dipisahkan.

“Sebagai kesatuan ekosistem, hutan tidak hanya terkait tanah tempat ruang tumbuh, tetapi memiliki berbagai fungsi yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi yang harus digunakan optimal untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari,” katanya.

Dengan batasan itu, katanya, hutan sebagai bagian dari sumber daya alam seyogyanya dikelola khusus (lex specialis), tak menjadi bagian dari RUU Pertanahan. Secara yuridis, hal ini diperkuat dengan TAP MPR No. IX/MPR/2001 yang mengatur secara berbeda antara Pembaruan Agraria dengan Pengelolaan Sumber Daya Alam termasuk hutan.

Dalam RUU Pertanahan itu, pada Pasal 63, dinyatakan obyek pendaftaran tanah meliputi semua bidang tanah dan kawasan tanah di seluruh wilayah Indonesia. Pendaftaran tanah meliputi pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah, pendaftaran hak atas tanah dan peralihan hak, penerbitan surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian kuat.

“Berkaitan dengan tahapan pendaftaran tanah ini, untuk izin-izin dalam kawasan hutan sesungguhnya telah diatur dalam UU 41/1999 dan peraturan turunan, meliputi proses penunjukan, penataan, pemetaan dan penetapan batas kawasan hutan. Apabila pengaturan dalam RUU Pertanahan diimplementasikan, akan berdampak luas terhadap ketidakpastian usaha,” katanya.

 

Desa Sogo yang berada di tepian Sungai Bungur. Sebagian lahan warga desa ini masuk klaiman lahan perusahaan sawit padahal tanpa sepengetahuan aparat desa, sekalipun. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Selain itu, proses-proses yang diatur dalam RUU Pertanahan berpotensi menimbulkan tambahan birokrasi. Karena harus penetapan tata batas ulang yang pada giliran akan menyebabkan ekonomi biaya tinggi bagi pelaku usaha dan menurunkan daya saing usaha kehutanan nasional.

“Mempertimbangkan dampak yang luas terhadap dunia usaha, RUU Pertanahan agar dapat ditinjau kembali dan penetapan ditunda. Kiranya dapat dialog dengan pemangku kepentingan terkait dalam proses selanjutnya.”

Dewi Kartika, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pun meminta pengesahan RUU Pertanahan ditunda. Menurut dia, dalam draf RUU Pertanahan, masih banyak kelemahan. Secara substansi, katanya, ada banyak perubahan dari draf terakhir yang dibahas dari putaran diskusi antar fraksi. Kalau bab mengenai reforma agraria lemah, sangat mudah membelokkan agenda itu.

 

Bank tanah ancam reforma agraria

Salah satu masalah soal bab bank tanah. KPA, katanya, sejak awal menolak ide bank tanah karena lembaga yang hendak dibentuk pemerintah– dalam hal ini Kementerian ATR/BPN— untuk menyediakan cadangan tanah bagi pembangunan infrastruktur.

Alasannya, kesulitan pengadaan tanah untuk investasi, pembangunan infrastruktur karena terkendala pembebasan tanah, sengketa dan lain-lain. “Prosesnya lama hingga investasi tidak menguntungkan.”

Dewi bilang, yang jadi masalah dengan bank tanah bukan hanya soal konsep juga sumber yang berasal dari tanah terlantar. Padahal, kalau merujuk PP Nomor 11/2010, tanah terlantar jadi salah satu sumber reforma agraria. Kalau bank tanah sah, khawatir mengganggu agenda reforma agraria.

“Bagi kami akan berbahaya juga bagi agenda reforma agraria. Karena reforma agraria sumber utama dari konsesi-konsesi perkebunan kadaluarsa, ataupun masih aktif HGU tetapi ada mal administrasi, berkonflik dengan warga dan lain-lain. Atau pun yang ditelantarkan dan sudah jadi kampung-kampung dan digarap warga,” katanya.

Lagi pula, kata Dewi, Indonesia tak memerlukan bank tanah. Sudah ada UU Nomor 2/2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Infrastruktur Bagi Kepentingan Umum. Jadi, dengan UU itu, pemerintah tak lagi beralasan sulit membebaskan tanah.

“Kesulitan mendapatkan tanah itu masalahnya karena proses mendapatkan seringkali dengan cara resistensi dari masyarakat seperti memaksa, represif, menggusur dan lain-lain.”

Dengan ada bank tanah, katanya, justru mempertajam ketimpangan, memperbesar konflik dan menghambat agenda reforma agraria. Tanah-tanah semacam itu, katanya, berpotensi tumpang tindih dengan kampung-kampung, desa-desa, yang diklaim masyarakat.

“Kita minta bab bank tanah dicabut.”

Hal lain yang jadi persoalan dalam draf RUU Pertanahan, soal penyelesaian konflik tak jelas. Dewi khawattir, proses penyelesaian konflik berakhir di ranah pengadilan pertanahan.

“Kita tahu kalau petani, masyarakat adat, ketika masuk ke ranah pengadilan, pasti rontok semua. Karena pendekatan adalah hukum positif, bukan hak asal usul dan lain-lain. Jadi, penyelsaian konflik agraria struktural tak bisa hanya berdasarkan hukum positif,” katanya.

Draf RUU Pertanahan, juga belum berspektif gender dan belum memberikan pengakuan terhadap perempuan. Padahal, kalau merujuk pada UU Pokok Agraria, hak perempuan atas sumber daya alam sudah dibahas jelas.

“Lalu soal pengakuan wilayah adat, tentu harus dilihat lebih utuh. Jangan sampai ada celah kelemahan bagi masyarakat adat. Memang sudah ada bab mengenai masyarakat adat. Tetapi kita harus seksama meninjau. Menurut kita, ini masih sangat birokratis untuk masyarakat adat dan pengakuan wilayah adat.”

 

 

Keterangan foto utama:    Sengketa antara warga dengan PTPN XIV di Maroangin, Maiwa, Enrekang, Sulsel. Lahan ini telah dikelola warga selama 15 tahun terakhir yang diklaim PTPN sebagai bagian dari konsesi HGU mereka. Foto: Safar/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version