Mongabay.co.id

Batua Harus Rela Kehilangan Kaki

 

 

Awal Juli, seekor harimau sumatera [Panthera tigris sumatrae] jantan diamputasi kaki kanan depannya oleh Tim Medis BKSDA Bengkulu – Lampung, yang tergabung dalam Tim Reaksi Cepat dari Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan [BBTNBBS] dan Tim Wildlife Rescue Unit [WRU]. Bagaimana kondisinya saat ini?

Harimau yang diberi nama Kyai Batua itu, kini dalam perawatan intensif dokter hewan di Taman Konservasi Lembah Hijau, Kota Bandar Lampung, Lampung.

Menurut Kepala Seksi Konservasi Wilayah III Lampung Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Bengkulu Hifzon Zawahiri, Kyai bermakna kakak panggilan kehormatan bagi suku Lampung. Sedangkan Batua, mengandung arti harimau jantan itu ditemukan di daerah Batu Ampar yang masuk Desa Ringin Sari, Kecamatan Suoh, Kabupaten Lampung Barat, Lampung.

“Kondisi Batua kian membaik. Selalu diberi vitamin dan juga volume makanan yang terus bertambah. Satu hari ia bisa menghabiskan 4 sampai 6 ekor ayam,” kata Hifzon.

Batua mendapat perawatan dari tiga dokter hewan yakni Erni Suyanthi, Karyo, dan Sugeng Dwi Hastono. Ditambah perawat dan seorang penjaga.

Sementara waktu, ia dirawat dalam kandang berukuran 3 x 4 meter. “Walaupun jalannya agak pincang, tetapi sangat agresif,” katanya lagi.

Tim medis akan terus melakukan perawatan maksimal enam bulan ke depan. Sampai kondisinya cukup baik. “Terkait apakah Batua akan dilepaskan ke alam kembali atau dipindah, kami belum mendapat rekomendasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK],” ujarnya.

Baca: Membusuk Akibat Jerat Pemburu, Kaki Harimau Sumatera Ini Diamputasi

 

Harimau sumatera. Foto: Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Perjuangan

Batua memiliki berat sekitar 109 kilogram, dengan usia 3-4 tahun. Dia ditemukan Selasa [02/7/2019], ketika Tim Patroli Balai BBTNBBS dan Wildlife Conservation Society-Indonesian Program [WCS-IP] melakukan pemantauan populasi harimau di bagian tengah TNBBS [IPZ-Intensive Protection Zone] sebagai rangkaian kegiatan SWTS II.

Tim melakukan pemasangan kamera jebak secara periodik pada tanggal 26 Juni – 6 Juli 2019 di Resort Ngambur, Biha, dan Suoh. Pada Selasa, sekitar pukul 12.37 WIB, tim yang terdiri Taufik Hidayah [Polhut TNBBS], Marino [WCS-IP], dan porter [Sagiono, Sutono, dan Eko Suharno] memasang kamera di Resort Suoh.

Mereka, mendengar raungan harimau. Setelah didekati, tampak seekor harimau terlilit jerat. Kaki kanan depannya terkena jerat sling. Tim langsung melaporkan kejadian ke pihak TNBBS untuk secepatnya melakukan tindakan.

Lokasi ditemukan harimau, masuk Resort Suoh SPTN III, BPTN II Liwa. Jika diplotting dalam peta kawasan TNBBS, lokasi tersebut berada di zona rimba.

Anggota Tim Reaksi Cepat [TRC] BBTNBBS Ujang Suryadi menceritakan upaya evakuasi harimau, selain TRC dan BKSDA, yang melibatkan sembilan warga untuk mengangkut Batua.

“Dari tempat pemberhentian mobil ke lokasi, berjarak sekitar tiga kilometer. Kami juga membawa para dokter ke lokasi Batua ditemukan, menggunakan motor trail sekitar dua kilometer,” tuturnya.

Dan masih harus ditempuh berjalan kaki lagi untuk sampai ke lokasi. Evaluasi sekitar lima kilometer untuk sampai ke mobil yang mengangkut.

Hasil pemeriksaan medis menunjukkan, kaki Batua terjerat sekitar 2 sampai 3 hari dari ditemukan. “Luka yang kian membusuk itu, berujung diamputasinya kaki kanan depan Batua pada 5 Juli 2019,” terang Ujang.

 

Batua, harimau sumatera saat ditemukan kena jerat kawat pemburu di kawasan hutan TNBBS, Kabupaten Lampung Barat, Lampung, 2 Juli 2019. Foto: BKSDA Bengkulu-Lampung/WCS IP

 

Belum ada titik terang pelaku

Batua ditemukan sekitar 500 meter dari kebun kopi dan lada. “Kasus ini masih pendalaman. Identifikasi sementara, pelaku adalah kelompok liar,” kata Ujang.

Dia menambahkan, jerat yang dipasang bila dilihat dari segi pelontarnya yang kecil, targetnya bukan satwa besar. “Bisa jadi satwa kecil atau hewan yang dianggap hama oleh di penggarap kebun,” ujarnya.

 

Data TNBBS mengenai penemuan jerat dari 2014 sampai Maret 2019:

Jenis Jerat

2014

2015 2016 2017 2018

2019 [sampai Maret]

Nilon

1

7 37 49 37

20

Rotan

0

1 16 1 0

0

Sling

7

12 28 17 21

3

Sling Kecil

0

0 9 8 13

3

Sumber: TNBBS

 

Menurut Kepala Bidang Teknis Konservasi BBTNBBS Ismanto, jerat yang dipasang berdampak serius bagi kehidupan satwa liar dilindungi undang-undang.

“Satwa tidak mengenal apakah jerat patut dihindari atau dilewati. Kami mencatat sekian satwa besar menjadi korban,” katanya.

Setelah kejadian, sebanyak 10 tim diturunkan, dengan komposisi Polhut TNBBS dan WCS-IP untuk fokus operasi sapu jerat. Patroli rutin [SMART Patrol] yang dilakukan juga mendata potensi dan gangguan, jika dalam kegiatan ditemukan jerat, langsung dimusnahkan.

“Operasi sapu jerat akan tetap dilakukan oleh pihak BBTNBBS dengan melibatkan mitra lain yaitu WWF, YABI, dan Sumatran Tiger Project-UNDP,” kata dia.

Program lain, terkait perlindungan satwa, Ismanto mengatakan, baru-baru ini pihaknya menggelar rapat koordinasi penumpasan senapan angin. Penyuluhan dan sosiaslisasi ke masyarakat sekitar TNBBS dilakukan untuk tidak melakukan perburuan satwa.

“Sebagian warga sudah ada yang sukarela menyerahkan senjata rakitan kepada pihak berwajib,” jelasnya.

Pembersihan jerat di kawasan hutan juga menjadi fokus KLHK. “Kami punya program SMART Patrol yang bertujuan musnahkan jerat di setiap kawasan konservasi,” kata Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati [KKH] Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK, Indra Exploitasia.

 

Berbagai jenis dan ukuran jerat yang dipasang pemburu ini ditemukan di Kawasan Ekosistem Leuser. Sasarannya harimau, gajah, dan rusa yang paling sering kena. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

10 desa terlibat penyelamatan hutan dan satwa

Dalam upaya mendukung perlindungan satwa dan habitatnya, pendampingan masyarakat dan penyadartahuan juga dilakukan.

Muniful, Manajer RPU – YABI [Yayasan Badak Indonesia] mengatakan, kawasan TNBBS yang berada di empat kabupaten yakni Tanggamus, Pesisir Barat, Lampung Barat dan Kaur, berbatasan langsung dengan sekitar 200 desa. Kondisi ini akan menjadi ancaman sekiranya kegiatan ilegal banyak dilakukan.

“Kami ikut membantu TNBBS bersama mitra lainnya, mendampingi masyarakat untuk mendukung konservasi hingga ada kesepakatan melestarikan TNBBS. Kesepakatan konservasi desa menjadi bagian rencana pembangunan jangka menengah [RPJM] Desa,” jelasnya.

Kegaitan ini baru berangsung di 10 desa di Lampung Barat dan Pesisir Barat. “Program ini merupakan kolaborasi BBTNBBS, YABI, dan WWF. Harapannya, masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan mau berdampingan dan berbagi ruang dengan satwa yang ada,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version