Mongabay.co.id

Penyu Enggan Datang ke Teluk Sepang

 

 

Di Pantai Teluk Sepang, kami melihat penyu. Biasanya, warga mengendap malam hari, di semak bibir pantai. Tak boleh ada lampu menyala. Harus sepi.

Penyu datang bersama gelombang ombak ke pantai Teluk Sepang yang langsung menghadap Samudera Hindia, tanpa halangan.

“Selanjutnya, menggali pasir dan bertelur hingga ratusan butir,” ungkap Hamidin, tokoh masyarakat Teluk Sepang, Kecamatan Kampung Melayu, Kota Bengkulu, Provinsi Bengkulu, awal Juli 2019.

“Pemalu penyu itu, dem pai sebelom kito datang [sudah pergi sebelum kita datang],” lanjutnya dengan bahasa dan logat Bengkulu.

Berdasarkan pantauan, Pantai Teluk Sepang sepi pengunjung, yang terlihat hanya pemancing lokal. Ada juga mangrove yang saat ini mengalami penimbunan guna pembangunan PLTU Teluk Sepang.

“Penyu suka bertelur di sana karena sepi. Warga kami datang hanya untuk mancing,” kata dia.

Namun, Selasa [09/7/2019] ditemukan bangkai lumba-lumba di pantai itu. “Selain tempat penyu bertelur, nelayan sesekali melihat rombongan lumba-lumba melintas. Pantai ini selama puluhan tahun, sumber penghidupan dengan mencari remis atau kerang-kerangan,” ujar Hamidin, yang juga mantan Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat [LPM] Teluk Sepang.

Baca: Terdampar di Teluk Sepang, Kondisi Lumba-lumba Ini Menyedihkan

 

Pelepasan tukik ini diharapkan menambah populasi penyu. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Yayasan Lestari Alam Laut untuk Negeri [Latun], lembaga yang fokus konservasi penyu di Kota Bengkulu, menuturkan, Pantai Teluk Sepang merupakan habitat penyu bertelur.

“Di Bengkulu ada dua habitat, Pulau Tikus dan Pantai Teluk Sepang,” kata Direktur Latun, Ari Anggoro.

Dia menjelaskan, sepanjang garis pantai pesisir barat Bengkulu merupakan lokasi penyu bertelur. Tapi, sekarang hanya dua tempat tersebut yang aktif. “Pulau Tikus paling sering dikunjungi penyu sisik dan penyu hijau. Sementara pantai Teluk Sepang tempatnya penyu sisik dan penyu lekang,” lanjut Ari yang merupakan Dosen Kelautan Universitas Bengkulu.

Indonesia merupakan rumah besar enam spesies penyu dari tujuh spesies yang ada di dunia. Mulai penyu hijau [Chelonia mydas], penyu sisik [Eretmochelys imbricata], penyu lekang [Lepidochelys olivacea], penyu belimbing [Dermochelys coriacea], penyu pipih [Natator depressus], dan penyu tempayan [Caretta caretta].

Sebanyak empat jenis menjadikan pesisir barat Bengkulu sebagai tempat bertelur, yaitu penyu sisik, penyu lekang, penyu belimbing, dan penyu hijau. “Penyu belimbing paling besar, bisa seukuran perahu. Panjang badannya mencapai 2,75 meter dengan bobot 600-900 kilogram. Paling kecil adalah penyu lekang, beratnya hanya 50 kilogram,” tutur Ari.

Baca: Janji Setia Edi Suswanto Melestarikan Penyu

 

Pantai Teluk Sepang di senja hari. Foto: Ahmad Supardi/Mongabay Indonesia

 

Eko Fernando, mahasiswa Fakultas Kelautan Universitas Bengkulu, yang juga tergabung dalam kelompok mahasiswa Bengcoleen Sea Turtle Conservation (BSTC), telah melakukan penelitian penyu di Teluk Sepang, April 2019. Risetnya untuk skripsi, berjudul “Karakteristik Biofisik Habitat Peneluran Penyu di Pantai Teluk Sepang”.

Eko mendapatkan data, penyu sisik dan penyu lekang kini mulai jarang terlihat. Ini dikarena habitat pantai yang mulai berubah. “Pantai Teluk Sepang dulu sepi dan gelap, kini terang dan ramai,” jelasnya.

Keramaian dan pencahayaan benderang itu bersumber dari pembangunan PLTU Teluk Sepang. “Habitat penyu bertelur di wilayah berdirinya PLTU itu,” kata Eko.

Penyu adalah satwa yang suka kesunyian, apalagi ketika bertelur. “Dia memilih tempat sepi, gelap, dan tak ada gangguan,” paparnya.

Baca: Penyu Belimbing Masih Dikonsumsi Masyarakat Mentawai, Mengapa?

 

Nelayan yang terkadang melihat juga lumba-lumba melintas di Teluk Sepang. Foto: Ahmad Supardi/Mongabay Indonesia

 

Pulau Tikus juga terancam

Yayasan Latun dan BSTC juga memantau Pulau Tikus. Temuan mereka menunjukkan, tempat penyu bertelur ini juga terancam, penyebabnya pengikisan daratan.

“Abrasi mengancam kelestarian penyu,” kata Kepala Bidang Kegiatan Lapangan dan Rumah Tangga Kelompok Mahasiswa BSTC, Rahmat Effendi.

Pulau Tikus adalah pulau kecil di Samudra Hindia yang masuk administrasi Bengkulu, berjarak sembilan kilometer dari Kota Bengkulu. “Pulau ini semacam spawning ground, tempat penyu berkembang biak,” lanjutnya.

Dia mengatakan, abrasi diakibatkan kenaikan muka air laut dan kerusakan pesisir. Hasilnya membuat luas daratan pulau menyusut. Luas awal dua hektar, kini 0,6 hektar. Tak hanya itu, ancaman juga datang dari masyarakat sekitar yang menjual telur ke pasar.

“Satu telur bisa seharga 5 hingga 15 ribu Rupiah,” lanjutnya.

“Ancaman lain adalah pencemaran laut akibat minyak dan sampah plastik,” tutur Effendi.

 

Tukik yang merupakan penyu kecil harus berjuang hebat untuk bisa hidup. Foto: Ahmad Supardi/Mongabay Indonesia

 

Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor Republik Indonesia Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi disebutkan bahwa penyu tempayan, penyu hijau, penyu sisik, penyu lekang dan penyu pipih merupakan jenis dilindungi.

Pelaku kejahatan bisa dijerat UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Ancamannya, 5 tahun penjara dan denda Rp100 juta.

Baca: Yuk, Selamatkan Penyu dari Kepunahan!

 

Empat jenis penyu tercatat ada di Bengkulu. Foto: Ahmad Supardi/Mongabay Indonesia

 

Minim

Tercatat, ada empat kelompok pemerhati penyu di Bengkulu. Yayasan Latun di Kota Bengkulu, Kelompok Pelestari Penyu Alun Utara [KPPAU] di Bengkulu Tengah, Komunitas Pecinta Alam Konservasi Penyu Mukomuko [KPAKPM] di Mukomuko, dan Kelompok Pelestari Penyu di Kabupaten Kaur.

Edi Suswanto, pendiri KPAKPM mengatakan, adanya kelompok-kelompok pelestari merupakan harapan keberlangsungan hidup satwa air tersebut. “Penyu selalu terancam, mulai dari telurnya, saat kecil bernama tukik, ketika dewasa, bahkan habitatnya,” katanya.

Satwa ini terus berjuang dalam hidupnya. Penyu menghabiskan waktu di laut, tapi ketika bertelur segera ke darat. Bertelur 2-4 tahun sekali, setelah berusia 30-40 tahun. “Untuk menyelamatkan telur penyu, kami menetaskan telurnya dengan masa inkubasi 45-60 hari,” jelasnya.

Saat menetas, tukik keluar dari dalam pasir, dan kami kawal menuju laut untuk memulai kehidupannya. “Sebelum mencapai laut, tukik sudah terancam dimakan anjing, kucing, biawak, kepiting, elang, bahkan anak hiu. Kesempatan hidupnya kecil,” lanjutnya.

Cara melestarikan penyu, salah satunya membuat papan pengumuman di setiap pantai yang menjadi habitat bertelur. “Kelompok ini juga harus didukung pemerintah dalam hal pemantauan, beserta penegakan hukum. Tujuannya, tidak ada lagi jual beli telur dan pengrusakan habitat.”

 

Tampak karapas penyu di Pantai Teluk Sepang. Pantai ini tempat penyu sisik dan penyu lekang bertelur. Foto: Dok. Yayasan Kanopi

 

Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah, dikonfirmasi Mongabay Indonesia pada Minggu, 14 Juli 2019 mengatakan, jual beli telur penyu hingga pengrusakan habitat tidak dibenarkan. “Dilarang keras itu,” tegasnya.

Rohidin mengatakan, seharusnya masyarakat Bumi Refflesia bersyukur karena di daerahnya merupakan habitatnya empat jenis penyu. “Harus dijaga dan dilestarikan,” lanjutnya.

Rohidin juga mengusulkan konsep ekowisata pada tempat ramai pengunjung di Bengkulu. “Salah satu cara tidak merusak ekosistem ya dengan ekowisata,” paparnya.

Berdasarkan penjelasan The International Ecoturism Society, ekowisata merupakan kegiatan pariwisata berwawasan lingkungan dengan mengutamakan konservasi alam, pemberdayaan sosial budaya ekonomi masyarakat lokal, serta aspek pembelajaran dan pendidikan.

 

 

Exit mobile version