Mongabay.co.id

Akhirnya, 6 Anakan Komodo Sitaan Perdagangan Liar Kembali ke Habitatnya

 

 

Sebanyak enam ekor anakan komodo [Varanus komodoensis] dikembalikan ke Pulau Ontoloe, Kabupaten Ngada, Flores, Nusa Tenggara Timur [NTT] dari Surabaya untuk dilepasliarkan ke habitat aslinya, Sabtu [13/7/2019].

Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam [BBKSDA] Jawa Timur, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK], Polda Jawa Timur, Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Yayasan Komodo Survival Program, memastikan seluruh komodo yang berusia sekitar 2 tahun itu siap dikembalikan ke alam.

Satwa langka yang hanya ada di Indonesia ini merupakan hasil sitaan perdagangan ilegal melalui media sosial, yang diungkap kepolisian pada Februari dan Maret 2019. Pemilihan Pulau Ontoloe, di Taman Wisata Alam Riung 17 Pulau, didasari hasil uji laboratorium genetika bidang Zoologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia [LIPI]. Dijelaskan, asal keenam komodo itu dari Flores Utara, bukan dari Taman Nasional Komodo.

Hasil tes DNA enam komodo betina dan haplotipe menunjukkan, seluruh komodo mirip dengan yang ada di Flores Utara. Hanya kurang dari 2,5 persen sampel haplotipe mengarah kesamaan di Flores Barat. Sebaran komodo ada di tiga tempat, yaitu Flores Utara, Flores Barat, dan Taman Nasional Komodo.

Baca: Perdagangan Satwa Liar Dilindungi Menggila, Polisi: 41 Ekor Komodo Sudah Dijual ke Luar Negeri

 

Anakan komodo hasil perdagangan ilegal ini dikembalikan ke habitat aslinya. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, KLHK, Wiratno, di kantor BBKSDA Jawa Timur, di Sidoarjo, Jumat [12/7/2019] malam, menyebut pelepasliaran komodo ke habitat aslinya adalah pilihan terbaik. Pengawasan dan pemantauan akan dilakukan, saat dilepas maupun sesudahnya.

“Komodo terbiasa dengan kemampuan berburu dan bertahan hidup di sana,” paparnya kepada Mongabay.

Wiratno mengatakan, satwa hasil perdagangan ilegal ini sedianya dilepasliarkan setelah ada penetapan pengadilan. Namun, Pengadilan Negeri Surabaya memberikan dispensasi, karena proses hukum telah mendapatkan bukti-bukti cukup. “Meski proses peradilan belum berkekuatan hukum tetap dan mengikat, keenam anakan komodo dilepaskan demi kesejahteraannya,” ujarnya.

Baca: Melawan Kejahatan Satwa Liar Tidak Bisa Sendirian

 

Anakan komodo ini berada di kandang BBKSDA Jawa Timur, sebelum dilepasliarkan ke habitat asal. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur, Nandang Prihadi mengatakan, pihaknya telah menyiapkan pelepasliaran sesuai ketentuan yang berlaku. Sedangkan aspek hukum bagi pelaku kejahatan terus bejalan.

Para terdakwa masih menjalani proses hukum di Pengadilan Negeri Surabaya, didakwa memperniagakan serta memindahkan anakan komodo dari pulau asalnya. Masing-masing komodo diakui pelaku dijual seharga 12 hingga 17 juta Rupiah.

“Segala prosedur dengan prasyarat IUCN sudah kami tempuh. Persetujuan Dirjen KSDAE, keluar 24 April 2019, kemudian Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya, melalui penetapan nomor 1261 dan 1267 tanggal 12 Juni 2019, dan nomor 1593 tanggal 13 Juni 2019,” jelasnya.

Koordinator Program Yayasan Komodo Survival Program, Deni Purwandana mengatakan, pihaknya bersama BBKSDA NTT, akan melakukan pemantauan minimal tiga hari di kandang habituasi. Di sini dipastikan, komodo siap hidup di alam.

Pengiriman komodo menggunakan pesawat terbang, dimasukkan dalam wadah khusus sesuai kondisi satwa. “Satu kotak untuk satu ekor komodo. Ini berdasarkan diskusi beberapa pihak, termasuk dokter hewan yang terlibat pengangkutkan,” terang Deni.

Baca: Demi Konservasi dan Wisata, Jokowi Minta Taman Nasional Komodo Ditata, Akankah Terlaksana?

 

Anak komodo di atas pohon. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Keamanan

Nandang menambahkan, terkait keamanan lokasi pelepasliaran, wilayah tersebut dikelola BBKSDA NTT. Pengawasan akan dilakukan bersama dan keenam komodo dipasang microchip.

“Sudah ada kodenya, hanya belum diberi nama,” katanya.

Dari sisi medis, pemasangan microchip tidak akan mengganggu pergerakan maupun kesehatan karena dipasang di bawah kulit. Di lokasi pelepasliaran seluas 397 hektar, telah disiapkan 8 titik kamera jebak, yang persebarannya ada di lebih 50 persen luasan area.

“Saya jamin aman di sana. Lokasi itu taman wisata alam dengan beberapa pulau dan belum dikembangkan wisatanya. Pemantauan bisa lebih intensif, dari daratan dengan kapal sekitar 1,5 jam,” imbuh Wiratno.

Baca juga: Satwa Rumahan, Komodo Tidak Ingin Hidup Selain di Indonesia

 

Komodo, satwa kebanggaan Indonesia yang hidup di Nusa Tenggara Timur. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Terkait masih maraknya perburuan dan perdagangan liar, Wiratno menegaskan memerangi praktik tercela itu. Pemerintah akan bekerja sama dengan masyarakat sekitar taman nasional, taman wisata alam, hutan lindung, maupun cagar alam untuk bersama menjaga dan melestarikan tumbuhan dan satwa liar di dalamnya. Hal ini juga sebagai antisipasi masuknya pemburu, karena masyarakat dilibatkan menjaga dan melestarikan ekosistem hutan.

“Ada peraturan desa atau kesepakatan adat bersama. Maka [komodo] harus memberi manfaat bagi masyarakat setempat.”

Kesadaran bersama, menjadi hal penting untuk mencegah masyarakat berburu satwa liar di alam. Termasuk memasang jerat yang banyak membunuh atau membuat cacat satwa liar. “Penegakan hukum penting, tapi kesadaran masyarakat juga perlu ditumbuhkan,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version