Mongabay.co.id

Vonis Hukum Belum Bikin Jera, Mafia Lobster Terus Beraksi via Jambi

Petugas Polda Jambi menunjukkan anakan lobster yang berhasil dimankan petugas. Foto: Yitno Supprapto/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Kong Huiping, tertunduk lesu di hadapan majelis hakim Pengadilan Negeri Jambi. Sesekali dia mengangguk mendengarkan ucapan hakim yang diterjemahkan Vera—penerjemah bahasa Mandarin dari Kantor Bahasa Jambi–yang hadir dalam sidang. Hakim menvonis Kong 1,3 tahun penjara, denda Rp1 miliar, subsider satu bulan.

Kamis, (11/7/19) pukul 14.00, sidang pembacaan putusan kasus perdagangan 81.000 anakan lobster. “Menjatuhkan pidana penjara pada Kong Huiping satu tahun tiga bulan, denda Rp1 miliar subsider satu bulan,” kata Yandri Roni, Ketua Majelis Hakim PN Jambi.

Vera, menerjemahkan dalam bahasa Mandarin. Kong yang mengetahui bakal dipenjara kontan menangis. Beberapa kali dia terlihat menyeka air mata.

Baca juga: Pelabuhan Tikus di Jambi jadi Jalur Favorit Penyelundupan Lobster  

Kong tak sendiri. Dua penerjemahnya, Lucky dan Herman, yang ikut terlibat perdagangan lobster juga vonis satu tahun denda Rp1 miliar subsider satu bulan. Vonis sama pada Andika, Ansori dan Zainuri, yang ditangkap Polda Jambi bersamaan dengan Kong di Simpang Rimbo, 13 Mei lalu.

Enam terdakwa ini diputus lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum. Awalnya, Kong dituntut empat tahun denda Rp1 miliar subsider dua bulan kurungan. Lucky dan Herman, dituntut tiga tahun denda Rp1 miliar subsider dua bulan. Andika, Ansori dan Zainuri, dituntut dua tahun kurungan denda Rp1 miliar subsider dua bulan.

Dalam pledoinya, Kong mengaku memiliki anak dan istri di Tiongkok. Dia juga tak pernah melanggar hukum dan menyesal karena tak tahu hukum Indonesia.

Baca juga: Sindikat Perdagangan Anakan Lobster di Jambi Terbongkar

Dalam sidang terpisah di hari sama, Sabirin dan Ramlan Utomo, ayah dan anak yang ikut terlibat kasus perdagangan 124.500 lobster di Tanjung Jabung Timur, juga dijatuhi hukuman satu tahun penjara denda Rp1 miliar subsider satu bulan.

Para terdakwa dijerat Pasal 88 jo, Pasal 16 ayat (1) jo Pasal 100 jo Pasal 7 ayat (2) Undang-undang No.31/2004 tentang Perikanan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No 45/2009 jo Pasal 55, 56 KUHP.

 

Kong Huiping saat dikawal usai persidangan di Pengadilan Negeri Jambi. Foto: Yitno Supapto/ Mongabay Indonesia

 

 

Selundupan Rp 87 miliar

Sembilan jam pasca pembacaan putusan Kong, tepatnya, Kamis (11/7/19), pukul 11.00 malam, Polda Jambi, kembali menggagalkan penyelundupan setengah juta lebih anakan lobster dan sidat di Desa Sungai Toman, Kecamatan Mendaha Ulu, Tanjung Jabung Barat, Jambi.

Petugas Subdit IV Ditreskrimsus Polda Jambi menangkap truk bermuatan 542.200 anakan lobster pasir dan 28.350 jenis mutiara dikemas dalam 2.922 kantong plastik dan terbagi dalam 100 boks streofoam.

Tak hanya lobster, petugas juga menemukan 75.000 sidat yang dikemas dalam 30 kantong plastik tersusun dalam 15 boks streofoam. Ratusan ribu satwa laut yang diperkirakan bernilai Rp87 miliar lebih ini hendak diselundupkan ke luar negeri lewat pelabuhan tikus di Tanjung Jabung Timur.

Dalam konferensi pers, Jumat (12/7/19) di Mapolda Jambi, Kapolda Jambi, Irjen Pol. Muchlis mengatakan, penangkapan ratusan ribu anakan lobster itu bermula dari informasi warga bahwa akan ada pengiriman lobster.

Petugas lantas menyisir jalur pengiriman anakan lobster ilegal itu. Sekitar, pukul 22,00 WIB, satu truk bernopol BH 8506 SM melintasi Mapolres Muarojambi. Petugas yang curiga langsung mengejar dan menghadang di Km 35 Dusun Bukit Baling, Kecamatan Sekernan, Muarojambi, namun lolos. Truk baru bisa ditangkap setelah satu jam kejar-kejaran.

“Saat hendak ditangkap, sopir dan kenek melarikan diri.”

Kapolda Jambi berjanji, terus memburu pelaku utama penyelundupan benih lobster di Jambi.

Dalam catatan Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, Keamanan Perikanan (BKIPM) Jambi, ini penangkapan kesembilan sepanjang Januari-Juli 2019.

Paiman, Kepala Seksi Pengawasan, Pengendalian, Data dan Informasi BKIPM Jambi mengatakan, Tanjung Jabung Timur jadi daerah rawan aksi penyelundupan. Banyak desa di sepanjang sungai yang bermuara ke pantai timur Sumatera kerap jadi jalur penyelundupan. Daerah Tanjung Jabung Barat, juga tak kalah rawan.

“Pelabuhan tikus di sana banyak sekali, kita sendiri tidak tahu jumlahnya, puluhan bahkan ratusan,” katanya.

baca juga : Sebanyak Rp1,37 Triliun Potensi Kerugian Negara Diselamatkan Dari Penyelundupan Benih Lobster

 

Kapolres Muarojambi, AKBP Mardiono bersama BKIPM Jambi menggelar jumpa pers penangkapan 61.200 baby lobster di Km.28 Tempino yang akan diselundupkan, Selasa (9-10-18). Foto: Polres Muarojambi

 

Mafia benih lobster akan mengirim selundupan pakai perahu melewati sungai-sungai kecil di Tanjung Jabung Timur, menuju daerah lepas pantai. Sampai di laut China Selatan, anakan lobster dipindahkan pakai kapal cepat bermesin 200 PK untuk dikirim ke Batam, bahkan langsung ke Singapura, hanya perlu delapan jam.

Paiman bilang, selalu berkoordinasi antar BKIPM daerah untuk menggagalkan aksi penyelundupan anakan lobster ini. “Kita koordinasi semua, dengan TNI dengan Polri. Kita perketat pengawasan. Ini karena lewat jalur udara tak bisa, maka mereka (mafia lobster) lewat jalur darat. Jambi ini kan dekat dengan Batam dan Singapura.”

Sebelumnya, pada 2 Juli, petugas gabungan Bareskrim Polri, Polresta Jambi dan BKIPM Jambi menangkap mobil Toyota Inova bernopol BD 1667 CK dan Daihatsu Xenia merah bernomor BD 1154 CH. Dua mobil asal Bengkulu itu dihentikan petugas gabungan di Jalan Pattimura, Simpang Rimbo, Kota Jambi, sekira pukul 11.00 malam.

Rencananya, dua mobil dari Bengkulu itu hendak menuju Batam, melewati Jambi. Naas, laju mobil pengangkut lobster ini terhenti sebelum sampai tujuan.

Dari dalam mobil petugas menyita 113.000 anakan lobster siap kirim. Empat warga Bengkulu yakni, G, DP, DR dan JP yang jadi sopir dan kenek ditangkap. MTC warga Batam dan HBA orang kepercayaan MCT turut dicekal. MCT diketahui memiliki jaringan perdagangan lobster ke Singapura.

“Kasus itu ditangai Bareskrim Polri,” kata Paiman.

Ratusan ribu anakan lobster hasil tangkapan di Jambi dilepaslirkan di lima lokasi, ada ke Pantai Pulau Ujung, Pariaman, Sumatera Barat, di Pantai Pangandaran, Jawa Barat, Pantai Cilacap dan Karimun Jawa di Jawa Tengah. “Sebagian lagi yang ditebar Ibu Susi di Bali, Nusa Peninda.”

Dalam video di akun instagram Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, ada 174.000 anakan lobster dilepasliarkan di laut Bali. Dia berharap, lobster yang dilepasliarkan bermanfaat bagi nelayan pengambil lobster besar di Bali.

“Mudah-mudahan tidak ada lagi masyakarat yang mau mengambil seperti ini lagi, nanti punah dan habislah ekonomi bernilai tinggi di perikanan kita,” katanya, seperti dalam video.

 

Bayi lobster sitaan lepas liar di perairan Sumatera Barat. Foto: Vinoloa/ Mongabay Indonesia

 

Penangkapan tinggi

Data yang dikumpulkan Mongabay, sepanjang 2017 hingga Juli 2019, terjadi 16 kasus penyelundupan anakan lobster di Jambi yang berhasil digagalkan petugas.

Pada 21 Oktober 2017, ada satu kasus penyelundupan 38.325 benih lobster senilai Rp 6,3 miliar oleh Mansur, Muamar Kadapait dan Aripudin. Pada 2018, petugas berhasil mengungkap enam kasus penyelundupan anakan lobster, total 432.198 anakan lobster Rp65,8 miliar disita petugas. Ada 23 orang jadi tersangka.

Penangkapan meningkat pada 2019. Terhitung dari Januari hingga Juli, sudah sembilan kasus penyelundupan lobster digagalkan. Setidaknya lebih dari 1,4 juta anakan lobster Rp200 miliar berhasil diselamatkan dari perdagangan gelap. Polisi menangkap 25 pelaku, dan 19 telah menerima putusan pengadilan.

Aksi penyelundupan benih lobster akan sulit dihentikan selama permintaan di pasar gelap terus ada. Nilai jual tinggi di pasar gelap membuat banyak nelayan tergiur untuk menangkap anakan lobster. Terlebih Indonesia, memiliki cukup banyak potensi anakan lobster di alam.

Achmad Mustofa, Capture Fisheries Coordinator WWF Indonesia mencontohkan, masyarakat di Lombok bisa dengan mudah menangkap anakan lobster di alam pakai pocong. Alat tangkap sederhana yang dibuat dari kertas semen atau karung beras dibentuk rumbai-rumbai ini cukup efektif menangkap anakan loster di alam.

“Di masyakat Lombok pocong itu ditarok saja di kerambah ditenggelamkan, nanti anakan lobster nempel sendiri,” katanya.

Liarnya penangkapan anakan lobster di alam demi memenuhi perdagangan gelap ke Singapura, khawatir berimbas pada populasi lobster di Indonesia. “Kalau anakan ditangkapi terus kan gak ada regenarasi. Lobster dewasa akan mati.”

Pemerintah, katanya, harus segera memutus mata rantai perdagangan gelap untuk menyelamatkan populasi lobster di Indonesia. “Harus ditelusuri betul, siapa yang beli. Kemudian dia membeli dari mana saja dan siapa saja. Itu harus di-cut.”

Dia bilang, tidak cukup hanya penegakan hukum. Mustofa menduga banyak nelayan tak memahami kalau anakan lobster dalam ukuran tertentu dilarang ditangkap. Sosialisasi dan kampanye pada nelayan dia anggap penting.

Di Indonesia, penangkapan lobster diatur ketat. Bahkan anakan lobster berukurang kurang 200 gram atau kurang delapan centimeter dilarang untuk ditangkap, dikembangbiakan dan diperdagangkan. Sesuai Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan, Nomor 56/2016 soal Larangan Penangkapan atau Pengeluaran lobster (Panulirus spp), kepiting (Scylla spp), dan rajungan (Portunus spp) dari Indonesia.

Aturan itu juga diperkuat dengan Undang-undang Nomor 31/2004 sebagaimana diubah jadi 45 tahun 2009 soal Perikanan. Melanggar aturan ini diacam hukuman enam tahun penjara.

 

Kapolda Jambi, Ijen Pol Muchlis menunjukkan benih lobster. Foto: YItno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Vonis

Pada 28 Maret 2018, Pengadilan Negeri Tanjab Timur memvonis bebas Ahmad Saleh dan Mulyadi yang terlibat pernyelundupan 74.222 anakan lobster. Ketua manjelis hakim Khairuluddin waktu itu menyatakan, kalau kedua terdakwa tak terbukti sah dan meyakinkan melakukan tindakan pidana sebagaimana yang didakwakan jaksa penuntut umum.

Ahmad Saleh dan Mulyadi, dinilai bukanlah tersangka utama. Keduanya, hanya kurir yang membantu Akiat, pemilik anakan lobster yang belum diketahui keberadaannya. JPU mengajukan kasasi ke Mahmakah Agung.

Vonis bebas medapat respon BKIPM Jambi yang kecewa dengan putusan hakim. Hingga kini, BKIPM Jambi belum mengetahui putusan kasasi di Mahkamah Agung.

Hampir tiga tahun terakhir, Pengadilan Negeri Jambi telah memvonis 32 terdakwa dari tujuh kasus penyelundupan anakan lobster. Putusan bervariasi, mulai enam bulan hingga 3,5 tahun.

Enam terdakwa lain diadili di PN Tanjab Timur, termasuk dua terdakwa Ahmad Saleh dan Mulyadi. Sedang lima terdakwa yang terlibat penyelundupan 69.305 anakan lobster di Tanjab Barat menerima vonis tiga tahun dari PN Kuala Tungkal.

Vonis yang tak sesuai dengan banyaknya selundupan kerap mengundang tanya, bahkan kecurigaan.

Sahabuddin, ahli hukum di Jambi menjelaskan, putusan hakim berat tidak dipengaruhi dari besar atau kecilnya anakan lobster selundupan melainkan seberapa besar nilai kesalahan yang dilakukan terdakwa.

“Tidak semua unsur yang diajukan jaksa dan pengacara dipakai hakim, semua akan diuji kebenarannya. Nilai yang meyakinkan hakim itulah yang paling penting.”

“Jadi kalau dalam putusan hakim ada yang berat, ada yang ringan itu biasa. Itu disparitas putusan hakim,” katanya.

Pertimbangan sosiologis juga dapat mempengaruhi putusan hakim. “Misal, orangnya belum pernah dihukum, kooperatif, mengaku salah, ini akan memperingankan hukuman. Kalau, buktinya sedikit tapi dia tidak kooperatif, berbelit-belit bisa memberatkan.”

Pengajar hukum pidana di Universitas Batanghari Jambi ini tak menampik, kalau ada banyak putusan hakim yang menvonis ringan pelaku kejahatan, akan memotivasi pelaku lain melakukan kejahatan sama.

 

Keterangan foto utama:    Petugas Polda Jambi menunjukkan anakan lobster yang berhasil dimankan petugas. Foto: Yitno Supprapto/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version