- Pada Senin (13/5/19), petugas mengamankan tiga kurir yang membawa 46.500 anakan lobster. Seratus meter dari lokasi penangkapan, anggota Polres Tanjab Timur juga menemukan 13 boks styrofoam, atau 78.000 anakan lobster. Dari pengembangan kasus, petugas juga merazia gudang dengan 81.000 lobster anakan.
- Perdagangan ilegal ini jaringan internasional. Orang-orang yang terlibat di Jambi, dari Tiongkok, dan dijalankan oleh orang dari Tiongkok.
- Mereka mengumpulkan anakan lobster dari berbagai daerah di Jambi. Lobster dibawa ke Batam, lalu Singapura, ke Vietnam untuk dikembangbiakkan. Kala lobster besar, antara lain, untuk memenuhi pasar Tiongkok.
- Pengawasan harus diperkuat, tak hanya kerjasama petugas antar lembaga juga dengan nelayan. Pemerintah akan sulit mengawasi sendiri, jadi perlu keterlibatan nelayan yang langsung berada di lapangan.
Pengungkapan ini bermula dari penangkapan tiga kurir pengantar 46.500 anakan lobster ke Tanjung Jabung Timur, pada Senin (13/5/19) sekitar pukul 02.00 dini hari. Sebelumnya, dalam April saja, ada empat kali petugas berhasil menggagalkan upaya penyelundupan benih lobster di Jambi.
Aparat gabungan menangkap dua mobil yang dicurigai membawa anakan lobster dari Kota Jambi menuju Desa Nibung, Tanjung Jabung Timur.
“Saat kita hentikan mobil inova putih mencoba putar balik, karena ada parit masuk parit, tak bisa bergerak lagi, tinggal Dhaihatsu Xenia. Saat kita geledah isi ada delapan boks, setelah kita bongkar ada baby lobster,” kata Kombes Pol Fauzi Bakti, Direktur Polairud Polda Jambi.
Baca juga: Pelabuhan Tikus di Jambi jadi Jalur Favorit Penyelundupan Lobster
Dari sana, petugas menyita 46.500 bayi lobster, 1.500 jenis mutiara dan 45.000 jenis pasir. Anakan lobster Rp6,9 miliar lebih itu akan dikirim ke Batam.
“Pas kita mau tangkap, dia (sopir Inova) putar balek, dia buang isinya, dia hilang (lari).”
Dalam 13 boks styrofoam didapati 78.000 bayi lobster jenis pasir telah terbungkus plastik siap kirim. “Total, ada 21 boks, Rp18,6 miliar,” kata Kombes Pol Fauzi Bakti.
Dari hasil pemeriksaan, sopir berinisial, SA mengaku hanya diminta RN mengantarkan barang dari Simpang Kawat, Kota Jambi menuju Tanjung Jabung Timur, tanpa tahu apa isinya. SA ikut membawa adiknya, JA, masih 16 tahun untuk jadi kernet. RN mengaku, disuruh oleh AG yang diduga pemilik benih lobster, kini masih buron.
Dari keterangan SA, mengaku hanyalah sopir rental yang diminta mengirim barang milik AG dengan upah Rp400.000. Adiknya diupah Rp100.000.
Polairud Polda Jambi, masih pendalaman. Ketiga kurir yang ditangkap mengaku tak tahu siapa pemesan anakan lobster yang mereka bawa. Hasil penyidikan, dipastikan AG merupakan jaringan berbeda dengan jaringan penyelundupan di Tanjung Jabung Timur dan Tanjung Jabung Barat, April lalu.
Jaringan internasional
Dari hasil pengembangan keterangan pelaku, Ditpolairud Polda Jambi berhasil menemukan gudang penampungan anakan lobster di Jalan Sari Bakti, Kelurahan Beliung, Alam Barajo, Kota Jambi.
Dalam penggerebekan Senin (13/5) malam sekitar pukul 20.15 WIB, petugas mengamankan sembilan boks styrofoam berisi bayi lobster siap kirim, dua dari kolam penampungan. Total 81.000 anakan lobster pasir senilai Rp12,1 miliar.
Polisi juga mengamankan enam pekerja, yakni LC (21), HR (20), ZI (36), PA (37), AI (42) dan KH (36) warga Tiongkok.
Dari pemeriksaan, nama KH masuk dalam catatan Bareskrim Polri sebagai daftar pencarian orang (DPO), terkait kasus bayi lobster di Sukarno Hatta, tahun lalu.
Di Jambi, KH bekerja sebagai tenaga ahli yang dikirim TN dari Tiongkok. KH bertanggungjawab untuk semua anakan lobster, mulai dari kolam penampungan hingga pengemasan untuk pengiriman.
Kombes Pol Fauzi Bakti mengatakan, bisnis ilegal ini dikendalikan TN dari Tiongkok. TN awalnya meminta JN yang tinggal Jambi mencarikan lokasi penampungan anakan lobster. JN akhirnya dapat kontrakan di Jalan Sari Bakti, Kelurahan Beliung, Alam Barajo, Kota Jambi, yang disewa sejak Januari. JN juga merekrut tiga pekerja dari Jambi, yakni ZI, PA dan AI.
Fauzi bilang, gudang di Alam Barajo sengaja disewa untuk menampung kiriman bayi lobster dari Jawa. KH, khusus datang dari Tiongkok untuk menangani bisnis ilegal itu di Jambi.
KH yang tak bisa bahasa Indonesia, ditemani LC dan HR sebagai penerjemah. Keduanya dari Jakarta dan Riau.
Dari kolam penampungan ini, anakan lobster akan dikirim ke Singapura lewat Batam. Jalurnya, barang dari Jawa dikirim lewat Lampung, ke Jambi, lalu ke Batam lewat pelabuhan Tanjab Timur, lanjut ke Singapura.
Keuntungan menggiurkan
Paiman, Kepala Seksi Pengawasan, Pengendalian, Data dan Informasi Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) Jambi mengatakan, bayi lobster yang dikirim ke Singapura itu akan dikembangkanbiakkan di Vietnam dan ekspor ke Tiongkok untuk konsumsi.
“Kalau pasar konsumsi itu di Hongkong dan China. Di China itu harga lobster sampai Rp1,5 juta,” katanya.
Nilai ekonomi dianggap sebagai penyebab maraknya kasus penyelundupan anakan lobster. Para pelaku bisa meraup untung besar saat berhasil meloloskan anakan lobster ke Singapura.
“Harga anakan dari nelayan antara Rp10.000-Rp30.000, beda-beda. Nggak ada patokan harga,” kata Paiman.
Di Singapura, harga satu anakan lobster pasir sampai Rp150.000 dan mutiara bisa Rp200.000.
Di Indonesia, penangkapan lobster diatur ketat. Bahkan anakan lobster dilarang untuk diambil, dikembangbiakkan maupun diperdagangkan. Sesuai Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan, Nomor 56/2016 tentang larangan penangkapan atau pengeluaran lobster (Panulirus spp), kepiting (Scylla spp), dan rajungan (Portunus spp) dari Indonesia.
Aturan itu juga diperkuat dengan UU 45/2009 tentang Perikanan, UU Nomor 16/1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan.
Jambi, katanya, melalui pelabuhan di Tanjung Jabung Timur dan Tanjung Jabung Barat, berjarak cukup dekat dengan Singapura dan Batam. Dia perkirakan, dari perairan Tanjung Jabung Timur hanya perlu enam jam untuk sampai Batam dengan perahu cepat berkapasitas 200 PK enam mesin.
Untuk sampai Singapura, hanya perlu delapan jam. Jambi pun jadi wilayah strategis sebagai bagian jalur perdagangan gelap anakan lobster. Jambi juga banyak pelabuhan tikus di puluhan desa di Tanjung Jabung Timur dan Tanjung Jabung Barat.
Lepas liar
Sebanyak 124.500 anakan lobster sitaan dari Jambi ini dilepaskan di kawasan Konservasi Taman Wisata Peraian (TWP) Pulau Pieh, Selasa (14/5/19). Ikut dalam pelepasan benih lobster, Stasiun Karantina Ikan Pengendalian Mutu Dan Keamanan Hasil Perikanan (SKIPM) Padang bersama dengan BKIPM Jambi, Polair Polda Jambi, Loka Kawasan Konservasi Perairan Nasional (LKKPN) Pekanbaru Satker Pulau Pieh dan Satwas PSDKP Padang.
Pelepasan ini kali keenam sejak 2018, empat hasil tangkapan dari Jambi, yang kelima Riau.
Saat pelepasanliaran, cuaca di perairan laut Sumatera Barat, cukup baik hingga memudahkan proses pengangkutan. Anakan lobster yang dikemas dalam 21 box stereofoam tersimpan di Kantor SKIPM Padang. Barulah sekitar pukul 08.00 dibawa ke Pelabuhan Bungus untuk lepas liar di TWP Pulau Pieh.
Alam Vietnam rusak, suplai gelap dari Indonesia
Moh Abdi Suhufan, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch Indonesia, mengatakan, Vietnam berhasil mem-branding sebagai negara penghasil lobster. Faktanya, mereka kekurangan bibit lobster.
Habitat lobster di Vietnam rusak karena ekploitasi berlebih, hingga menyebabkan negara paling timur di Semenanjung Indochina di Asia Tenggara itu kekurangan bibit lobster.
Kekurangan ini, katanya, mereka tutupi dengan suplai lobster dari perdagangan gelap di Indonesia. Vietnam juga memiliki teknologi mumpuni untuk sistem budidaya lobster.
Abdi bilang, pemerintah perlu memperketat pengawasan pada pintu-pintu lalu lintas perdagangan resmi maupun tak resmi. “Memang jadi problem, sebab banyak jalan tikus di laut yang minim pengawasan, shingga dimanfaatkan pelaku.”
Hal lain perlu dilakukan pemerintah Indonesia, katanya, mengembangkan kawasan-kawasan konservasi khusus di habitat lobster, seperti Nusa Tenggara Barat (NTB), Bali dan pantai selatan Jawa.
“Ini memberikan perlindungan dan pengawasan maksimal menekan penangkapan anakan lobster,” katanya.
Sunarto, Wildlife Ecologist WWF mengatakan, penyelundupan anakan lobster marak di Indonesia berkaitan erat dengan perilaku korup para penegak hukum. “Kalau aparat bersih, pelaku jadi tak punya ruang gerak. Ini salah satunya.”
Pasalah perdagangan ragam hayati sangat kompleks. “Orang ngambil di mana dan dibawa ke mana seharusnya jelas. Harus ada proses pengawasan.”
Di Ujung Kulon, katanya, banyak nelayan bebas mengambil anakan lobster, dan tak menutup kemungkinan terjadi di habitat lobster lain di Indonesia.
Kalau itu terus terjadi, Indonesia bisa saja kehabisan sumber daya, karena semua orang ingin mengeruk sebanyak-banyaknya. Kuncinya, kata Sunarto, pengawasan di tingkat nelayan.
Alur perdagangan nelayan juga perlu dipantau, termasuk tempat-tempat pendaratan hasil tangkapan tak biasa, dan kemungkinan untuk perdagangan ilegal. “Setiap kapal bisa dipasang alat pemantau, tidak mahal.”
Menurut dia, pengawasan di lapangan bisa kerjasama pemerintah bersama nelayan lokal di wilayah masing-masing, terutama di habitat lobster. “Tidak semua bergantung petugas. Kalau semua dari pemerintah, itu kurang efektif.”
Keterangan foto utama: Benih lobster yang disita Ditpolairud Polda Jambi. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia