Mongabay.co.id

Pemerintah Bikin Kebijakan Satu Data, Bakal Terbuka buat Publik?

Puluhan ribu hektar hutan di Sumut sudah dikuasai korporasi jadi kebun sawit. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Indonesia hampir memasuki usia 74 tahun. Meskipun begitu, hingga kini masih belum memiliki satu data dan peta yang bisa jadi acuan bagi pemerintah. Tumpang tindih lahan, ketidakpastian hukum dan ketidak sinergian lintas kementerian seringkali terjadi alias ego sektoral masih kuat. Guna memperbaiki kondisi ini, Presiden Joko Widodo, bulan lalu menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 39/2019, tentang Satu Data Indonesia.

Data sangat penting dalam menentukan berbagai hal termasuk tata pemerintah. Perbedaan data lintas kementerian dan lembaga bisa menghasilkan kebijakan salah.

Baca juga: Menanti Peta Wilayat Adat Masuk Kebijakan Satu Peta

Perpres yang ditandatangani pada 17 Juni 2019 ini bertujuan agar pemerintah bisa mengumpulkan, pengelolaan, dan pemanfaatan data secara akurat, mutakhir, terpadu, dapat dipertanggungjawabkan, mudah terakses dan dibagipakaikan.

Yang mengepalai aturan ini Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Anggota terdiri dari Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Menteri Komunikasi dan Informatika, Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, serta pejabat pengelola statistik, dan geospasial.

”(Perpes 39/2019) itu bagian dari intergrasi, one map policy itu bagian dari kebijakan satu data,” kata Joshaphat Rizal Primana, Direktur Sumber Daya Energi, Mineral dan Pertambangan Bappenas, di Jakarta (10/7/19).

Sebelumnya, pada 2016, Presiden Joko Widodo menandatangani Perpres Nomor 9/2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta. Langkah ini untuk guna mendorong penggunaan informasi geospasial dalam pembangunan dengan peta skala 1:50.000.

Baca juga:   Kado Hari Tani 2018: Presiden Tandatangani Perpres Reforma Agraria

Dia berharap, dari satu peta ini, bisa jadi acuan data Informasi geospasial tematik dan perencanaan pemanfaatan ruang skala luas yang terintegrasi dalam dokumen rencana tata ruang,

Kebijakan satu peta masih proses, Presiden Jokowi mengeluarkan Kebijakan Satu Data Indonesia yang diundangkan 17 Juni 2019.

Rizal mengatakan, sebelumnya, pemerintah memiliki pemetaan sendiri-sendiri dan berbeda satu dengan yang lain. Tak heran, kalau banyak terjadi tumpang tindih. ”Itu yang coba kita integrasikan. Koordinasi ini yang paling sulit,” katanya.

Dia bilang, berbagai kementerian, lembaga sampai daerah punya data dan menutupi sendiri. “Koordinasi kan sebenarnya membagi kewenangan kepada pihak lain, membuka diri untuk dikritik dan mengevaluasi benar atau salah,” katanya.

Bappenas pun jadi kementerian yang ditunjuk mengumpulkan, kalibrasi data antar lintas kementerian dan lembaga untuk menghilangkan perbedaan. ”Nanti bisa keluar one map, one data. Bagaimana kita memiliki data secara nasional, dan disepakati secara nasional, serta detail terkait lokasi, wilayah dan luasan,” katanya.

Satu Data Indonesia, katanya, akan menjadi acuan pelaksanaan dan pedoman bagi instansi pusat dan daerah dalam penyelenggaraan tata kelola data guna mendukung perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan pengendalian pembangunan.

”Kalau Perpres Satu Data itu, data terbagi atas tiga, yakni, data statistik, data geospasial dan data keuangan negara tingkat pusat. Sedangkan, one map itu geospasial saja,” kata Adi Rusmanto, Deputi Infrastruktur Informasi Geospasial.

Harapannya, melalui satu data pembangunan Indonesia memiliki perencanaan yang baik berasal dari kualitas dan data benar. Adi bilang, selama ini pengumpulan data hanya untuk kepentingan sendiri-sendiri. ”Akhirnya, diambil alih oleh pemerintah agar bisa terstruktur dan digunakan bersama.”

 

Tambang batubara yang menyisakan persoalan lingkungan, terlebih lubang yang tidak direklamasi.  Karena data tak jelas antar kementerian, sampai pemerintah daerah, izin-izin tambang pun ada yang masuk hutan lindung dan konservasi.  Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

 

Publik masih pengguna

Penyebarluasan data, pendistribusian dan pertukaran data, melalui perpres ini, oleh walidata melalui portal Satu Data Indonesia, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

”Data yang disebarluaskan oleh walidata tingkat pusat dan walidata daerah harus dapat diakses melalui portal Satu Data.” Begitu bunyi Pasal 38, aturan itu.

Perpres menyebutkan, instansi pusat dan daerah mengakses data di portal Satu Data Indonesia, tidak dipungut biaya, tak memerlukan dokumen nota kesepahaman, perjanjian kerja sama, atau dokumen surat pernyataan.

Adapun, Pasal 39 ayat (3) menyebutkan, akses data bagi pengguna data selain instansi pusat dan instansi daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.”Publik sebagai pengguna data,” kata Adi.

Kalau masyarakat hendak memasukkan data, katanya, perlu berkoordinasi dengan walidata agar memiliki standar dan ketentuan sama.

Soal mekanisme penggunaan atau keterbukaan data, katanya, akan diatur walidata masing-masing. “Itu tergantung walidata karena bertanggung jawab terhadap pengumpulan, penggunaan, penyebarluasan dan keterbukaan. Semua masih dibicarakan, masih belum fix.”

Dia menekankan, hal terpenting keterbukaan para walidata untuk menerapkan keterbukaan informasi publik.

 

Bagaimana keterbukaan informasi?

Asep Komarudin, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia menyebutkan, kebijakan satu data ini bisa jadi solusi dalam menyelesaikan permasalahan di Indonesia.

”Saya apresiasi keinginan pemerintah untuk satu data ini, tapi satu data ini yang paling penting peran publik bisa mengakses itu,” katanya.

Guna melakukan pengumpulan, pengelolaan, dan pemanfaatan data secara akurat, mutakhir, terpadu, dapat dipertanggungjawabkan, katanya, tidak perlu regulasi setingkat perpres. Malah yang perlu mendapatkan penekanan itu, katanya, soal mekanisme publik dalam mendapatkan data. “Ini harusnya jadi garansi bagi publik.”

Tak hanya itu, dalam implementasi pun harus transparan, terutama tumpang tindih data dan ada solusi. “Mana yang dianggap benar dan salah untuk masuk ke dalam satu data.”

Pemerintah, sebenarnya telah memiliki peraturan keterbukaan informasi dalam UU Keterbukaan Informasi Publik UU Nomor 18/2008. ”Akses publik perlu kejelasan, jangan ambigu dan pakai tafsir kementerian dalam akses data,” katanya.

Astrid Debora, peneliti Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) pun berharap, perpres terkait perputaran data ini mampu menyediakan data lebih akurat. Dia menyayangkan, mekanisme publik dalam mengakses data tak tercantum dalam perpres itu.

”Kemudian jika masyarakat menemukan ketidaksesuaian data dengan fakta di lapangan, masyarakat harus bagaimana?”

Mekanisme keberatan, katanya, apakah akan ada di pusat data dan informasi setiap kementerian atau lembaga atau dengan merujuk pada UU Komisi Informasi Publik (KIP).

Pemerintah, kata Astrid, perlu memasukkan klausul partisipatif satu data dalam pengumpulan data. Kalau berbicara data itu membahas banyak pihak, baik masyarakat, swasta, dan lain-lain.

Pada Pasal 37 ayat 6 disebutkan, pembatasan akses data di portal Satu Data Indonesia dilaksanakan oleh, pertama, walidata untuk pengguna data pada instansi pusat dan daerah. Kedua, pejabat pengelola informasi dan dokumentasi atau pejabat yang bertanggung jawab di bidang penyimpanan, pendokumentasian, penyediaan, atau pelayanan informasi kepada publik untuk pengguna data di luar instansi pusat dan daerah.

”Harusnya di perpres menempatkan posisi Pusat Data dan Indormasi (Pusdatin) atau PPID yang jadi perumus tiap kementerian atau lembaga,” katanya.

Dia contohkan, kalau Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) tak di Pusdatin, kepada siapa masyarakat kalau mau mengajukan keberatan.

 

Keterangan foto pertama:  Jutaan hektar kebun sawit memenuhi lahan di negeri ini. Sayangnya, hingga kini belum ada data jelas, berapa sebenarnya lahan atau kawasan di Indonesia, yang jadi kebun sawit atau sudah ada perizinan sawit. Masing-masing kementerian, lembaga sampai daerah, tak memiliki data pasti… Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Portal Satu Data Indonesia

 

 

Exit mobile version