Mongabay.co.id

Penanganan Sampah Perlu Paradigma Baru

 

 

Dedi Kusmayadi, warga Desa Lamajang, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, terpanggil jiwanya. Di tengah persoalan sampah yang mendera, ia berinisiatif mendirikan Bank Sampah Mitra Mandiri. Sejak 2013 lalu.

Lelaki ini gusar dengan warga yang suka buang sampah sembarangan, hingga menumpuk di banyak tempat. “Saya kesal. Jika dibiarkan, tidak ada yang peduli nanti bagaimana? Kebetulan ada sosialisasi bank sampah dari pemerintah. Saya tertarik dan ikut pelatihan waktu itu,” ucapnya.

Perjalanan yang ditempuh Dedi tidak mudah. Pekerjaannya yang dianggap sebelah mata, harus ia terima. Namun, perlahan, warga mulai sadar dan bergabung dengan usahanya.

Baca: Urusan Sampah, Butuh Cara Efektif Penanganannya

 

Bank Sampah Mitra Mandiri yang didirikan pada 2013 merupakan inisiatif Dedi Kusmayadi terhadap persoalan sampah. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Bank Sampah Mitra Mandiri telah beranggotakan 70 orang, menghasilkan keuntungan Rp15 juta/bulan dari hasil memilah sampah. Selain menjadi ladang pendapat warga, kegiatan ini memberi kontribusi positif bagi lingkungan.

“Mencegah warga membuang sampah ke tepi Sungai Cisangkuy yang bermuara di Citarum. Mitra Mandiri juga menjadi rekan, sekaligus percontohan di Kabupaten Bandung,” tuturnya.

Bank sampah ini mampu menampung berbagai jenis sampah di Kecamatan Pangalengan. Tiga jenis utama adalah sampah organik, anorganik, dan ekonomis. Sampah organik dan non-organik masih dikelola di luar bank sampah. Pemerintah yang menyediakan pasar. Sementara, sampah bernilai ekonomis, seperti kardus dan botol plastik serta bahan daur ulang, dijual kembali setelah disortir.

“Pekerjaan besar yang susah diselesaikan adalah menyulap tempat pembuangan sampah memiliki fungsi pengolahan. Jika bisa diwujudkan, volume sampah yang beredar bisa diminimalisir,” urainya.

Baca: Hari Peduli Sampah, Pemerintah Luncurkan Gerakan Indonesia Bersih

 

Bank Sampah Mitra Mandiri telah beranggotakan 70 orang dan menjadi contoh pengelolaan sampah Kabupaten Bandung. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Aturan

Sampah di tempat pembuangan akhir [TPA] seharusnya mulai dikurangi. Ke depan, TPA diharapkan bukan lagi sebagai penerima segala jenis sampah, melainkan menampung yang benar-benar tidak bisa dimanfaatkan lagi.

TPA Sarimukti yang menampung sampah dari empat kabupaten/kota di Cekungan Bandung, misalnya, dianggap tak sanggup menerima beban sampah yang diolah dengan sistem sanitary landfill. TPA seluas 40 hektar ini pun akan habis masa guna pakai tahun depan.

Wakil Koordinator Kampanye Kebijakan Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi [YPBB], Yobel Novian Putra, menuturkan, pengelolaan sampah selama ini belum memiliki standar ideal. Sekalipun ada Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, namun belum detil.

“Pemerintah juga belum mengatur pengelolaan sampah secara spesifik, di tingkat nasional maupun daerah,” ujarnya.

Baca: Bukan Sulap, Dimas Bagus Ubah Sampah Plastik Menjadi Bahan Bakar Minyak

 

Seorang anak berenang di air sungai yang kotor di Kampung Jembatan, Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung. Minimnya kesadaran warga membuat sungai menjadi tempat pembuangan sampah. Foto: Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Dalam tataran normatif, pembuatan peraturan pelaksana yang dimandatkan UU 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, mandek. Padahal aturan ini memandatkan satu materi dalam Peraturan Menteri, 7 materi di Peraturan Pemerintah, 6 materi di Peraturan Daerah, dan 2 materi dalam PP dan atau Perda.

“Banyak tunggakan peraturan di bidang pengelolaan sampah,” ujarnya, pertengahan Juli 2019.

Terlepas itu, kata Yosep, pemerintah mesti menyerderhanakan regulasi. Terkait sampah plastik, harus gamblang mengaturnya. Semisal penggunaan plastik sekali pakai, karena tidak semua sampah plastik bisa didaur ulang.

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengklaim, uji coba penerapan kantong plastik berbayar pada 2016, selama penerapan tiga bulan pertama mengurangi 25-30 persen penggunaan kantong plastik. Terutama di gerai-gerai ritel moderen.

Baca: Chairil Anwar, Dosen UNM yang Larang Penggunaan Plastik di Kampus

 

Warga mengangkut sampah plastik mengunakan perahu dari aliran Sungai Citarum di Kecamatan Cihampelas, Kabupaten Bandung Barat. Menurut data Satgas Citarum Harum hampir 20.000 ribu ton sampah di buang ke Sungai Citarum. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Atas dasar itu, pemerintah menerbitkan cukai plastik, merujuk Peraturan Presiden Nomor 83 tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut. “Jika pemerintah mendorong pengelolaan sampah plastik mestinya cukup melarang ang tidak bisa didaur ulang,” katanya.

Konsep pemilahan sampah, sejatinya sejalan dengan slogan Kang Pisman [Kurangi, Pisahkan, Manfaatkan] yang menjadi program Pemerintah Kota Bandung. Namun, dari 151 kelurahan di Kota Bandung, baru 8 kelurahan menerapkan.

Wali Kota Bandung Oded Muhammad Danial menuturkan, regulasi tersebut akan dipertimbangkan melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pembuatan kebijakan memerlukan pendapat dan pertimbangan karena berkaitan kepentingan masyarakat.

“Kota Bandung membutuhkan dana sampai Rp160 miliar untuk pengangkutan sampah. Jika pemilahan dari sumber [warga] bisa dilaksanakan, dana pengangkutan bisa dialihkan untuk kesejahteraan masyarakat melalui pengelolaan mandiri,” ujarnya dikutip dari Kompas.id.

Baca juga: Sustainism Lab, Cara Trendi Kelola Sampah Sendiri di Bali

 

Warga mengambil sampah dari anak Sungai Cikapundung Kolot di Kampung Pasawahan, Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, belum lama ini. Kesadaran warga akan kelesatrian air masih rendah, banyak diantarannya masih membuang sampah ke sungai. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Mengolah sendiri

Pengolahan sampah berbasis masyarakat atau komunitas nyatanya menuai sukses. Adalah Froilan Grate, relawan lingkungan asal Filipina yang berhasil mengubah paradigma tentang sampah.

Kisah bermula 18 tahun lalu, ketika Froilan fokus mengembangkan pengolahan sampah berbasis komunitas di berbagai level pemerintahan.

Konsep tersebut berprinsip pada pemilahan sampah diawali dari rumah tangga. Langkah itu sejalan dengan peraturan di Filipina yang mengharuskan setingkat kelurahan memiliki setidaknya satu fasilitas pemulihan material, seperti bangunan yang difungsikan untuk pengelolaan. Sehingga, efektif membagi sampah yang dapat didaur ulang berkelanjutan.

 

Seorang warga tampak memilah sampah di tempat pembuangan sementara di Kampung Pasawahan, Dayeuh Kolot, Kabupaten Bandung, belum lama ini. Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung, produksi sampah mencapai 1.400 ton/hari yang dihasilkan 3,6 juta penduduk di wilayah tersebut. Foto: Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Lalu, tugas Pemerintah Kota hanya bertanggung jawab atas pengangkutan sampah yang benar-benar residu, tak bisa lagi didaur ulang.

Saat ini, ratusan kelurahan menerapkan pola tersebut yang terbukti menekan secara signifikan volume sampah yang diangkut ke pembuangan akhir.

“Kami telah mengurangi jumlah sampah yang masuk ke TPA dari 90 ton/hari menjadi 66 ton/hari. Lalu menaikkan tingkat daur ulang dari 5 ton/hari menjadi 129 ton/hari,” kata Froilan di Bandung, saat diskusi “Pola Pengelolaan Sampah” di Sekretariat Aliansi Jurnalis Independen Kota Bandung, Jawa Barat, 11 Juli 2019.

 

Tumpukan sampah di pembuangan liar di Pasar Gedebage, Kota Bandung. Foto: Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Ini menjadi bukti, solusi yang dimulai di masyarakat bisa menyelesaikan masalah dengan cara yang kolaboratif. Karena, pengelolaan sampah berkaitan erat dengan budaya dan pendidikan.

Froilan yang mendirikan Mother Earth Foundation ini, mengatakan, Filipina dan Indonesia banyak kemiripan. “Bandung juga seperti kota-kota kami. Sangat mungkin pola pemilahan sampah ini diterapkan di sini. Mungkin hanya saja perlu penyesuaian,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version