Mongabay.co.id

Mangrove yang Kembali Bersemi di Banggai

 

 

Jumat pagi, 5 Juli 2019. Puluhan warga di Desa Uwedikan, Kecamatan Luwuk Timur, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, menuju Pulau Batang. Wilayah ini satu dari beberapa gugusan pulau yang menjadi bagian desa. Mereka membawa ribuan propagul, bibit mangrove berbentuk kecambah jenis Ceriops tagal.

Tempat ini biasanya menjadi lokasi nelayan Uwedikan mencari ikan. Namun, sejak mangrove rusak, perairannya tidak lagi produktif. Jarak Batang tak sampai 10 menit, menggunakan perahu ketinting, dari desa yang dihuni mayoritas Suku Saluan itu.

“Kami juga menanam mangrove di Pulau Sasapan, sekitar pesisir desa,” kata Ali Hanafi, tokoh masyarakat Uwedikan.

Meski berkutat lumpur, Ali dan warga antusias. Total yang ditanam sebanyak 5.000 buah, yang kali ini tahap kedua. Warga sadar, mangrove selama ini memberi dampak signifikan terhadap perekonomian.

“Di Kecamatan Luwuk Timur, bagian Desa Uwedikan, luas hutan mangrovenya 350 hektar. Namun karena ditebang, sekitar 209 hektar rusak,” jelas Mohamad Ikbal Karau, pendamping dari Japesda Gorontalo yang ditugaskan di Desa Uwedikan.

Baca: Begini Rusaknya Hutan Mangrove di Kabupaten Banggai

 

Mangrove yang penting sebagai pelindung abrasi pantai dan banjir. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Japesda Gorontalo adalah lembaga non-pemerintah yang mendampingi dua desa di Kabupaten Banggai, untuk pemulihan ekosistem mangrove. Berdasarkan laporan mereka, Kabupaten Banggai memiliki potensi sumber daya pesisir yang penting bagi populasi flora dan fauna.

Namun, kehidupannya terancam seperti penyu sisik, kima raksasa, teripang, dan duyung. Ancaman terhadap jenis-jenis tersebut makin besar karena kerusakan mangrove dan terumbu karang.

Nur Ain Lapolo, Direktur Japesda mengungkapkan, luas mangrove di Kabupaten Banggai adalah 7.387 hektar. Sekitar 5.652 hektar rusak berat. Penanaman mangrove telah dilakukan di Desa Uwedikan dan Desa Lambangan, Kecamatan Pagimana.

“Seperti halnya di Uwedikan, kami bersama warga menanam 5.000 bibit Ceriops tagal di Desa Lambangan. Total, 10.000 bibit,” ungkapnya.

Baca: Lambangan dan Uwedikan, Desa yang Merancang Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat

 

Warga Desa Uwedikan, Kecamatan Luwuk Timur, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, secara sadar menanam mangrove. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Penting

Kecamatan Pagimana memiliki hutan mangrove seluas 762 hektar, namun 605 hektar rusak. Penyebabnya alih fungsi untuk tambak, untuk bahan bangunan rumah, serta kayu bakar.

Sopyan Lele, warga Desa Lambangan mengungkapkan, dampak kerusakan mangrove sungguh dirasakan nelayan. Hasil tangkapan berkuran. Selain itu, ketika air laut pasang, memasuki lahan yang mereka garap hingga halaman rumah warga.

“Setelah melihat banyak persoalan, kami sadar betapa pentingnya menjaga hutan mangrove,” katanya.

Mangrove di Desa Lambangan memiliki potensi budidaya kepiting bakau. Namun belum dimanfaatkan warganya, justru masyarakat luar. Desa ini juga tempat hidupnya spesies mangrove Soneratia ovata yang tidak terdapat di Banggai.

”Jika degradasi lingkungan dibiarkan, akibatnya akan berdampak pada kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Partisipasi warga merupakan langkah awal mewujudkan pelestarian mangrove berkelanjutan,” Nur Ain.

Baca: Mangrove di Gorontalo Ikut Menyusut, Begini Kondisinya

 

Kerusakan mangrove terjadi akibat alih fungsi lahan dan penebangan untuk berbagai kepentingan. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Jenis mangrove

Nur Ain Lapolo yang alumni pascasarjana Pengelolaan Lingkungan Universitas Negeri Gorontalo menjelaskan, berdasarkan hasil penelitian mereka, di Kabupaten Banggai ditemukan 50 jenis mangrove. 25 jenis mangrove sejati dan 25 jenis mangrove asosiasi. Salah spesies langka dan terancam punah yang mereka temukan adalah Scyphiphora hydrophyllacea.

Survei di beberapa desa, menunjukan sebaran tegakan Scyphiphora hydrophyllacea hanya ditemukan di Desa Tingki-Tingki, Kecamatan Batui Selatan, dan Desa Uwedikan di Pulau Balean, serta Potean, Kecamatan Luwuk Timur.

Menurut dia lagi, ditemukan juga beberapa fauna seperti kepiting dari kelompok fiddler crabs, Scyilla serrata, serta jenis reptil seperti ular dan kadal. “Namun, jenis fauna yang ada di lokasi tidak diperhatikan secara detail,” ujarnya.

Berdasarkan hasil identifikasi spesies, metode transek kuadrat, jelajah, maupun pengamatan visual, di Kabupaten Banggai hampir seluruhnya terdapat burung di ekosistem mangrove. Meski demikian, ia belum mengetahui pasti jenis-jenis burung endemik apa saja yang terdapat di Kabupaten Banggai.

Sementara jenis-jenis mangrove sejati yang tumbuh dan berkembang adalah Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Xylocarpus, dan Lumnitzera.

“Masyarakat di Kabupaten Banggai umumnya kurang interaksi dengan mangrove. Pengetahuan mereka hanya nama lokalnya saja. Secara umum, masyarakat Saluan yang mendominasi wilayah pesisir memberikan nama “bakau” untuk mangrove keseluruhan,” jelas Nur Ain.

 

Nelayan di Desa Lambangan, Kecamatan Pagimana, yang kini melaut tidak lagi menggunakan mesin, cukup mendayung perahu. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Dari 50 spesies yang teridentifikasi, terdiri 32 famili yang secara umum berfungsi obat-obatan tradisional, tanaman pelindung, pakan ternak, serta indikator kebersihan air tawar. Seperti di muara sungai Desa Tohiti Sari, Kecamatan Toili dan Desa Kamiwangi, Kecamatan Toili Barat.

Jenis mangrove yang paling banyak ditemukan di Desa Uwedikan dan Lambangan didominasi Bruguiera gymnorhiza, Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata, Rhizophora stylosa, dan Ceriops tagal. Sedangkan di lokasi yang diamati secara visual, lebih bervariasi sesuai zonasinya yakni di Desa Tohiti Sari, Kecamatan Toili dan Desa Kamiwangi Kecamatan Toili Barat, yakni Soneratia, Rhizophora, Bruguiera, Avicennia dan Xylocarpus.

 

 

Exit mobile version