Mongabay.co.id

Jerat yang Membuat Harimau Sumatera Sekarat

 

 

Jerat pemburu adalah musuh utama harimau sumatera, selain perburuan yang memang nyata.

Kyai Batua, adalah harimau sumatera [Panthera tigris sumatrae] jantan yang menjadi korban jerat pemburu di kawasan hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan [TNBBS]. Kaki kanan depannya harus diamputasi, pada 4 Juli 2019.

Tiga minggu dirawat intensif di Taman Satwa Lembah Hijau, Lampung, kondisinya semakin menggembirakan. Pantauan CCTV menunjukkan, perilakunya makin gesit, kakinya sudah bisa digunakan menapak. Luka mengering, granulasi jaringan baru terlihat sehingga luka bekas amputasi mengecil.

“Pola makannya normal, diberikan ayam hidup sebanyak 6 sampai 10 persen dari berat badannya,” kata dokter hewan Erni Suyanti Musabine, Sabtu [27/7/2019].

“Tapi sesekali ada perubahan. Pertimbangan variasi mangsa menggunakan kelinci, sekaligus sebagai enrichment,” lanjutnya.

Menurut Yanti, peluang harimau diamputasi seperti Batua untuk hidup di habitat alaminya, butuh penelitian lebih lanjut. “Dilepasliarkan untuk dijadikan studi, sehingga dapat diketahui proses dan tingkat ketahanan hidupnya,” kata dia.

Yanti yakin, harimau akan lebih sulit kehilangan kaki belakang ketimbang depan. Alasannya, berdampak pada kemampuan melompat. “Meskipun ini belum dibuktikan riset, namun menurunkan kemampuan daya hidupnya.”

Baca: Membusuk Akibat Jerat Pemburu, Kaki Harimau Sumatera Ini Diamputasi

 

Harimau sumatera yang statusnya Critically Endangered atau Kritis. Foto: Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Andai Batua siap dilepaskan, apa yang harus dipersiapkan? Kebiasaannya dan juga bagaimana ia memeperlakukan mangsa hidup di dalam kandang: mencari, mengejar, dan berburu, yang bisa dilihat dari rekaman video.

Pada masa rehabilisasi, Yanti menyatakan, segera dipasangkan sabuk lingkar GPS Collar. Ini penting sebagai adaptasi. Jika dikalungkan ketika dilepas, dikhawatirkan akan mengalami gangguan perilaku dan kesehatan. “Bisa tak nyaman nantinya.”

Apabila hal tersebut terpenuhi, perhatian selanjutnya adalah faktor lingkungan tempat dilepaskan. Terutama, ketersediaan pakan beserta rendahnya ancaman.

Untuk individu cacat, diutamakan lokasi dengan kepadatan mangsa tinggi [RAI satwa mangsa > 0.8 individu/kelimeter]. Sebelum dan pasca-translokasi, harus ada patroli pembersihan jerat. “Paling penting, lokasi itu hutan konservasi atau hutan lindung, atau hutan rehabilitasi yang memiliki tutupan baik. Tentunya, tingkat perburuan, pembalakan, dan perambahan rendah.”

Bagaimana bila tidak memungkinkan dilepaskan, dengan pertimbangan tidak ada lokasi ideal? Direkomendasikan ditranslokasi ke sanctuary atau lembaga konservasi ex situ untuk kepentingan khusus. “Tujuannya edukasi, penelitian dan konservasi atau bisa juga untuk program breeding karena masih punya kesempatan lama untuk berkembang biak,” ujarnya.

Baca: Batua Harus Rela Kehilangan Kaki

 

Batua saat ditemukan kena jerat kawat pemburu di kawasan hutan TNBBS, Kabupaten Lampung Barat, Lampung, 2 Juli 2019. Foto: BKSDA Bengkulu-Lampung/WCS IP

 

Kepala Balai Besar TNBBBS, Agus Wahyudiyono mengatakan, harimau yang diamputasi peluang hidupnya relatif baik apabila dilepasliarkan di alam. Meski demikian, kemampuan berburunya menurun karena mengalami cacat. “Beberapa contoh hasil kamera jebak, ditemukan harimau cacat akibat jerat, namun masih hidup di hutan,” terangnya.

Agus mengatakan, habitat harimau di TNBBS cukup baik, termasuk untuk yang cacat. Data TNBBS menunjukkan, pada 2015 kepadatannya sebanyak 3,1 individu/100 kilometer persegi, sebelumnya terdata 2,8 individu/kilometer persegi. Daya dukung harimau sumatera di TNBBS diperkirakan sebanyak 66 individu.

Meski demikian, ancaman tak pernah berhenti. Mulai perkebunan, pembukaan jalan, areal transmigrasi, pertambangan, alih fungsi hutan, hingga perburuan.

Data patroli SMART BBTNBBS dan WCS-IP menunjukkan, perburuan ilegal menjadi ancaman serius. Priode 2013-2018, ada 320 temuan. Rinciannya, jerat rotan [18], jerat sling kecil [20], jerat kabut [25], jerat burung [37], jerat sling [69], menggunakan stick [69], dan jerat nilon [82].

Baca: Meski Cacat, Harimau Batua Tetap Buas

 

Proses penyelamatan Batua dari jerat, dilakukan melalui pembiusan dan tindakan medis untuk mengobati luka akibat jerat. Foto: WCS IP/BKSDA Bengkulu – Lampung

 

Kondisi habitat

Senior Species Conservation Specialist -Wildlife Conservation Society (WCS), Wulan Pusparini mengatakan, harimau sebagian besar tersebar di sepanjang pegunungan Bukit Barisan. Seperti di Taman Nasional Gunung Leuser [Aceh dan Sumatera Utara], TN Bukit Tiga Puluh [Riau], Suaka Margasatwa Rimbang Baling [Riau], TN Kerinci Seblat [Jambi-Bengkulu-Sumatera Barat-Sumatera Selatan], TN Bukit Barisan Selatan [Lampung], dan TN Way Kambas [Lampung].

Dari berbagai habitat tersebut, daerah yang paling rawan adalah yang populasinya di bawah ambang batas minimum, seperti TN Way Kambas, Lampung. Penyebabnya, kehilangan habitat serta pemburuan atau konflik [mati terjerat/dipindahkan ke lembaga konservasi].

“Daerah paling aman adalah yang cukup luas seperti TN Kerinci Seblat dan TN Gunung Leuser. Terutama, jika ancaman utama bisa dihilangkan. Taman nasional lainnya berada pada situasi ambang batas, dari jumlah populasi yang ada,” katanya.

Di TN Kerinci Seblat dan TN Gunung Leuser, Wulan menjelaskan, masih mencukupi untuk kesintasan jangka panjang. Ancaman utama saat ini adalah deforestasi akibat pembukaan hutan untuk dijadikan lahan pertanian, serta fragmentasi akibat pembangunan infrastruktur seperti jalan dan pembangkit listrik tenaga panas bumi.

Untuk menjaga habitat tersisa, rencana tata ruang wilayah harus direvisi dengan mempertimbangkan kesintasan jangka panjang harimau. “Kita harus menerapkan prinsip-prinsip Smart Green Infrastructure. Analisis dampak lingkungan harus benar-benar dijalankan,” terangnya.

Baca juga: Catatan Akhir Tahun: Melindungi Harimau Sumatera Harus Ada Strategi Komunikasi

 

Batua, meski kaki kanan depannya diamputasi tetap buas. Foto: Pengendali Ekosistem Hutan [PEH] SKW III Lampung BKSDA Bengkulu – Lampung

 

Kepala BKSDA Bengkulu – Lampung, Donal Hutasoit mengatakan, peluang konservasi harimau bisa dimaksimalkan dengan meningkatkan patroli harimau maupun satwa mangsa. Baik di kawasan, atau di luar habitatnya.

“Juga bisa pengembangbiakkan harimau korban konflik dan perburuan. Untuk yang layak bisa dilepaskan, sementara yang tidak bisa dirilis dirawat di sanctuary dengan tujuan memperbanyak populasi di habitat alam,” paparnya.

Kepala Bagian Tata Usaha BKSDA Bengkulu, Suharno menambahkan, untuk mengurangi konflik harimau, BKSDA Bengkulu – Lampung dan BBTNBBS sudah membentuk satgas penanggulangan konflik manusia dan satwa. Juga, membangun dan melakukan pendampingan desa mandiri konflik di Pesanguan, Sedayu, Sukaraja, Pemerihan, Margomulyo, Tulung Asahan, dan Mekar Jaya [Bengkulu].

“Selain itu, memfasilitasi masyarakat membangun kandang anti serangan harimau di Pesanguan, Margomulyo, Sukaraja, dan Sedayu,” paparnya.

 

Berbagai jenis dan ukuran jerat yang dipasang pemburu ini ditemukan di Kawasan Ekosistem Leuser. Sasarannya harimau, gajah, dan rusa. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Konflik harimau

Tim medis BKSDA Bengkulu – Lampung mencatat, dari 2007 hingga 2019, ada 10 harimau yang diselamatkan dari jerat maupun konflik.

Pada 2007, tercatat sekali konflik di perkebunan karet PT. Mercu Buana di Kecamatan Ketahun, Kabupaten Bengkulu Utara. Harimau ini korban jerat pemburu, kakinya diamputasi. Tahun 2008, terjadi juga konflik di perkebunan karet masyarakat di Bengkulu Tengah. Korbannya seekor anak harimau.

Sedangkan 2010 dan 2011, ada 2 harimau berkonflik di Kecamatan Ulu Talo, Kabupaten Seluma, Bengkulu, yang dibawa ke Tambling Wildlife Nature Conservation [TWNC] Lampung. Sementara pada 2012-2014, ada 4 individu harimau berkonflik dan yang harus diamputasi kakinya.

Kejadian mengerikan pada 2015. Seekor harimau menerkam petani karet di Kabupaten Seluma, Bengkulu. Individu ini akhirnya dibawa ke TSI Cirusua dan kini telah berkembang biak. Terbaru, awal Juli 2019, Batua diamputasi kaki kanan depannya yang membusuk akibat jerat.

Untuk kasus Batua, diperkirakan pelakunya bukan spesialis pemburu harimau, melainkan pemburu rusa dan napu. Ini terlihat dari jenis sling yang digunakan, bukan untuk satwa besar.

Dari catatan Balai Besar TNKS, pada 2018 telah dilakukan penegakan hukum terhadap penjerat harimau yaitu Ahmad Irvan bin Kemal Abbas dkk. Hukuman berupa 3 tahun penjara, subsider 4 bulan.

 

 

Exit mobile version